Belakangan, imunitas menjadi kosakata yang akrab ditelinga kita. Imunitas tubuh diperlukan dalam rangka mencegah terpapar virus Covid 19.  Sebagaimana diketahui, Covid 19 merupakan jenis virus baru dengan penularan yang sangat masif, namun belum ditemukan vaksin pencegahannya. Satu-satunya langkah preventif mencegah penularan Covid 19, selain penerapan perilaku hidup bersih sehat adalah mengkonsumsi makanan bergizi.

Sayangnya, mengkonsumsi makanan bergizi belum menjadi kebiasaan bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Hal itu terlihat dari pola konsumsi masyarakat yang kurang bervariasi, sehingga gizi seimbang belum terpenuhi. Dampaknya adalah, gizi buruk masih menjadi ancaman bagi masa depan anak-anak Indonesia. Hingga akhir 2019, prevalensi stunting Indonesia masih berkisar di angka 30%, yang artinya 3 dari 10 anak Indonesia adalah stunting. 

Dr. dr. Tubagus Rachmat Sentika SpA.MARS, dokter spesialis anak yang juga pengasuh Pojok Konsultasi pada Nutrisi Keluarga mengatakan, masih tingginya angka stunting di Indonesia akibat pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan kebutuhan gizi keluarga masih rendah. “Kita makan hanya untuk kenyang dan enak. Masih sedikit masyarakat dan keluarga yang mempertimbangkan kecukupan gizi saat mengkonsumsi makanan,” jelas Rachmat, dalam wawancara yang dilakukan usai webinar “Siap Menjadi Ibu Pencetak Generasi Emas Bebas Stunting” pada Selasa (30/6). 

Disamping kebiasaan dan gaya hidup, faktor pengetahuan tentang gizi pun turut memicu persoalan stunting dan gizi buruk. Berdasarkan World’s Most Literate Nations, yang menunjukkan tingkat literasi Indonesia secara umum menduduki posisi kedua terbawah (ke-60 dari 61 negara) di dunia - World’s Most Literate Nations. Itu artinya kesadaran masyarakat untuk membaca, mencari tahu dan memahami informasi mengenai gizi masih sangat rendah. 

“Orang dengan literasi gizi yang baik akan paham kebutuhan gizinya, serta cermat membaca label informasi pada makanan olahan yang dikonsumsi. Tapi karena selama ini kita tidak terbiasa membaca label, jadi sering mengkonsumsi makanan yang salah. Contohnya adalah produk kental manis, masih ada orang tua yang memberikan ini sebagai susu untuk anak. Jika ini dibiarkan, Indonesia akan mengalami darurat kesehatan anak,” jelas dr Rachmat. 

Sebagaimana diketahui, sejak ditemukannya anak-anak dengan kondisi gizi buruk yang mengkonsumsi kental manis di Kendari dan Batam paad 2018 yang lalu, BPOM resmi menerbitkan aturan label pangan olahan, termasuk di dalamnya mengatur susu kental manis (SKM), yang termuat dalam Peraturan Kepala (Perka) BPOM No.31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan. Peraturan ini mewajibkan produsen mencantumkan beberapa hal pada label SKM agar masyarakat dapat memanfaatkan produk ini sesuai fungsinya. Pada label SKM, produsen wajib mencantumkan keterangan bahwa SKM tidak untuk menggantikan ASI, tidak cocok untuk bayi sampai usia 12 bulan, serta tidak dapat digunakan sebagai satu-satunya sumber gizi.
 
Peraturan label itu dibuat untuk menghindari penggunaan SKM oleh masyarakat sebagai pengganti ASI. Padahal, bayi pada usia tertentu sangat membutuhkan ASI yang tidak bisa digantikan oleh kategori produk susu manapun. Produsen yang tidak memenuhi ketentuan hingga batas waktu berakhir akan dikenai sanksi administratif. Sanksi paling berat adalah penarikan produk dari pasaran karena berisiko mengganggu kesehatan masyarakat.

Dikesempatan terpisah, Anggota Komisis IX DPR RI Hj. Intan Fitriana Fauzi, SH., LL.M menyayangkan implementasi mengenai peraturan tersebut belum sampai pada tataran masyarakat. “Masih banyak masyarakat yang memberikan SKM ini kepada anak-anak mereka. Padahal sudah jelas SKM itu bukan susu dan tidak memiliki protein sama sekali,” ucap Intan. 

Karenanya, dia meminta BPOM melalui Divisi Penindakannya untuk lebih tegas lagi dalam mengawasi produsen yang masih belum melaksanakan peraturan tentang Label SKM itu. “BPOM saya minta perlu lebih tegas bahwa jika terjadi pelanggaran dari produsen terhadap peraturan itu harus bisa dilakukan tindakan,” katanya.

Intan juga berjanji akan membawa isu bahwa SKM bukan susu ini saat Komisi IX DPR RI mengadakan rapat kerja dengan Menkes dan BPOM. “SKM ini bukan susu, tapi produsen tetap saja menyampaikan kepada masyarakat bahwa itu susu melalui penamaannya di label produk SKM mereka. Penamaan susunya inilah yang kemudian langsung ditangkap oleh masyarakat dan itu sangat membahayakan bagi anak-anak yang mengkonsumsinya,” ujar Intan. 
Dia menyampaikan bahwa Komisi IX juga akan bekerja sama dengan Komisi I DPR RI supaya iklan-iklan SKM yang beredar di masyarakat tidak membuat rancu soal penamaan kata susu di labelnya. 

“Saya sepakat kita harus sama-sama mensosialisasikan bahwa SKM itu bukan susu, karena kandungannya memang bukan untuk kesehatan anak. Saya juga akan melakukannya kepada masyarakat di dapil saya saat reses,” katanya. (RLs/Ind/28*).

Pewarta: Pers Release

Editor : M. Tohamaksun


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2020