Pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati menilai perlu kebijakan pro investasi dan insentif yang tepat untuk mendorong investor asing merealisasikan minat investasinya di Tanah Air, terutama di masa pandemi saat ini.

"Investor sudah tahu Indonesia ibarat gadis cantik, tapi persoalannya adalah bagaimana minat investor untuk berinvestasi itu terealisasi. Minat investasi itu harus segera direspons stakeholder. Birokrasinya harus dibuat tidak berbelit dan memudahkan maupun memenuhi kebutuhan industri," ujar Enny di Jakarta, Rabu.

Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), realisasi penanaman modal asing atau PMA yang masuk ke Indonesia pada kuartal I-2020 mengalami penurunan hingga 9,2 persen dibandingkan kuartal I-2019.

Investasi di sektor sekunder yang mencerminkan investasi di sektor manufaktur juga terus menurun. Padahal, di awal tahun sudah banyak perusahaan yang dikabarkan mulai merelokasi investasinya dari China.

"Kalau tidak salah ada sekitar 34 industri asal AS yang sudah shifting investasi dari China ke negara-negara Asia Tenggara seperti Vietnam, Malaysia, dan beberapa negara lain. Tapi tidak satu pun yang masuk ke Indonesia," kata Enny.

Oleh karena itu, Enny menyarankan para pembuat kebijakan harus benar-benar menangani kendala-kendala utama di bidang investasi. Sehingga pada periode atau gelombang berikutnya, Indonesia dapat menjadi salah satu tujuan relokasi investasi dari China.

Dalam memikat investasi untuk masuk, lanjut Enny, tidak ada salahnya mencontoh negara lain.

Baca juga: Emas raih kenaikan hari ketiga beruntun, ditopang pelemahan terhadap dolar AS

"Kalau itu bagus, kenapa kita tidak copy paste saja. Ini lebih kepada soal keinginan pemerintah, mau berubah atau tidak,” ujar Enny.

Pemerintah bisa mencontoh kebijakan yang diterapkan Vietnam dalam menarik investasi masuk ke negaranya. Pemerintah Vietnam memberikan kemudahan regulasi bagi investasi, biaya ekspor yang lebih efisien, hingga infrastruktur yang dipersiapkan untuk mendukung industri.

Memang pemerintah sudah mengeluarkan beberapa kebijakan ramah investasi. Mulai dari Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 150 Tahun 2018 tentang Pemberian Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan Badan untuk produk inovatif. Lalu, ada juga kebijakan super tax deduction untuk kegiatan riset dan pengembangan melalui Peraturan Pemerintah PP Nomor 45 Tahun 2019.

Namun dari beberapa insentif tersebut, baru insentif super deductible tax atas vokasi yang sudah dikeluarkan aturan teknisnya. Sedangkan aturan teknis untuk pemanfaatan fasilitas super deductible tax atas riset dan investment allowance belum juga rampung.

Cakupan jenis industri yang dapat menikmati fasilitas tersebut juga bisa diperluas agar pemanfaatan insentif bisa maksimal, tidak hanya yang termasuk dalam industri pionir.

Baca juga: Nilai tukar Rupiah menguat didorong potensi pemulihan ekonomi

Selain insentif yang telah dirilis, pemerintah juga perlu mengeluarkan insentif lain untuk mendorong minat investor merealisasikan investasinya segera di Indonesia. Selain soal pajak, penerapan tarif cukai yang sesuai agar tercipta basis konsumen, dan pembebasan bea masuk untuk impor peralatan juga bisa diberikan sebagai insentif. Insentif tersebut juga sebaiknya bersifat fleksibel karena tentu kebutuhan dari masing-masing industri berbeda-beda.

"Intinya bagaimana agar membuat investor yang berminat melakukan investasi merealisasikan investasinya itu, bukan hanya berminat saja," kata Enny.

Pemerintah Indonesia sendiri tengah giat berbenah untuk menangkap peluang investasi yang dapat menjadi salah satu kunci untuk pemulihan ekonomi saat pandemi. Termasuk memaksimalkan kesempatan rencana perusahaan-perusahaan global yang akan merelokasi pabrik dan investasinya dari China ke negara Asia Tenggara.

Dengan masuknya investasi tersebut, diharapkan dapat memicu kembali pertumbuhan ekonomi yang tengah lesu akibat pandemi COVID-19.

Kementerian Perindustrian menyebutkan sudah ada sekitar 150 perusahaan yang akan hengkang dari China. Dimana 110 perusahaan berasal dari Amerika Serikat dan 40 perusahaan lainnya berasal dari Jepang.

Hal tersebut dinilai sebagai sebuah potensi yang harus ditangkap dan harus betul-betul siap. Negara ASEAN lainnya pasti berlomba-lomba menggelar karpet merah untuk 150 perusahaan itu, termasuk India dan Bangladesh.

Pewarta: Citro Atmoko

Editor : M. Tohamaksun


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2020