Peneliti yang juga dosen di Program Vokasi Universitas Indonesia (UI) Dr Devie Rahmawati mengatakan "virus infodemik" bisa menurunkan kepercayaan kepada otoritas kesehatan dan juga membuat masyarakat menjadi terlalu percaya diri.
"Untuk menangkal 'virus infodemik' bisa dilakukan dengan menguatkan literasi kepada masyarakat," katanya usai menggelar Program Pengabdian Masyarakat Memforward Manfaat berjudul "Literasi Tangkal Infodemik : Gerakan Mencari Solusi di Tengah Pandemik" di Pusat Kegiatan Mahasiswa di UI Depok, Jumat.
Devie menyampaikan bahwa di tengah-tengah pandemi COVID-19 ada tantangan "virus" lain yaitu infodemik, yaitu penyebaran berita-berita bohong, yang dapat mendorong masyarakat berperilaku berisiko.
Baca juga: Devie Rahmawati: Misinformasi perlu ditangani secara global
Sebagai perbandingan, kata dia, studi di Amerika Serikat (AS) menemukan bahwa sekitar 13 persen masyarakat AS yang percaya bahwa COVID-19 itu "hoaks" dan 49 persen itu rekayasa manusia.
"Fakta obyektif ini menunjukkan bahwa “virus infodemik” ini juga menjangkiti masyarat di negara maju," katanya.
Studi di barat tentang respon masyarakat di tengah - tengah krisis, seperti bencana alam, kesehatan dan lainnya menunjukkan bahwa biasanya terbentuk empat pola masyarakat yaitu patuh, pengikut, petualangan dan pemberontak.
Jumlah masyarakat yang masuk dalam kategori pemberontak, yang tidak mau mematuhi atau menolak upaya-upaya menuju perbaikan dari krisis sekitar 10-20 persen paling tinggi. Jumlah ini tentu saja tidak dapat dipandang sederhana.
Baca juga: Peneliti Vokasi UI presentasikan karakter konsumsi media masyarakat di era digital
Walau belum ada penelitian mendalam tentang respon masyarakat terkait COVID-19 yang masuk dalam kategori "pemberontak", kata dia, bila diasumsikan terdapat 10 persen saja dari 270 juta masyarakat Indonesia yang tidak taat pada protokol kesehatan, maka berpotensi ada sekitar 27 juta orang yang akan dengan percaya diri melakukan aktivitas berisiko di tengah pandemi ini.
Masyarakat yang masuk dalam kategori “pemberontak” ini, kata dia, dapat berasal dari individu dengan latar belakang suku, ras, agama, pendidikan dan ekonomi yang beragam.
Ia kembali mengambil contoh di AS di mana ada seorang penulis intelektual ternama, lulusan universitas ternama, juga mempercayai bahwa COVID-19 adalah "hoaks", artinya "virus infodemik" ini dapat menerpa siapapun.
Mengapa infodemik dapat menyebar dengan luas, menuru dia, dari rangkuman studi-studi yang dilakukan ada beberapa faktor yang menyebabkan hal tersebut:
Baca juga: Devie Rahmawati: Melawan radikalisme dengan benteng pemikiran kritis
Ia merujuk data Go Globe yang menyebutkan dalam satu menit, setiap harinya, terdapat 98.000 cuitan Twitter, 1.500 unggahan blog, 168 juta surat elektronik (surel), 600 video baru di YouTube, 70 domain terdaftar, 695.000 status Facebook dan sebagainya.
Hal ini, kata dia, yang membuat setiap individu mengalami kesulitan untuk melakukan filter terhadap informasi yang mereka konsumsi.
Ia mengatakan untuk meyakinkan individu yang sudah terpapar oleh berita bohong, tidak dapat argumen-argumen yang logis, tetapi dapat dilakukan dengan menampilkam fakta berupa visual.
Karena secara biologis, tubuh lebih mampu menerima informasi berupa visual dengan cepat. Studi akademik menunjukkan bahwa gambar-gambar yang menarik dan selalu ditampilkan secara berulang-ulang akan lebih mudah diingat dan dipercaya, demikian Devie Rahmawati.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2020
"Untuk menangkal 'virus infodemik' bisa dilakukan dengan menguatkan literasi kepada masyarakat," katanya usai menggelar Program Pengabdian Masyarakat Memforward Manfaat berjudul "Literasi Tangkal Infodemik : Gerakan Mencari Solusi di Tengah Pandemik" di Pusat Kegiatan Mahasiswa di UI Depok, Jumat.
Devie menyampaikan bahwa di tengah-tengah pandemi COVID-19 ada tantangan "virus" lain yaitu infodemik, yaitu penyebaran berita-berita bohong, yang dapat mendorong masyarakat berperilaku berisiko.
Baca juga: Devie Rahmawati: Misinformasi perlu ditangani secara global
Sebagai perbandingan, kata dia, studi di Amerika Serikat (AS) menemukan bahwa sekitar 13 persen masyarakat AS yang percaya bahwa COVID-19 itu "hoaks" dan 49 persen itu rekayasa manusia.
"Fakta obyektif ini menunjukkan bahwa “virus infodemik” ini juga menjangkiti masyarat di negara maju," katanya.
Studi di barat tentang respon masyarakat di tengah - tengah krisis, seperti bencana alam, kesehatan dan lainnya menunjukkan bahwa biasanya terbentuk empat pola masyarakat yaitu patuh, pengikut, petualangan dan pemberontak.
Jumlah masyarakat yang masuk dalam kategori pemberontak, yang tidak mau mematuhi atau menolak upaya-upaya menuju perbaikan dari krisis sekitar 10-20 persen paling tinggi. Jumlah ini tentu saja tidak dapat dipandang sederhana.
Baca juga: Peneliti Vokasi UI presentasikan karakter konsumsi media masyarakat di era digital
Walau belum ada penelitian mendalam tentang respon masyarakat terkait COVID-19 yang masuk dalam kategori "pemberontak", kata dia, bila diasumsikan terdapat 10 persen saja dari 270 juta masyarakat Indonesia yang tidak taat pada protokol kesehatan, maka berpotensi ada sekitar 27 juta orang yang akan dengan percaya diri melakukan aktivitas berisiko di tengah pandemi ini.
Masyarakat yang masuk dalam kategori “pemberontak” ini, kata dia, dapat berasal dari individu dengan latar belakang suku, ras, agama, pendidikan dan ekonomi yang beragam.
Ia kembali mengambil contoh di AS di mana ada seorang penulis intelektual ternama, lulusan universitas ternama, juga mempercayai bahwa COVID-19 adalah "hoaks", artinya "virus infodemik" ini dapat menerpa siapapun.
Mengapa infodemik dapat menyebar dengan luas, menuru dia, dari rangkuman studi-studi yang dilakukan ada beberapa faktor yang menyebabkan hal tersebut:
Baca juga: Devie Rahmawati: Melawan radikalisme dengan benteng pemikiran kritis
Ia merujuk data Go Globe yang menyebutkan dalam satu menit, setiap harinya, terdapat 98.000 cuitan Twitter, 1.500 unggahan blog, 168 juta surat elektronik (surel), 600 video baru di YouTube, 70 domain terdaftar, 695.000 status Facebook dan sebagainya.
Hal ini, kata dia, yang membuat setiap individu mengalami kesulitan untuk melakukan filter terhadap informasi yang mereka konsumsi.
Ia mengatakan untuk meyakinkan individu yang sudah terpapar oleh berita bohong, tidak dapat argumen-argumen yang logis, tetapi dapat dilakukan dengan menampilkam fakta berupa visual.
Karena secara biologis, tubuh lebih mampu menerima informasi berupa visual dengan cepat. Studi akademik menunjukkan bahwa gambar-gambar yang menarik dan selalu ditampilkan secara berulang-ulang akan lebih mudah diingat dan dipercaya, demikian Devie Rahmawati.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2020