Pelaksana tugas Dirjen Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Hamid Muhammad mengizinkan penambahan siswa dalam satu rombongan belajar (rombel) pada Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) DKI Jakarta.
"Penambahan siswa dari standar yang ditetapkan diperbolehkan, sepanjang ada alasan yang meyakinkan," ujar Hamid dalam konferensi pers secara daring di Jakarta, Selasa.
Hamid memberi contoh bagaimana Pemerintah Kota Surabaya pada dua tahun lalu, yang selalu mengusulkan agar jumlah siswa dalam satu rombel ditambah. Walikota Surabaya Tri Rismaharini meminta agar jumlah siswa untuk SMP dari 32 menjadi 36.
"Hal itu diperbolehkan, karena kalau tidak maka aspirasi masyarakat untuk masuk sekolah negeri tidak tertampung. Kami juga mempertimbangkan jangan sampai penambahan jumlah siswa itu menutup sekolah swasta," kata Hamid.
Baca juga: PPDB SD tahun ajaran 2020/2021 di Kota Bogor dibuka serentak mulai hari ini
Penutupan sekolah swasta akibat banyaknya murid yang ditampung di sekolah negeri, kata Hamid, menjadi pertimbangan khusus dikarenakan kontribusi sekolah swasta cukup besar pada angka partisipasi siswa.
Hamid menjelaskan penambahan jumlah siswa pada rombel itu sudah sejak sepekan yang lalu dibahas dengan Pemprov DKI Jakarta. Penambahan siswa itu merupakan solusi yang disepakati dari permasalahan PPDB DKI Jakarta.
"Setiap ada permasalahan PPDB, kami kontak dinas pendidikan daerah untuk membahas apa yang dapat kami lakukan untuk membantu daerah," kata Hamid.
Animo untuk masuk sekolah negeri, kata Hamid, terus meningkat setiap tahunnya. Jumlah siswa pada rombongan belajar untuk jenjang SD maksimum 24 siswa, jenjang SMP sebanyak 33 siswa, SMA/SMK maksimum 36 siswa.
Baca juga: Kemendikbud: Pembukaan sekolah di zona hijau dilakukan secara hati-hati
Hamid menjelaskan persyaratan batas usia dalam Permendikbud baik 17/2017 maupun 44/2019 diturunkan dari Peraturan Pemerintah 17/2010 yang mana memuat mengenai batas usia siswa.
"Kalaupun ada keluhan masyarakat yang menganggap tidak relevan maka itu bisa didiskusikan, namun perlu diingat bahwa revisi Peraturan Pemerintah itu tidak hanya melibatkan Kemendikbud saja, tapi juga pemerintah daerah dan lembaga lainnya," ujarnya.
Kemendikbud telah memulai penerapan PPDB zonasi sejak 2017. Pada prinsipnya, kata Hamid, hampir sama. Namun, ada perbedaan persentase untuk setiap jalur pada tahun ini.
"Tahun lalu yang berbasis zonasi itu 90 persen," kata dia lagi.
Baca juga: Komunikasi antara guru, orang tua dan siswa jadi kunci sukses belajar dari rumah
PPDB berbasis zonasi itu diterapkan dengan sejumlah kajian, yang mana jika menggunakan sistem nilai banyak masyarakat menengah ke bawah yang tersingkir. Hal itu dikarenakan anak-anak dari keluarga menengah ke bawah tidak bisa mengakses sumber-sumber bahan pendidikan maupun bimbingan belajar seperti kelas menengah ke atas.
"Anak-anak keluarga kelas menengah ke atas bisa mendapatkan fasilitas seperti kursus sehingga bisa mendapatkan sekolah bagus. Sedangkan anak-anak dari kelas menengah ke bawah, sulit mendapatkan nilai bagus dan tidak mendapatkan sekolah bagus serta tersingkir dari sistem," kata Hamid.
Pada awal penerapan sistem zonasi, ujar Hamid, banyak orang tua maupun guru yang protes karena kesulitan mengajar di kelas yang muridnya heterogen. Dalam hal itu, Kemendikbud mendorong guru untuk mengajar sesuai dengan kemampuan anak.
"Kondisi homogen (sekolah negeri yang bagus diisi anak-anak pintar) jangan dibiarkan terus terjadi. Harus dilebur dan biarkan anak-anak itu berinteraksi dan bersosialisasi dengan anak-anak yang tidak sama kemampuannya dengan mereka," kata Hamid.*
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2020
"Penambahan siswa dari standar yang ditetapkan diperbolehkan, sepanjang ada alasan yang meyakinkan," ujar Hamid dalam konferensi pers secara daring di Jakarta, Selasa.
Hamid memberi contoh bagaimana Pemerintah Kota Surabaya pada dua tahun lalu, yang selalu mengusulkan agar jumlah siswa dalam satu rombel ditambah. Walikota Surabaya Tri Rismaharini meminta agar jumlah siswa untuk SMP dari 32 menjadi 36.
"Hal itu diperbolehkan, karena kalau tidak maka aspirasi masyarakat untuk masuk sekolah negeri tidak tertampung. Kami juga mempertimbangkan jangan sampai penambahan jumlah siswa itu menutup sekolah swasta," kata Hamid.
Baca juga: PPDB SD tahun ajaran 2020/2021 di Kota Bogor dibuka serentak mulai hari ini
Penutupan sekolah swasta akibat banyaknya murid yang ditampung di sekolah negeri, kata Hamid, menjadi pertimbangan khusus dikarenakan kontribusi sekolah swasta cukup besar pada angka partisipasi siswa.
Hamid menjelaskan penambahan jumlah siswa pada rombel itu sudah sejak sepekan yang lalu dibahas dengan Pemprov DKI Jakarta. Penambahan siswa itu merupakan solusi yang disepakati dari permasalahan PPDB DKI Jakarta.
"Setiap ada permasalahan PPDB, kami kontak dinas pendidikan daerah untuk membahas apa yang dapat kami lakukan untuk membantu daerah," kata Hamid.
Animo untuk masuk sekolah negeri, kata Hamid, terus meningkat setiap tahunnya. Jumlah siswa pada rombongan belajar untuk jenjang SD maksimum 24 siswa, jenjang SMP sebanyak 33 siswa, SMA/SMK maksimum 36 siswa.
Baca juga: Kemendikbud: Pembukaan sekolah di zona hijau dilakukan secara hati-hati
Hamid menjelaskan persyaratan batas usia dalam Permendikbud baik 17/2017 maupun 44/2019 diturunkan dari Peraturan Pemerintah 17/2010 yang mana memuat mengenai batas usia siswa.
"Kalaupun ada keluhan masyarakat yang menganggap tidak relevan maka itu bisa didiskusikan, namun perlu diingat bahwa revisi Peraturan Pemerintah itu tidak hanya melibatkan Kemendikbud saja, tapi juga pemerintah daerah dan lembaga lainnya," ujarnya.
Kemendikbud telah memulai penerapan PPDB zonasi sejak 2017. Pada prinsipnya, kata Hamid, hampir sama. Namun, ada perbedaan persentase untuk setiap jalur pada tahun ini.
"Tahun lalu yang berbasis zonasi itu 90 persen," kata dia lagi.
Baca juga: Komunikasi antara guru, orang tua dan siswa jadi kunci sukses belajar dari rumah
PPDB berbasis zonasi itu diterapkan dengan sejumlah kajian, yang mana jika menggunakan sistem nilai banyak masyarakat menengah ke bawah yang tersingkir. Hal itu dikarenakan anak-anak dari keluarga menengah ke bawah tidak bisa mengakses sumber-sumber bahan pendidikan maupun bimbingan belajar seperti kelas menengah ke atas.
"Anak-anak keluarga kelas menengah ke atas bisa mendapatkan fasilitas seperti kursus sehingga bisa mendapatkan sekolah bagus. Sedangkan anak-anak dari kelas menengah ke bawah, sulit mendapatkan nilai bagus dan tidak mendapatkan sekolah bagus serta tersingkir dari sistem," kata Hamid.
Pada awal penerapan sistem zonasi, ujar Hamid, banyak orang tua maupun guru yang protes karena kesulitan mengajar di kelas yang muridnya heterogen. Dalam hal itu, Kemendikbud mendorong guru untuk mengajar sesuai dengan kemampuan anak.
"Kondisi homogen (sekolah negeri yang bagus diisi anak-anak pintar) jangan dibiarkan terus terjadi. Harus dilebur dan biarkan anak-anak itu berinteraksi dan bersosialisasi dengan anak-anak yang tidak sama kemampuannya dengan mereka," kata Hamid.*
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2020