Bogor, (Antaranews Bogor) - Salah satu "eminent persons" Lembaga Ekolabel Indonesia Diah Y Suradireja mengharapkan lembaga itu terus berbenah dan siap menghadapi Masyakarat Ekonomi ASEAN (MEA) pada 2015.

"Dalam MEA nanti semuanya berbasis sertifikasi, sehingga perlu kesiapan yang serius," katanya di sela-sela Kongres III Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) di Bogor, Jawa Barat, Jumat.

LEI adalah organisasi berbasiskan konstituen yang mempunyai visi dan misi mewujudkan pengelolaan hutan yang adil dan lestari di Indonesia, dengan keanggotaan yang terbagi dalam empat kamar konstituen, yaitu kamar swasta, masyarakat, pemerhati, dan "eminent person".

Kelompok "eminent persons" meliputi individu-individu yang telah terbukti dan diakui secara luas memiliki kapasitas dan kemampuan berkontribusi dalam pencapaian visi dan misi organisasi.

Ia menyebutkan bahwa dalam MEA 2015 pilihannya hanya ada dua, yakni apakah Indonesia siap memanfaatkan peluang 600 juta (jumlah pendudukan negara ASEAN) untuk manfaat ekonomi Indonesia ataukah hanya justru menjadi pasar bagi negara lain yang lebih siap dengan produknya.

Menghadapi kondisi itu, kata dia, mau tidak mau LEI pun perlu terus bersiap untuk terus memperbaiki diri.

Diah memberi contoh bahwa Malaysia dan Filipina sudah mampu memakai sertifikasi negara sendiri, dan tidak harus memakai skema luar untuk produk-produknya yang diwujudkan dengan logo lembaga sertifikasi setempat.

"Apakah tidak mungkin untuk produk kertas tisu kita juga bisa memakai logo LEI, juga pensil dan produk sejenisnya, sehingga tidak harus memakai sertifikasi dari luar," katanya.

Sementara itu, salah satu konstituen LEI dari kamar pemerhati/LSM, yakni Direktur Eksekutif Konsorsium Untuk Studi dan Pengembangan Partisipasi (Konsepsi) Nusa Tenggara Barat Rahmad Sabani bahwa sistem sertifikasi LEI sebenarnya punya ciri khas dan keunikan yakni dibangun dengan nilai asli Indonesia.

"Dengan ciri asli Indonesia itulah yang mestinya perlu ada perhatian dari pemerintah terhadap LEI," kata pegiat yang berkecimpung dalam pendampingan hutan kemasyarakatan (HKM) di NTB itu.

Ia menyatakan saat ini LEI dalam atmosfer perubahan yang cukup signifikan, baik perubahan lingkungan eksternal, lingkungan internal, kapasitas organisasional yang mendukung.

Menurut dia, tantangannya adalah rekognisi standar LEI ke dalam struktur sertifikasi internasional maupun ke dalam kebijakan dan pengakuan dan kepercayaan oleh masyarakat dan khususnya oleh pasar, sampai pada soal memperkuat "ownership" dan komitmen dari konsituennya sebagai organisasi berbasis konsituen.

"Itu semua untuk membangun dan memperkuat kredibilitas organisasional dan sistem dan standar LEI yang dipercaya dan diakui," katanya.

Rahmat Sabani melihat ada gap antara cita-cita dan tujuan organisasional serta mandat Kongres II LEI dengan kondisi LEI saat ini, terlebih dihadapkan pada tantangan eksternal dan kapasitas organisasional.

Karena itu, katanya, pada Kongres III ini harus ada keberanian kolektif untuk melakukan "review" terhadap tapak jalan LEI.

"Kita tetap memberikan penghargaan dan terima kasih yang tinggi kepada Majelis Perwalian Anggota (MPA) LEI yang dikomandani Pak Agus Setyarso dan Badan Pekerja LEI," katanya.

Bahkan, kata dia, jika anggaran dasar dan anggaran rumah tangga LEI perlu disesuaikan, tidak haram untuk dilakukan perubahan penyempurnaan untuk menjawab tantangan.

Hal lain yang juga penting untuk dikaji dan berani untuk secara ikhlas dilakukan perubahan positif, kata dia, adalah soal manajemen organisasional, manajemen sumber daya orang yang potensial untuk menjalankan amanat LEI.

Bentuknya, apakah memperkuat melalui peningkatan kapasitas maupun melalui proses rekruitmen manajemen yang selektif dan profesionalitas dengan mempertimbangkan kapabilitas dan jaringan yang luas.

Ia mengakui anggota LEI sesungguhnya memiliki sumber daya orang yang tersedia dan diyakini juga bersedia memajukan LEI serta memperjuangkan standar LEI baik menuju rekognisi maupun untuk memperoleh kepercayaan dan pengakuan masyarakat internasional dan pasar.

Ia menyebut di LEI selain yang dikenal selama ini yakni Ketua MPA Agus Setyarso, ada tokoh lain seperti Diyah Suradireja, Taufik Alimi, Purwadi Soeprihanto, Sera Noviyani, BuceSalah, dan lainnya yang bisa membantu meningkatkan kemampuan lembaga itu ke depan menghadapi berbagai tantangan.

Kongres III LEI yang telah dibuka Sekjen Kemenhut Hadi Daryanto pada Kamis (9/10) dan akan berakhir pada Sabtu (11/10) diikuti diikuti 250 konstituen LEI, yang terdiri atas para pakar dan pemangku kebijakan di bidang kehutanan, pemerhati, dunia usaha, dan masyarakat adat dari seluruh Indonesia.

Pewarta: Andi Jauhari

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2014