Jakarta (ANTARA) - Rumah atau tempat tinggal (papan) adalah kebutuhan primer bagi manusia bersama dengan makanan (pangan) dan pakaian (sandang).
Sebagai salah satu kebutuhan pokok manusia, keberadaan tempat tinggal mutlak harus dipenuhi; kehilangan rumah berarti tercerabut pula kebutuhan primer manusia.
Ancaman kehilangan rumah tentu persoalan besar, dan inilah nampaknya yang dirasakan para penghuni rumah susun sederhana sewa (rusunawa) setelah ada kabar Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berencana mengatur jangka waktu maksimal warga untuk bisa menempati rumah susun.
Aturan pembatasan masa tinggal itu membuat banyak warga gundah, khawatir akan nasib mereka ketika batas waktu habis.
Kepala Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman Kelik Indriyanto menjelaskan bahwa aturan pembatasan masa tinggal di rusunawa memang dibutuhkan.
Aturan ini merupakan upaya untuk mendorong masyarakat mempunyai peningkatan status hunian, dari selaku penyewa menjadi pemilik hunian.
Rusunawa merupakan tempat inkubasi bagi masyarakat yang memiliki keterbatasan finansial.
Rencana ini pun turut mendapat perhatian dari legislator. Senada dengan Kelik, Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta Yuke Yurike menilai, aturan tersebut memang diperlukan.
Pasalnya, banyak masyarakat berpenghasilan rendah membutuhkan tempat tinggal.
Yuke mengingatkan, tugas Dinas Perumahan Rakyat bukan sekadar menyiapkan tempat tinggal untuk warga.
Tunggakan
Ada alasan lain di balik munculnya wacana aturan ini. Rencana ini muncul karena adanya tunggakan para penghuni rusun yang kabarnya mencapai Rp95,5 miliar.
Tunggakan penghuni rusun di Jakarta ada sejak tahun 2010. Warga rusun yang paling banyak menunggak ada di Rusun Marunda, Jakarta Utara yaitu untuk masyarakat terprogram sebanyak 1.552 unit dengan besaran tunggakan Rp10,8 miliar dan masyarakat umum sebanyak 773 unit dengan besaran tunggakan Rp8,8 miliar.Dinas Perumahan Rakyat juga menemukan ada warga yang tinggal di salah satu rusunawa tetapi mempunyai lima unit Jaklingko. Kelik menegaskan warga yang seperti itu tidak akan diperpanjang masa tinggalnya di rusun.
Setiap penghuni yang memperpanjang kontraknya akan dievaluasi oleh Unit Pengelola Rumah Susun (UPRS) dengan mengecek ke Bapenda.
Bagi Sanya (27) yang merupakan penghuni rusunawa, apabila peraturan batas masa tinggal benar-benar diberlakukan, maka pasti hal ini akan menimbulkan masalah baru bagi warganya.
“Kalau batas tinggalnya sudah habis, penghuni pasti bingung mau pindah kemana? Apalagi kalau penghuni itu memang kerja dan kebanyakan mobilitas di Jakarta,” kata Sanya.
Dia memilih tinggal di Rusunawa dibanding rumah tapak karena lokasinya yang lebih dekat dari tempatnya bekerja.
Dwi (32) yang juga penghuni rusun menilai bahwa peraturan ini cukup mempersulit masyarakat. “Didorong saja supaya bisa jadi hak milik. Kalau pindah, nanti pindah kemana?" katanya mempertanyakan.
Penjabat Gubernur DKI Jakarta Teguh Setyabudi memastikan bahwa Pemprov belum menerbitkan keputusan tentang pembatasan masa tinggal di rusunawa. Dia mengatakan informasi mengenai pembatasan masa tinggal di rusunawa tersebut masih wacana dan belum disepakati oleh pemerintah provinsi.
Baca juga: Yuke Yurike: Rusunawa perlu pembatasan karena bukan tempat tinggal tetap
Baca juga: Jakarta sebut penghuni rusunawa menunggak sejak 2010