Pada awal era reformasi atau akhir tahun 1990-an, Indonesia begitu lekat dengan citra buruk sebagai sarang "illegal logging" di dunia. Akibatnya, Indonesia mendapatkan sorotan tajam dari berbagai pihak di dunia.   
     
Dalam berbagai forum internasional, isu ini selalu menjadi menu hangat yang diperbincangkan. Hal tersebut tentu saja membuat posisi Indonesia tersudut. Citra Indonesia remuk redam, karena dianggap tidak mampu mengatasi masalah illegal logging.

Pemerintah melalui Kementerian Kehutanan (Kemenhut) melakukan berbagai upaya guna mengatasi masalah yang selalu disorot tajam publik dunia tersebut.

Sejak 1 September 2009, Kemenhut memberlakukan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK).

SVLK merupakan sistem pelacakan yang disusun secara multistakeholder untuk memastikan legalitas sumber kayu yang beredar dan diperdagangkan di Indonesia. SVLK dikembangkan untuk mendorong implementasi peraturan pemerintah yang berlaku terkait perdagangan dan peredaran hasil hutan yang legal di Indonesia.

Indonesia menerapkan SVLK untuk memastikan agar semua produk kayu yang beredar dan diperdagangkan memiliki status legalitas yang meyakinkan. Konsumen di luar negeri pun tidak perlu lagi meragukan legalitas kayu yang berasal dari Indonesia.

Unit manajemen hutan tidak khawatir hasil kayunya diragukan keabsahannya. Industri berbahan kayu yakin akan legalitas sumber bahan baku kayunya sehingga lebih mudah meyakinkan para pembelinya di luar negeri.  

SVLK merupakan komitmen dalam memerangi pembalakan liar dan perdagangan kayu ilegal demi terwujudnya "good forest governance" menuju pengelolaan hutan lestari. SVLK juga sebagai respons permintaan atas jaminan legalitas kayu dalam bentuk sertifikasi dari pasar internasional, khususnya dari Uni Eropa, Amerika Serikat, Jepang dan Australia.

Isu SVLK menjadi bahasan utama dalam Kongres III Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) di Bogor, Jawa Barat pada 9-11 Oktober 2014.

Kongres III LEI mengangkat tema "Menuju Jalan Baru Kelestarian Sumberdaya Alam melalui Peningkatan Peran Sertifikasi dan Organisasi LEI dalam Menjawab Tantangan Berkekanjutan".

Dalam kongres tersebut, LEI mengundang para pemangku kebijakan bidang perkayuan maupun kehutanan untuk urun rembuk memetakan berbagai masalah kekinian yang dihadapi Indonesia.

    
                               Kiblat Sertifikasi Kayu Dunia
Menurut Direktur Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hutan Kemenhut Dr Dwi Sudharto, citra Indonesia kini sudah tidak identik sebagai sarang illegal logging namun justru menjadi kiblat sertifikasi kayu yang disegani di dunia.  
    
Banyak negara yang belajar dari Indonesia mengenai cara melakukan sertifikasi kayu yang baik. Myanmar, Malaysia, Thailand, Vietnam, Brazil, dan kini Australia, tercatat belajar dari Indonesia.

"Dahulu Indonesia sering dituduh sebagai sarang 'illegal logging', namun sekarang telah berubah menjadi kiblat sertifikasi kayu yang disegani dunia. Banyak negara yang kini belajar dari Indonesia," katanya dalam kongres itu.

Menurut Dwi, SVLK yang dikembangkan Indonesia sangat memudahkan produk kayu melakukan penetrasi pasar ekspor ke berbagai penjuru dunia, terutama ke Uni Eropa.

Indonesia merupakan negara pertama yang tidak dikenakan "due dilligent" (uji tuntas) oleh Uni Eropa atas produk kayu. Sementara negara lain harus melalui prosedur yang lebih ketat untuk memasukan produk kayunya ke Uni Eropa.

"Indonesia menjadi negara yang sangat disegani dunia, karena berhasil mempelopori sertifikasi kayu yang dikembangkan," katanya.

Pengembangan SVLK, didasari semangat penegakan hukum, pengelolaan hutan produksi lestarsi (PHPL), jaminan pasokan bahan baku, keberlangsungan industri kayu, dan perdagangan berkelanjutan. Berkat program SVLK, Indonesia kini menjadi negara yang paling disegani di dunia di bidang sertifikasi kayu.

Alhasil, hal tersebut sangat memudahkan produk kayu nasional melakukan penetrasi pasar ekspor ke berbagai penjuru dunia, terutama ke Uni Eropa.

Program SVLK diakui dunia internasional dengan adanya pengakuan Uni Eropa terhadap SVLK secara resmi. Hal ini sebagai bukti nyata Indonesia memerangi "illegal logging-trading".

SVLK memiliki sejumlah keunggulan. Pertama, dibangun bersama "multistakeholders" melalui keterwakilan, menjadi milik bersama, bukan hanya pemerintah saja. Kedua, berstandar internasional (ISO Guide). Ketiga, dimonitor oleh pemantau independen yang kredibel. Ketiga, didukung oleh sistem informasi yang transparan dan terlacak (SILK online, SI PUHH online, RPBBI online), bahkan SILK terintegrasi sampai INATRADE dan INSW.

Selain itu, SVLK sesuai dengan semangat "Pro-Poor, Pro-Growth, Pro-Jobs dan Pro-Environment" dan mencakup perdagangan produk kayu dari semua sumber (hutan negara dan hutan hak).

    
                         Pemerintah Akui Peran LEI
Dwi Sudharto mengungkapkan bahwa Kemenhut mengakui peran LEI dalam pengembangan SVLK di Indonesia. "LEI adalah ibunya SVLK di Indonesia," tegasnya.

LEI sejak dibentuk pada tahun 1998, sangat peduli mendorong sertifikasi kayu dan hutan. SVLK merupakan buah dari perjuangan LEI dan para pihak terkait dalam mendorong sertifikasi hutan.

SVLK tak lain sebagai puncak negosiasi yang intensif selama enam tahun, sebagai wujud keberhasilan diplomasi Indonesia.

SVLK mencakup sistem lisensi atas produk kayu yang diekspor dari Indonesia ke 28 negara anggota EU. SVLK merupakan sistem penjaminan legalitas kayu pertama di dunia.

Sementara itu Sekretaris Jenderal Kemenhut Hadi Daryanto dalam sambutan tertulisnya saat pembukaan Kongres III LEI, Kamis (9/10) mengakui bahwa LEI sebagai organisasi produk dalam negeri, namun memiliki kredibilitas dan kemampuan yang dapat disandingkan setara dengan standar internasional.

LEI juga aktif sebagai anggota panitia teknis perumusan Rancangan Standar Nasional Indonesia (RSNI) pada sektor kehutanan.

"Kami menghargai kontribusi LEI selama ini cukup besar dalam membangun hutan lestari," katanya.

Pembangunan hutan lestari yang dikembangkan LEI, antara lain dalam sertifikasi hutan yang telaah mencapai 16 Unit Manajemen (UM) Hutan Tanaman seluas 1.740.699 hektare, 22 UM Hutan Rakyat seluas 32.331 hektare, satu UM hutan alam dengan luas 195.110 hektare, dan lacak balak lima unit industri.

Kontribusi lainnya yang diberikan LEI, yaitu membuktikan perannya sebagai "sparring partner" pemerintah dalam upaya perbaikan ke arah pengelolaan sumberdaya hutan lestari.

Ketua Majelis Perwalian Anggota (MPA) LEI periode 2009-2014, Agus Setyarso mengemukakan, sejak berdiri pada tahun 1998 dan menjadi organisasi konstituen pada 2004, LEI telah berhasil membangun sistem sertifikasi hutan sukarela Indonesia yang kredibel, yang bukan hanya mencakup standar sertifikasi, prosedur dan persyaratannya namun juga membangun kapasitas para pihak yang terlibat dalam sertifikasi, dan menjadi rujukan bagi pengembangan inisiatif sejenis di Indonesia.

Menurut Agus, LEI adalah oragnisasi pertama bidang sumber daya alam yang berbasis konstituen. LEI memiliki empat bidang mewakili pemangku kepentingan hutan Indonesia yang mendukung LEI dalam menggunakan sertifikasi sebagai alat dalam mencapai pengelolaan hutan lestari, yakni pelaku bisnis, masyarakat tradisional dan petani hutan, lembaga swadaya masyarakat, dan penduduk.

"LEI mampu bertahan sebagai organisasi kredibel di bidang lingkungan dan sumberdaya alam yang sarat prestasi. Salah satu prestasi besar LEI adalah mendorong sertfikasi kayu dan hutan untuk memperbaiki kinerja pengelolaan sumber daya alam di Indonesia," katanya.

Lebih lanjut diutarakan, dengan bekal pengalaman LEI dalam membangun sistem sertifikasi, bersama dengan organisasi masyarakat sipil lainnya dan Kemenhut pada 2005-2008 mulai dilakukan pembangunan SVLK secara "mandatory" berdasarkan definisi legalitas kayu yang dikembangkan pada tahun sebelumnya.

    
                              Gagas Kurikulum Ekonomi Hijau
Kongres III LEI selain melahirkan pemimpin baru, dengan terpilihnya Diah Suradiredja sebagai ketua Majelis Perwalian Anggota (MPA) LEI 2014-2019 menggantikan ketua periode sebelumnya Agus Setyarso juga melahirkan sejumlah gagasan besar.

Antara lain, organisasi ini mendorong pengembangan ekonomi hijau.

Sekolah sebagai pusat pendidika formal maupun lembaga-lembaga lain sebagai wahana pendidikan informal diminta berperan dalam mengembangkan kurikulum ekonomi hijau ramah lingkungan.

Pengembangan ekonomi hijau melalui jalur pendidikan diyakini dapat berdampak besar dalam menumbuhkan kesadaran dan kepedulian masyarakat akan pentingnya pengelolaan sumberdaya alam secara lestari dan berkelanjutan.

Anggota MPA LEI 2009-2014, Haryanto R. Putro mengemukakan, LEI memiliki potensi untuk tampil terdepan sebagai penggerak transformasi ekonomi hijau di Indonesia.

Karenanya, LEI menggagas paradigma baru keberlanjutan ekologi. Paradigma ini dapat memperkuat peran organisasi dalam mendorong terwujudnya pembangunan tata kelola sumberdaya alam yang lestari dan adil, yang dapat memberikan manfaat baik secara ekonomi, sosial, maupun ekologi.

Haryanto R. Putro, yang juga tercatat sebagai dosen Institut Pertanian Bogor menyebut perlu paradigma baru keberlangsungan ekologi yaitu, tata kelola sumberdaya alam yang memperhatikan tiga aspek secara seimbang, yakni ekonomi, sosial, dan ekologi.  

Pengelolaan sumberdaya alam haruslah memberikan manfaat bagi masyarakat baik dalam hal ekonomi, sosial maupun ekologi.

Menurut dia, paradigma keberlanjutan dalam konteks proses-proses perubahan sosial politik diwujudkan dengan melakukan intervensi pembangunan ekonomi, infrastruktur dan sosial budaya dengan memperhatikan faktor modal sosial masyarakat.     

Institusi lokal perlu diberdayakan melalui pelestarian kearifan tradisional dan perawatan adat istiadat dan budaya. Daya dukung dan daya tampung lingkungan juga perlu mendapatkan perhatian. Begitu pula dengan jasa ekosistem perlu dikelola secara lebih baik lagi untuk mewujudkan keberlanjutan ekologi berbasis fisiografi, sumber daya alam, dan keanekaragaman hayati.  

*Lulusan S2 Komunikasi Institut Pertanian Bogor, Pegiat pada Forum Komunikasi Pembangunan Indonesia (FORKAPI) IPB

Pewarta: Ahmad Fahir, MSi*

Editor : Feru Lantara


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2014