Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), salah satu kelompok atau gerakan yang pernah terdaftar sebagai Ormas keagamaan, saat ini masih terlihat aktivitasnya meskipun sudah resmi dibubarkan oleh pemerintah pada Tahun 2017.
Meskipun tidak menggunakan nama HTI, paham Khilafah yang diusungnya masih sering trending di media sosial seperti twitter dan facebook. Bahkan, sejak pandemi Covid-19 melanda berbagai negara termasuk Indonesia yang berdampak pada berbagai sektor kehidupan diantaranya aktivitas sosial sehingga mengharuskan kegiatan dilakukan secara daring, kelompok eks HTI terindikasi mengoptimalkan dakwahnya melalui media streaming seperti aplikasi Zoom atau live streaming Instagram dan facebook.
Salah satu sayap organisasi HTI yang terlihat cukup gencar melakukan kegiatan diskusi online yaitu Gerakan Mahasiswa (Gema) Pembebasan. Beberapa waktu terakhir Gema Pembebasan cukup intens mengangkat isu tentang penahanan Alimudin Baharsyah oleh pihak Kepolisian dengan dugaan penghinaan terhadap Presiden melalui media sosial.
Belakangan diketahui Ali (sapaan akrab Alimudin Baharsyah) merupakan salah satu aktivis HTI yang cukup aktif di media sosial dan dikenal cukup kritis terhadap pemerintah. Melalui rekaman video yang viral di media sosial Alimudin Baharsyah melontarkan kata-kata tidak pantas terhadap presiden dalam kaitan penanganan wabah Virus Corona.
Dikutip dari detik.com, Ali mengatakan "Woi, tanya dong Itu presiden siapa sih? G***k banget dah. Ini ada virus, darurat kesehatan, kok yang diterapin malah kebijakan darurat sipil? emang ada perang? Ada kerusuhan, ada pemberontakan? Heran deh, orang kok bisa jadi presiden. Emang nggak ada yang lebih pinter lagi apa? Kita kan punya undang-undang nomor 6 tahun 2018 tentang kekarantina kesehatan kenapa itu nggak dipake, wong dia sendiri yang tanda tangan . Itu buat ngarantina orang apa ngarantina monyet, ngarantina cebong? G*** banget dah.
"Penangkapan Alimudin Baharsyah inilah yang disoroti oleh anggota Gema Pembebasan melalui diskusi online dengan menyatakan bahwa Penangkapan Ali merupakan bentuk kriminalisasi terhadap aktivis Islam dan kebebasan berpendapat. Mereka secara terang memberikan dukungan kepada Ali dan mendesak pihak kepolisian membebaskannya. Dukungan Gema Pembebasan ini tidak mengherankan mengingat Alimudin Baharsyah juga pernah aktif di organisasi tersebut.
Gema Pembebasan adalah organisasi mahasiswa ekstra kampus yang bergerak di kalangan mahasiswa untuk memperjuangkan paham Khilafah dan nilai-nilai keislaman menurut paham yang dianutnya. Sebagaimana diketahui, alasan pembubaran HTI karena ideologi yang diusungnya dianggap tidak sejalan dengan Pancasila dan nilai-nilai keberagaman yang dianut oleh mayoritas bangsa Indonesia.
Meski organisasinya dibubarkan bukan berarti perjuangan dakwah para mantan pengurus, aktivis dan anggota HTI terhenti. “Kampanye” atau menurut mereka aktivitas dakwah untuk menggaungkan dan membumikan Khilafah merupakan tugas suci dan misi keagamaan yang diemban. Dikucilkan dan ditangkap atau bahkan mempertaruhkan nyawa sekalipun diyakini mereka sebagai resiko dakwah yang harus disiapkan secara lahir dan bathin. Itu mengapa, para aktivis eks HTI memiliki militansi yang tinggi dalam gerakannya. Maka tidak heran jika narasi-narasi Khilafah bercokol dan menghiasi berbagai media khususnya media sosial seperti Twitter dan Facebook, bahkan beberapa kali topik yang menjadi trending di Twitter diindikasikan milik kelompok eks HTI, misalnya tagar #KhilafahAjaranIslam, #SaveAliBaharsyah, #BebaskanAliBaharsyah, #KhilafahBukanAncaman, dll.
Namun sayangnya, upaya kelompok eks HTI dan Gema Pembebasan dalam memperjuangkan agenda kelompoknya acap kali dibarengi dengan narasi-narasi yang provokatif dan terkesan menyerang pemerintah tanpa memperhatikan dampak opini yang terbentuk di masyarakat. Bahkan, seringkali mereka menyeang pribadi kepala negara, seperti yang dilakukan oleh Ali Baharsyah yang mengantarkannya ke balik jeruji besi. Tidak jarang pula mereka memunculkan berita hoax dan fitnah terhadap pemerintah, misalnya yang dilakukan Ahmad Khozinudin, Ketua LBH Pelita Umat, sebagaimana dikutip dari cuitan twitter Husin Alwi (@HusinShihab) yang menyatakan bahwa Jokowi sendiri bebas menebar hoax mengenai obat Virus Corona, dan Jokowi menebar hoax tentang penundaan kredit selama setahun.
Ini mungkin bisa jadi merupakan bentuk strategi dalam upaya melawan pemerintah yang telah membubarkan organisasi HTI. Namun demikian, hal itu, mengancam kredibilitas pemerintah yang mana penting untuk membangun kepercayaan publik sehingga program-program pembangunan nasional demi kesejahteraan seluruh rakyat dapat berjalan dengan baik. Jika dibiarkan maka dapat menciptakan misinformasi di ruang publik bahkan dapat memicu perlawanan rakyat kepada negara, yang pada gilirannya akan berdampak pada situasi politik dan keamanan nasional.
Selain itu, berita hoax dan fitnah justru akan merusak iklim demokrasi dan menciptakan budaya buruk di dalam masyarakat. Oleh karenanya, menangani kelompok HTI dan Gema Pembebasan tidak cukup dengan membubarkan organisasinya sebab ideologi tidak akan hilang, namun perlu dibarengi dengan kontra narasi dan kontra opini negatif yang sengaja terus disebarkan oleh mereka untuk menyerang pemerintahan yang sah. Tentunya kontra narasi yang dilakukan harus berdasar pada data dan fakta yang ada, bukan ikut-ikutan menebar hoax seperti yang dilakukan kelompok tersebut.
(70/*).
*) Penulis adalah, Pemerhati Isu-Isu Nasional Bidang Politik dan Keamanan, Berdomisili di Surabaya, Jawa Timur.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2020
Meskipun tidak menggunakan nama HTI, paham Khilafah yang diusungnya masih sering trending di media sosial seperti twitter dan facebook. Bahkan, sejak pandemi Covid-19 melanda berbagai negara termasuk Indonesia yang berdampak pada berbagai sektor kehidupan diantaranya aktivitas sosial sehingga mengharuskan kegiatan dilakukan secara daring, kelompok eks HTI terindikasi mengoptimalkan dakwahnya melalui media streaming seperti aplikasi Zoom atau live streaming Instagram dan facebook.
Salah satu sayap organisasi HTI yang terlihat cukup gencar melakukan kegiatan diskusi online yaitu Gerakan Mahasiswa (Gema) Pembebasan. Beberapa waktu terakhir Gema Pembebasan cukup intens mengangkat isu tentang penahanan Alimudin Baharsyah oleh pihak Kepolisian dengan dugaan penghinaan terhadap Presiden melalui media sosial.
Belakangan diketahui Ali (sapaan akrab Alimudin Baharsyah) merupakan salah satu aktivis HTI yang cukup aktif di media sosial dan dikenal cukup kritis terhadap pemerintah. Melalui rekaman video yang viral di media sosial Alimudin Baharsyah melontarkan kata-kata tidak pantas terhadap presiden dalam kaitan penanganan wabah Virus Corona.
Dikutip dari detik.com, Ali mengatakan "Woi, tanya dong Itu presiden siapa sih? G***k banget dah. Ini ada virus, darurat kesehatan, kok yang diterapin malah kebijakan darurat sipil? emang ada perang? Ada kerusuhan, ada pemberontakan? Heran deh, orang kok bisa jadi presiden. Emang nggak ada yang lebih pinter lagi apa? Kita kan punya undang-undang nomor 6 tahun 2018 tentang kekarantina kesehatan kenapa itu nggak dipake, wong dia sendiri yang tanda tangan . Itu buat ngarantina orang apa ngarantina monyet, ngarantina cebong? G*** banget dah.
"Penangkapan Alimudin Baharsyah inilah yang disoroti oleh anggota Gema Pembebasan melalui diskusi online dengan menyatakan bahwa Penangkapan Ali merupakan bentuk kriminalisasi terhadap aktivis Islam dan kebebasan berpendapat. Mereka secara terang memberikan dukungan kepada Ali dan mendesak pihak kepolisian membebaskannya. Dukungan Gema Pembebasan ini tidak mengherankan mengingat Alimudin Baharsyah juga pernah aktif di organisasi tersebut.
Gema Pembebasan adalah organisasi mahasiswa ekstra kampus yang bergerak di kalangan mahasiswa untuk memperjuangkan paham Khilafah dan nilai-nilai keislaman menurut paham yang dianutnya. Sebagaimana diketahui, alasan pembubaran HTI karena ideologi yang diusungnya dianggap tidak sejalan dengan Pancasila dan nilai-nilai keberagaman yang dianut oleh mayoritas bangsa Indonesia.
Meski organisasinya dibubarkan bukan berarti perjuangan dakwah para mantan pengurus, aktivis dan anggota HTI terhenti. “Kampanye” atau menurut mereka aktivitas dakwah untuk menggaungkan dan membumikan Khilafah merupakan tugas suci dan misi keagamaan yang diemban. Dikucilkan dan ditangkap atau bahkan mempertaruhkan nyawa sekalipun diyakini mereka sebagai resiko dakwah yang harus disiapkan secara lahir dan bathin. Itu mengapa, para aktivis eks HTI memiliki militansi yang tinggi dalam gerakannya. Maka tidak heran jika narasi-narasi Khilafah bercokol dan menghiasi berbagai media khususnya media sosial seperti Twitter dan Facebook, bahkan beberapa kali topik yang menjadi trending di Twitter diindikasikan milik kelompok eks HTI, misalnya tagar #KhilafahAjaranIslam, #SaveAliBaharsyah, #BebaskanAliBaharsyah, #KhilafahBukanAncaman, dll.
Namun sayangnya, upaya kelompok eks HTI dan Gema Pembebasan dalam memperjuangkan agenda kelompoknya acap kali dibarengi dengan narasi-narasi yang provokatif dan terkesan menyerang pemerintah tanpa memperhatikan dampak opini yang terbentuk di masyarakat. Bahkan, seringkali mereka menyeang pribadi kepala negara, seperti yang dilakukan oleh Ali Baharsyah yang mengantarkannya ke balik jeruji besi. Tidak jarang pula mereka memunculkan berita hoax dan fitnah terhadap pemerintah, misalnya yang dilakukan Ahmad Khozinudin, Ketua LBH Pelita Umat, sebagaimana dikutip dari cuitan twitter Husin Alwi (@HusinShihab) yang menyatakan bahwa Jokowi sendiri bebas menebar hoax mengenai obat Virus Corona, dan Jokowi menebar hoax tentang penundaan kredit selama setahun.
Ini mungkin bisa jadi merupakan bentuk strategi dalam upaya melawan pemerintah yang telah membubarkan organisasi HTI. Namun demikian, hal itu, mengancam kredibilitas pemerintah yang mana penting untuk membangun kepercayaan publik sehingga program-program pembangunan nasional demi kesejahteraan seluruh rakyat dapat berjalan dengan baik. Jika dibiarkan maka dapat menciptakan misinformasi di ruang publik bahkan dapat memicu perlawanan rakyat kepada negara, yang pada gilirannya akan berdampak pada situasi politik dan keamanan nasional.
Selain itu, berita hoax dan fitnah justru akan merusak iklim demokrasi dan menciptakan budaya buruk di dalam masyarakat. Oleh karenanya, menangani kelompok HTI dan Gema Pembebasan tidak cukup dengan membubarkan organisasinya sebab ideologi tidak akan hilang, namun perlu dibarengi dengan kontra narasi dan kontra opini negatif yang sengaja terus disebarkan oleh mereka untuk menyerang pemerintahan yang sah. Tentunya kontra narasi yang dilakukan harus berdasar pada data dan fakta yang ada, bukan ikut-ikutan menebar hoax seperti yang dilakukan kelompok tersebut.
(70/*).
*) Penulis adalah, Pemerhati Isu-Isu Nasional Bidang Politik dan Keamanan, Berdomisili di Surabaya, Jawa Timur.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2020