Jakarta (ANTARA) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkan bahwa tersangka kasus dugaan pemerasan dalam pengurusan izin kerja atau rencana penggunaan tenaga kerja asing (RPTKA), Haryanto, diperiksa terkait penerimaan uang dari agen TKA.
"Dia didalami terkait pengetahuan dan peran yang bersangkutan dalam penerimaan uang dari para agen TKA," ujar Juru Bicara KPK Budi Prasetyo saat dikonfirmasi ANTARA di Jakarta, Kamis.
Tersangka Haryanto diperiksa penyidik KPK pada Rabu (18/6). Dia merupakan salah satu dari delapan orang tersangka pada kasus dugaan pemerasan dalam pengurusan izin kerja TKA.
Berdasarkan catatan KPK, Haryanto tiba di Gedung Merah Putih KPK pada pukul 09.48 WIB. Sementara berdasarkan laporan pewarta di lapangan, Haryanto pergi meninggalkan gedung tersebut pada pukul 14.50 WIB.
Usai diperiksa, Haryanto mengaku masih ditanya hal normatif oleh penyidik KPK.
KPK pada 5 Juni 2025 mengungkapkan identitas delapan orang tersangka kasus pemerasan dalam pengurusan RPTKA di Kemenaker, yakni aparatur sipil negara (ASN) di Kemenaker bernama Suhartono, Haryanto, Wisnu Pramono, Devi Anggraeni, Gatot Widiartono, Putri Citra Wahyoe, Jamal Shodiqin, dan Alfa Eshad.
Menurut KPK, para tersangka dalam kurun waktu 2019–2024 telah mengumpulkan sekitar Rp53,7 miliar dari pemerasan pengurusan RPTKA.
KPK menjelaskan bahwa RPTKA merupakan persyaratan yang harus dipenuhi oleh tenaga kerja asing agar dapat bekerja di Indonesia.
Bila RPTKA tidak diterbitkan Kemenaker, penerbitan izin kerja dan izin tinggal akan terhambat sehingga para tenaga kerja asing akan dikenai denda sebesar Rp1 juta per hari. Dengan begitu, pemohon RPTKA terpaksa memberikan uang kepada tersangka.
Selain itu, KPK mengungkapkan bahwa kasus pemerasan pengurusan RPTKA tersebut diduga terjadi sejak era Abdul Muhaimin Iskandar atau Cak Imin menjabat Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi pada periode 2009–2014, yang kemudian dilanjutkan Hanif Dhakiri pada 2014–2019, dan Ida Fauziyah pada 2019–2024.
Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendalami dugaan adanya aliran dana pada kasus pemerasan izin kerja tenaga kerja asing (TKA) kepada staf khusus Menteri Ketenagakerjaan.
Juru Bicara KPK Budi Prasetyo mengatakan bahwa penyidik mendalami aliran dana tersebut saat memeriksa stafsus era Menaker Hanif Dhakiri, Luqman Hakim, sebagai saksi kasus tersebut pada Selasa (17/6).
"Penyidik mendalami dugaan adanya aliran dana dari para tersangka ke para staf khusus Menaker," ujar Budi saat dikonfirmasi ANTARA di Jakarta, Kamis.
Haryanto merupakan mantan Staf Ahli Menteri Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Internasional pada masa Menaker Yassierli.
Dia ditetapkan sebagai tersangka pada kasus tersebut berdasarkan pengalamannya sebagai Direktur Pengendalian Penggunaan Tenaga Kerja Asing (PPTKA) Kemenaker tahun 2019-2024, dan Direktur Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja (Binapenta dan PKK) Kemenaker tahun 2024-2025.
Untuk penyidikan kasus tersebut, KPK pada Senin (16/6), sempat memanggil sejumlah saksi yang di antaranya adalah Eden Nurjaman sebagai wiraswasta, staf ahli Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi di masa Menakertrans Erman Soeparno dan Abdul Muhaimin Iskandar alias Cak Imin bernama Muller Silalahi, dan pensiunan aparatur sipil negara (ASN) Kemenaker Jagamastra.
Dua saksi lainnya adalah fungsional pada Direktorat Bina Pemeriksaan Norma Ketenagakerjaan Direktorat Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan dan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Kemenaker tahun 2023-2025 Jadi Erikson Pandapotan Sinambela, dan Direktur Utama PT Dienka Utama Barkah Adi Santosa.
KPK pada Selasa (17/5), memanggil staf khusus Menteri Ketenagakerjaan era Menaker Hanif Dhakiri, Luqman Hakim, sebagai saksi kasus tersebut.
Sementara itu, KPK pada 5 Juni 2025 mengungkapkan identitas delapan orang tersangka kasus pemerasan dalam pengurusan RPTKA di Kemenaker, yakni aparatur sipil negara (ASN) di Kemenaker bernama Suhartono, Haryanto, Wisnu Pramono, Devi Anggraeni, Gatot Widiartono, Putri Citra Wahyoe, Jamal Shodiqin, dan Alfa Eshad.
Menurut KPK, para tersangka dalam kurun waktu 2019–2024 telah mengumpulkan sekitar Rp53,7 miliar dari pemerasan pengurusan RPTKA.
KPK menjelaskan bahwa RPTKA merupakan persyaratan yang harus dipenuhi oleh tenaga kerja asing agar dapat bekerja di Indonesia.
Bila RPTKA tidak diterbitkan oleh Kemenaker, penerbitan izin kerja dan izin tinggal akan terhambat sehingga para tenaga kerja asing akan dikenai denda sebesar Rp1 juta per hari. Dengan begitu, pemohon RPTKA terpaksa memberikan uang kepada tersangka.
Selain itu, KPK mengungkapkan bahwa kasus pemerasan pengurusan RPTKA tersebut diduga terjadi sejak era Cak Imin menjabat Menakertrans pada periode 2009–2014, yang kemudian dilanjutkan Hanif Dhakiri pada 2014–2019, dan Ida Fauziyah pada 2019–2024.
Baca juga: KPK sebut hampir 100 pertanyaan untuk Windy Idol terkait kasus TPPU
Baca juga: KPK periksa Bupati Penajam Paser Utara soal tambang batu bara