Pemberitaan terkait “intervensi” simpatisan OPM yang memanfaatkan kunjungan Presiden Joko Widodo ke Australia, khususnya terkait aktifis pendukung OPM yang dinyatakan DPO oleh Polri yaitu Veronica Koman yang tinggal di Australia bahwa “timnya” telah memberikan surat yang berisi “data-data terkait Papua” kepada Presiden Jokowi jelas merupakan kecolongan bagi K/L yang seharusnya mengawal keamanan Presiden dari “adegan-adegan” seperti ini. Fakta ini akhirnya menjadi polemik dan wacana politik yang tentunya akan menguntungkan OPM jika terus berkembang dan kurang berhasil dihentikan oleh K/L yang berwenang.
Mahfud Md. mengatakan pemerintah tidak pernah secara resmi menerima data soal jumlah tahanan politik dan korban tewas di Papua dari tim Veronica Koman. Mahfud, yang ikut rombongan Presiden Joko Widodo di Canberra, Australia, menuturkan pada saat itu memang banyak orang yang ingin bersalaman dengan Presiden Jokowi.
Ada beberapa orang yang menyerahkan surat atau amplop kepada Jokowi. Menurut Mahfud MD, kalaupun data Veronica Koman diterima Presiden Jokowi bisa saja belum dibuka. "Belum dibuka kali suratnya. Surat banyak. Rakyat biasa juga kirim surat ke Presiden, jadi itu anulah, kalau memang ada ya, sampah sajalah," ujarnya di Istana Bogor pada Selasa lalu, 11 Februari 2020. Pernyataan Mahfud MD ini kemudian direspons banyak kalangan minimal dari kalangan politisi sebut saja sejumlah anggota Komisi Hukum DPR mengkritik Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD yang menyebut data kasus Papua dari Veronica Koman sebagai sampah. Mereka menilai data-data itu seharusnya ditelusuri terlebih dahulu oleh pemerintah.
"Dilakukan verifikasi sebelum menyatakan data tersebut valid atau tidak," kata politikus Partai NasDem Taufik Basari melalui pesan singkat hari ini, Rabu, 12 Februari 2020. Rekannya sekomisi dari Partai Demokrat, Hinca Pandjaitan, mengatakan Mahfud MD semestinya tidak menggunakan diksi 'sampah' untuk menyebut data dari tim Veronica Koman. "Saya kira diksi yang dipakai Prof Mahfud tak baik," kata Hinca di Twitter. Dia mempersilakan cuitannya itu dikutip Tempo.
Menurut Hinca, pemerintah bisa mengklarifikasi data dari Veronica Koman jika memang dianggap keliru. "Terlebih dokumen tersebut berisikan nama-nama korban sipil yang meninggal. Pantaskah disebut sampah?. " Menurut Veronica Koman, data yang diserahkan kepada Jokowi antara lain memuat nama-nama dan lokasi 57 tahanan politik Papua yang dikenai pasal makar dan ditahan di tujuh kota di Indonesia. Ada pula nama 243 korban warga sipil yang meninggal selama operasi militer di Nduga sejak Desember 2018 (https://nasional.tempo.co/read/1306679/nasdem-dan-demokrat-kritik-mahfud-md-soal-data-veronica-koman#.XkSFUiOYI48.whatsapp).
Kemungkinan maksud Mahfud MD
Pernyataan Menko Polhukam Mahfud MD terkait “data” yang konon disampaikan ke Presiden Joko Widodo oleh “timnya” Veronica Koman memang diakui atau tidak diakui menggunakan diksi yang cenderung sarkasme yaitu “sampah” oleh karena itu wajar jika direspons cukup sengit oleh politisi Partai Nasdem dan Partai Demokrat di parlemen. Riuh rendahnya permasalahan ini jelas akan menguntungkan Veronica Koman dan OPM yang manuver dan kredibilitasnya semakin diakui dunia internasional, namun disisi yang lain mempersulit upaya pemerintah untuk menyelesaikan masalah Papua secara damai dan mensejahterakan mereka, termasuk merealisasikan adagium yang dibuat pemerintah sendiri bahwa “Papua adalah Indonesia, Indonesia adalah Papua”.
Jika “harus membela” Mahfud MD, penulis menilai pernyataan Menko Polhukam tersebut yaitu pertama, sebagai counter propaganda terhadap propaganda yang dilakukan Veronica Koman bersama-sama jejaring simpatisan OPM di luar negeri khususnya di Australia yang harus diakui sebagai “safe heaven” bagi aktifis OPM dan pendukungnya untuk “bersembunyi” apalagi selama ini Australia masih “ambigu” dalam menilai permasalahan Papua.
Kedua, Mahfud MD sebagai perwakilan pemerintah jelas tidak serta merta menerima kebenaran “data Koman” tersebut, karena berdasarkan pengalaman sebelumnya memang kadang-kadang banyak kelompok penekan, NGO, non-state actor seperti Veronica Koman datanya seringkali bersifat hiperbolis, sehingga yang dimaksud “sampah” oleh Mahfud MD tersebut adalah data-data hiperbolis tersebut.
Ketiga, terkait 57 tahanan politik Papua yang terkena pasal makar jelas tidak dapat dilepaskan sebelum masa tahanan mereka berakhir dan sikap politik mereka berubah, apalagi status hukum 57 tahanan politik Papua tersebut sudah diproses secara hukum Indonesia, dan tidak akan berani Australia untuk mengintervensi Indonesia walaupun mungkin sudah didesak Koman Cs untuk bertindak.
Keempat, terkait 243 korban warga sipil selama operasi militer di Nduga, Papua juga wajar apabila pemerintah Indonesia “keberatan” dengan diksi operasi militer, sebab operasi militer tidak akan diberlakukan pemerintah Indonesia jika keselamatan warga sipil Papua tidak terancam dengan keberadaan atau eksistensi TPN/OPM di Nduga dan beberapa kabupaten lainnya di Papua. Korban tersebut bisa saja dilakukan oleh TPN/OPM, namun ditimpakan kesalahannya terhadap TNI/Polri oleh Koman Cs.
Last but not least, memperhatikan, mengingat dan menimbang manuver Veronica Koman dan simpatisan OPM di luar negeri yang kerapkali menampar muka Indonesia dan mempermalukan bangsa ini, maka pertanyaannya adalah apakah mereka masih pantas disebut WNI? Jika sepakat dinyatakan tidak pantas, maka status WNI Veronica Koman dan simpatisan OPM harus segera dicabut, serta pemerintah melalui Polri bersama Interpol segera menangkap mereka. Semoga. (32/*).
*) Penulis adalah, Pemerhati masalah Papua. Tinggal di Tabanan, Bali.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2020
Mahfud Md. mengatakan pemerintah tidak pernah secara resmi menerima data soal jumlah tahanan politik dan korban tewas di Papua dari tim Veronica Koman. Mahfud, yang ikut rombongan Presiden Joko Widodo di Canberra, Australia, menuturkan pada saat itu memang banyak orang yang ingin bersalaman dengan Presiden Jokowi.
Ada beberapa orang yang menyerahkan surat atau amplop kepada Jokowi. Menurut Mahfud MD, kalaupun data Veronica Koman diterima Presiden Jokowi bisa saja belum dibuka. "Belum dibuka kali suratnya. Surat banyak. Rakyat biasa juga kirim surat ke Presiden, jadi itu anulah, kalau memang ada ya, sampah sajalah," ujarnya di Istana Bogor pada Selasa lalu, 11 Februari 2020. Pernyataan Mahfud MD ini kemudian direspons banyak kalangan minimal dari kalangan politisi sebut saja sejumlah anggota Komisi Hukum DPR mengkritik Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD yang menyebut data kasus Papua dari Veronica Koman sebagai sampah. Mereka menilai data-data itu seharusnya ditelusuri terlebih dahulu oleh pemerintah.
"Dilakukan verifikasi sebelum menyatakan data tersebut valid atau tidak," kata politikus Partai NasDem Taufik Basari melalui pesan singkat hari ini, Rabu, 12 Februari 2020. Rekannya sekomisi dari Partai Demokrat, Hinca Pandjaitan, mengatakan Mahfud MD semestinya tidak menggunakan diksi 'sampah' untuk menyebut data dari tim Veronica Koman. "Saya kira diksi yang dipakai Prof Mahfud tak baik," kata Hinca di Twitter. Dia mempersilakan cuitannya itu dikutip Tempo.
Menurut Hinca, pemerintah bisa mengklarifikasi data dari Veronica Koman jika memang dianggap keliru. "Terlebih dokumen tersebut berisikan nama-nama korban sipil yang meninggal. Pantaskah disebut sampah?. " Menurut Veronica Koman, data yang diserahkan kepada Jokowi antara lain memuat nama-nama dan lokasi 57 tahanan politik Papua yang dikenai pasal makar dan ditahan di tujuh kota di Indonesia. Ada pula nama 243 korban warga sipil yang meninggal selama operasi militer di Nduga sejak Desember 2018 (https://nasional.tempo.co/read/1306679/nasdem-dan-demokrat-kritik-mahfud-md-soal-data-veronica-koman#.XkSFUiOYI48.whatsapp).
Kemungkinan maksud Mahfud MD
Pernyataan Menko Polhukam Mahfud MD terkait “data” yang konon disampaikan ke Presiden Joko Widodo oleh “timnya” Veronica Koman memang diakui atau tidak diakui menggunakan diksi yang cenderung sarkasme yaitu “sampah” oleh karena itu wajar jika direspons cukup sengit oleh politisi Partai Nasdem dan Partai Demokrat di parlemen. Riuh rendahnya permasalahan ini jelas akan menguntungkan Veronica Koman dan OPM yang manuver dan kredibilitasnya semakin diakui dunia internasional, namun disisi yang lain mempersulit upaya pemerintah untuk menyelesaikan masalah Papua secara damai dan mensejahterakan mereka, termasuk merealisasikan adagium yang dibuat pemerintah sendiri bahwa “Papua adalah Indonesia, Indonesia adalah Papua”.
Jika “harus membela” Mahfud MD, penulis menilai pernyataan Menko Polhukam tersebut yaitu pertama, sebagai counter propaganda terhadap propaganda yang dilakukan Veronica Koman bersama-sama jejaring simpatisan OPM di luar negeri khususnya di Australia yang harus diakui sebagai “safe heaven” bagi aktifis OPM dan pendukungnya untuk “bersembunyi” apalagi selama ini Australia masih “ambigu” dalam menilai permasalahan Papua.
Kedua, Mahfud MD sebagai perwakilan pemerintah jelas tidak serta merta menerima kebenaran “data Koman” tersebut, karena berdasarkan pengalaman sebelumnya memang kadang-kadang banyak kelompok penekan, NGO, non-state actor seperti Veronica Koman datanya seringkali bersifat hiperbolis, sehingga yang dimaksud “sampah” oleh Mahfud MD tersebut adalah data-data hiperbolis tersebut.
Ketiga, terkait 57 tahanan politik Papua yang terkena pasal makar jelas tidak dapat dilepaskan sebelum masa tahanan mereka berakhir dan sikap politik mereka berubah, apalagi status hukum 57 tahanan politik Papua tersebut sudah diproses secara hukum Indonesia, dan tidak akan berani Australia untuk mengintervensi Indonesia walaupun mungkin sudah didesak Koman Cs untuk bertindak.
Keempat, terkait 243 korban warga sipil selama operasi militer di Nduga, Papua juga wajar apabila pemerintah Indonesia “keberatan” dengan diksi operasi militer, sebab operasi militer tidak akan diberlakukan pemerintah Indonesia jika keselamatan warga sipil Papua tidak terancam dengan keberadaan atau eksistensi TPN/OPM di Nduga dan beberapa kabupaten lainnya di Papua. Korban tersebut bisa saja dilakukan oleh TPN/OPM, namun ditimpakan kesalahannya terhadap TNI/Polri oleh Koman Cs.
Last but not least, memperhatikan, mengingat dan menimbang manuver Veronica Koman dan simpatisan OPM di luar negeri yang kerapkali menampar muka Indonesia dan mempermalukan bangsa ini, maka pertanyaannya adalah apakah mereka masih pantas disebut WNI? Jika sepakat dinyatakan tidak pantas, maka status WNI Veronica Koman dan simpatisan OPM harus segera dicabut, serta pemerintah melalui Polri bersama Interpol segera menangkap mereka. Semoga. (32/*).
*) Penulis adalah, Pemerhati masalah Papua. Tinggal di Tabanan, Bali.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2020