Pengamat ekonomi dari Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Piter Abdullah Redjalam mendorong pemerintah menerbitkan surat utang negara (SUN) dalam nominal rupiah karena skema pembelian oleh Bank Indonesia memungkinkan pemerintah menetapkan suku bunga lebih rendah dengan tenor yang wajar.
"Dengan begitu, pemerintah tidak akan dibebani oleh pembayaran bunga SUN yang tinggi dalam kurun waktu yang panjang," katanya dalam siaran pers di Jakarta, Kamis.
Direktur Riset Core Indonesia itu menyakini ekspansi moneter melalui pembelian SUN rupiah oleh bank sentral ini tidak akan mendorong peningkatan inflasi berlebihan.
Penyebabnya, lanjut dia, tekanan inflasi di tengah wabah COVID-19 cenderung menurun akibat rendahnya permintaan.
Ia berpendapat seharusnya pemerintah mendahulukan penerbitan SUN dalam nominal rupiah dengan skema pembelian oleh BI, daripada surat utang dalam nominal dolar AS atau SUN global.
Alasannya, lanjut dia, sentimen pasar keuangan global saat ini masih sensitif akibat ketidakpastian karena pandemi COVID-19, sehingga minat pembeli rendah.
Sebelumnya, pemerintah mengumumkan penerbitan tiga surat utang global dengan nominal dolar AS mencapai total 4,3 miliar dolar AS dengan tenor masing-masing 10, 30 dan paling lama 50 tahun.
"Penerbitan SUN global di tengah kondisi ini akan memaksa pemerintah meningkatkan insentif berupa bunga kupon lebih tinggi dan atau tenor yang panjang, terbukti dengan diterbitkannya SUN global bertenor 50 tahun," katanya.
Selain itu, meski rupiah dalam tekanan pelemahan akibat ketidakpastian pasar keuangan global, Core Indonesia berpendapat bahwa pemerintah tidak perlu buru-buru menambah pasokan dolar dengan menerbitkan SUN global.
"Posisi cadangan devisa saat ini relatif cukup besar untuk membiayai intervensi Bank Indonesia dalam stabilisasi nilai tukar," imbuhnya.
Selain cadangan devisa, Bank Indonesia juga memiliki cara pertahanan kedua yakni fasilitas pinjaman Dana Moneter Internasional (IMF), perjanjian kerja sama swap dengan beberapa bank sentral negara lain dan fasilitas repo line dari bank sentral Amerika Serikat, the Fed.
Piter melanjutkan meski penerbitan SUN global dibutuhkan karena kekurangan dolar akibat menurunnya ekspor, penerbitan instrumen investasi internasional itu dapat dilakukan ketika wabah COVID-19 sudah mereda dan sentimen pasar mulai pulih.
"Di tengah kebijakan moneter global cenderung menurunkan suku bunga maka penerbitan SUN global berpotensi mendapatkan permintaan yang tinggi pada bunga kupon yang lebih baik dengan tenor yang wajar," imbuhnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2020
"Dengan begitu, pemerintah tidak akan dibebani oleh pembayaran bunga SUN yang tinggi dalam kurun waktu yang panjang," katanya dalam siaran pers di Jakarta, Kamis.
Direktur Riset Core Indonesia itu menyakini ekspansi moneter melalui pembelian SUN rupiah oleh bank sentral ini tidak akan mendorong peningkatan inflasi berlebihan.
Penyebabnya, lanjut dia, tekanan inflasi di tengah wabah COVID-19 cenderung menurun akibat rendahnya permintaan.
Ia berpendapat seharusnya pemerintah mendahulukan penerbitan SUN dalam nominal rupiah dengan skema pembelian oleh BI, daripada surat utang dalam nominal dolar AS atau SUN global.
Alasannya, lanjut dia, sentimen pasar keuangan global saat ini masih sensitif akibat ketidakpastian karena pandemi COVID-19, sehingga minat pembeli rendah.
Sebelumnya, pemerintah mengumumkan penerbitan tiga surat utang global dengan nominal dolar AS mencapai total 4,3 miliar dolar AS dengan tenor masing-masing 10, 30 dan paling lama 50 tahun.
"Penerbitan SUN global di tengah kondisi ini akan memaksa pemerintah meningkatkan insentif berupa bunga kupon lebih tinggi dan atau tenor yang panjang, terbukti dengan diterbitkannya SUN global bertenor 50 tahun," katanya.
Selain itu, meski rupiah dalam tekanan pelemahan akibat ketidakpastian pasar keuangan global, Core Indonesia berpendapat bahwa pemerintah tidak perlu buru-buru menambah pasokan dolar dengan menerbitkan SUN global.
"Posisi cadangan devisa saat ini relatif cukup besar untuk membiayai intervensi Bank Indonesia dalam stabilisasi nilai tukar," imbuhnya.
Selain cadangan devisa, Bank Indonesia juga memiliki cara pertahanan kedua yakni fasilitas pinjaman Dana Moneter Internasional (IMF), perjanjian kerja sama swap dengan beberapa bank sentral negara lain dan fasilitas repo line dari bank sentral Amerika Serikat, the Fed.
Piter melanjutkan meski penerbitan SUN global dibutuhkan karena kekurangan dolar akibat menurunnya ekspor, penerbitan instrumen investasi internasional itu dapat dilakukan ketika wabah COVID-19 sudah mereda dan sentimen pasar mulai pulih.
"Di tengah kebijakan moneter global cenderung menurunkan suku bunga maka penerbitan SUN global berpotensi mendapatkan permintaan yang tinggi pada bunga kupon yang lebih baik dengan tenor yang wajar," imbuhnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2020