Majelis Ulama Indonesia (MUI) DKI Jakarta tidak merekomendasikan pelaksanaan Shalat Jumat dua gelombang sesuai fatwa MUI pusat.
"Kami MUI DKI Jakarta 'sami'na wa atho'na' dengan fatwa MUI pusat," kata Ketua MUI DKI Jakarta KH Munahar Muchtar dalam konferensi pers di Gedung MUI pusat Jakarta, Kamis.
"Sami'na wa atho'na" sendiri maksudnya adalah istilah yang dikutip dari Al Quran yang artinya kami mendengar dan kami menaati.
Sempat terjadi polemik antara MUI Pusat dan MUI Jakarta yang memiliki perbedaan fatwa Shalat Jumat melalui Fatwa MUI DKI Nomor 5 Tahun 2020. Meski berbeda, Munahar mengatakan Fatwa MUI DKI memang memiliki landasan sendiri.
Baca juga: Harga emas PT Antam turun Rp17.000 per gram
Terdapat pendapat-pendapat soal pelaksanaan Jumatan yang sama-sama memiliki rujukan kuat. Dalam fatwa itu terdapat banyak hal tetapi untuk poin shalat dua gelombang tidak diberlakukan mengikuti Fatwa MUI pusat Nomor 5 Tahun 2000.
"Kita menuju satu arah. MUI DKI ada rujukan Fatwa MUI Tahun 2000. Tapi kawan-kawan Komisi Fatwa MUI pusat memiliki referensi-referensi lain," kata dia.
Baca juga: Selandia Baru sediakan pembalut menstruasi gratis bagi para siswa perempuan
Maka dari itu, dia mengatakan untuk persoalan pendapat Shalat Jumat dua gelombang, MUI DKI mengikuti MUI pusat merujuk pada Jumatan dalam beberapa shift tidak relevan dengan keadaan di Indonesia.
Baca juga: Presiden targetkan pengujian spesimen COVID-19 capai 20 ribu per hari
Munahar mengatakan mayoritas ulama menyebut Shalat Jumat dua gelombang bisa dilakukan di kawasan dengan jumlah masjid terbatas dan di kawasan minoritas seperti di Eropa, Amerika Serikat dan daerah lain yang relevan.
"Shalat Jumat di Indonesia dua gelombang tidak memungkinkan karena banyaknya tempat-tempat yang bisa kita gunakan. Kita tetap kembali ke MUI pusat dalam kondisi saat ini di Jakarta. Ini tidak memungkinkan diterapkan di Jakarta," kata dia soal Shalat Jumat dua gelombang.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2020
"Kami MUI DKI Jakarta 'sami'na wa atho'na' dengan fatwa MUI pusat," kata Ketua MUI DKI Jakarta KH Munahar Muchtar dalam konferensi pers di Gedung MUI pusat Jakarta, Kamis.
"Sami'na wa atho'na" sendiri maksudnya adalah istilah yang dikutip dari Al Quran yang artinya kami mendengar dan kami menaati.
Sempat terjadi polemik antara MUI Pusat dan MUI Jakarta yang memiliki perbedaan fatwa Shalat Jumat melalui Fatwa MUI DKI Nomor 5 Tahun 2020. Meski berbeda, Munahar mengatakan Fatwa MUI DKI memang memiliki landasan sendiri.
Baca juga: Harga emas PT Antam turun Rp17.000 per gram
Terdapat pendapat-pendapat soal pelaksanaan Jumatan yang sama-sama memiliki rujukan kuat. Dalam fatwa itu terdapat banyak hal tetapi untuk poin shalat dua gelombang tidak diberlakukan mengikuti Fatwa MUI pusat Nomor 5 Tahun 2000.
"Kita menuju satu arah. MUI DKI ada rujukan Fatwa MUI Tahun 2000. Tapi kawan-kawan Komisi Fatwa MUI pusat memiliki referensi-referensi lain," kata dia.
Baca juga: Selandia Baru sediakan pembalut menstruasi gratis bagi para siswa perempuan
Maka dari itu, dia mengatakan untuk persoalan pendapat Shalat Jumat dua gelombang, MUI DKI mengikuti MUI pusat merujuk pada Jumatan dalam beberapa shift tidak relevan dengan keadaan di Indonesia.
Baca juga: Presiden targetkan pengujian spesimen COVID-19 capai 20 ribu per hari
Munahar mengatakan mayoritas ulama menyebut Shalat Jumat dua gelombang bisa dilakukan di kawasan dengan jumlah masjid terbatas dan di kawasan minoritas seperti di Eropa, Amerika Serikat dan daerah lain yang relevan.
"Shalat Jumat di Indonesia dua gelombang tidak memungkinkan karena banyaknya tempat-tempat yang bisa kita gunakan. Kita tetap kembali ke MUI pusat dalam kondisi saat ini di Jakarta. Ini tidak memungkinkan diterapkan di Jakarta," kata dia soal Shalat Jumat dua gelombang.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2020