Indonesia negara pemilik bonus demografi berbasis majemuk sehingga memiliki keunggulan komparatif, namun sangat berpotensi rawan ancaman investasi ideologi berseberangan dengan Ideologi Pancasila. Kehadiran ideologi Kekhalifahan tema sentralistik diusung oleh ISIS di kawasan Timur Tengah berdampak perubahan geopolitik ideologi di kawasan Asia Tengara. Indonesia terdampak bahkan sudah masuk wilayah terpapar market dari program Kekhalifahan yang diinovasi sedemikian rupa disesuaikan dengan basis masyarakat pluralisme.
Perubahan lingkungan strategis yang begitu cepat dari aspek geopolitik ideologis telah menimbulkan tantangan baru bagi keamanan dan pertahanan nasional. Mengapa ?. Tekanan kekuatan militer internasional terhadap basis pabrik ideologi ISIS di Timur Tengah khususnya Suriah dan Irak yang semakin dipersempit pergerakan militer dan politiknya dapatkah mematikan mesin pikiran dan kekuatan paham Kekhalifahan secara global atau khususnya di Indonesia.
Persoalan ketidakadilan, kesenjangan ekonomi, derasnya arus globalisasi ditindai era Teknologi Industri (4.0) menyebabkan negara-negara sulit terbebas dari ancaman ideologi yang menawarkan solusi terbaik atasi sejumlah persoalan tersebut. Surutnya ancaman dari Kelompok Al-Qaeda serta kelompok ISIS di Suriah dan Irak, ancaman bersifat terorisme global bukan berarti telah berakhir, karena ancaman yang paling nyata saat ini bergeser ke kawasan negara dengan pertumbuhan populasi simpatisan dan pendukung keras ideologi ISIS yang satu rumah besar berkiblat khilafah adalah HTI.
Pelemahan gerakan ISIS di Suriah dan Irak berpotensi sangat besar memicu gagasan inovatif Kekhalifahan di kawasan Asia khususnya di Indonesia sebagai opsi dan basis baru perlawanan dan perjuangan khilafah global.
Menarik ditelaah fenomena polarisasi politik di Indonesia, munculnya kekuatan politik berbasis agama bersimbiosis dengan tokoh-tokoh ormas seperti FPI beserta ormas turunannya tergabung dalam kelompok 212 yang rutin melaksanakan kemenanganya setiap tahun dan tokoh-tokoh elite politik yang memiliki flatfom idelogi khilafah. Tema isu diangkat intoleransi yang dikedepankan dalam event momentum merebut kekuasaan politik.
Parameter lainnya untuk mengukur polarisasi politik yang diusung gerakan HTI tersebut adalah kebebasan beragama di Indonesia semakin terancam. Kiranya data yang dirilis oleh Setara Institue dapat menjadi perenungan, bahwa Jawa Barat dan DKI Jakarta pemilik kasus pelanggaran Hak Beragama terbanyak dialami anggota dan rumah ibadah kelompok minoritas. Bahkan kasus terkini dalam intoleransi pelarangan Natal 2019 oleh pemerintahan desa di Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat serta di kecamatan Bantul, DIY masyarakat secara paksa membubarkan upacara penghormatan Ki Ageng Mangir leluhur warga setempat.
Polarisasi politik itu munculnya ditengah-tengah gelombang reformasi yang melahirkan dinamika baru dalam gerakan kebebasan keberagaman diharmonisasikan dengan perubahan struktur geopolitik ideologi global. Betapa sulitnya Negara melawan HTI dan ormas-ormas intoleran di Indonesia untuk dibekukan secara administratif formal legalnya secara hukum karena sudah mendapat resonansi gelombang kekuatan politik dan basis massanya semakin menguat. Sayangnya pemerintah dalam menyikapi hal ini bersikap ambigiu, disatu sisi gencar menggaungkan slogan NKRI harga mati tetapi disisi lain memberikan ruang pejuang ideologi khilafah Eks HTI dan kembaran ormas intoleran seperti FPI dan turunannya untuk terus unjuk eksistensinya gerliya mengusung tema khilafah di tengah-tengah masyarakat.
Cukuplah referensi berbasis data fenomena yang terjadi di India, Pakistan, Philipina kekuatan kelompok radikal gerakan dan pemikirannya berjubah agama terus bergerilya melakukan tekanan kepada pemerintah. Kondisi seperti itu, saat ini dialami Indonesia. Jangan anggap sepele dan tidak terlalu sulit menemukan siapa berbuat apa di negeri ini. Data dari The Paw Reseach Center tahun 2015 menyatakan 10 juta warga negara ini sudah dirusak oleh kaum intoleran yang memiliki hobi menebar kebencian dan kekerasan. Apakah data tersebut terus bertambah. (48/*).
*) Penulis: Peneliti Studi Kajian Ideologi dan Terorisme Kawasan.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2020
Perubahan lingkungan strategis yang begitu cepat dari aspek geopolitik ideologis telah menimbulkan tantangan baru bagi keamanan dan pertahanan nasional. Mengapa ?. Tekanan kekuatan militer internasional terhadap basis pabrik ideologi ISIS di Timur Tengah khususnya Suriah dan Irak yang semakin dipersempit pergerakan militer dan politiknya dapatkah mematikan mesin pikiran dan kekuatan paham Kekhalifahan secara global atau khususnya di Indonesia.
Persoalan ketidakadilan, kesenjangan ekonomi, derasnya arus globalisasi ditindai era Teknologi Industri (4.0) menyebabkan negara-negara sulit terbebas dari ancaman ideologi yang menawarkan solusi terbaik atasi sejumlah persoalan tersebut. Surutnya ancaman dari Kelompok Al-Qaeda serta kelompok ISIS di Suriah dan Irak, ancaman bersifat terorisme global bukan berarti telah berakhir, karena ancaman yang paling nyata saat ini bergeser ke kawasan negara dengan pertumbuhan populasi simpatisan dan pendukung keras ideologi ISIS yang satu rumah besar berkiblat khilafah adalah HTI.
Pelemahan gerakan ISIS di Suriah dan Irak berpotensi sangat besar memicu gagasan inovatif Kekhalifahan di kawasan Asia khususnya di Indonesia sebagai opsi dan basis baru perlawanan dan perjuangan khilafah global.
Menarik ditelaah fenomena polarisasi politik di Indonesia, munculnya kekuatan politik berbasis agama bersimbiosis dengan tokoh-tokoh ormas seperti FPI beserta ormas turunannya tergabung dalam kelompok 212 yang rutin melaksanakan kemenanganya setiap tahun dan tokoh-tokoh elite politik yang memiliki flatfom idelogi khilafah. Tema isu diangkat intoleransi yang dikedepankan dalam event momentum merebut kekuasaan politik.
Parameter lainnya untuk mengukur polarisasi politik yang diusung gerakan HTI tersebut adalah kebebasan beragama di Indonesia semakin terancam. Kiranya data yang dirilis oleh Setara Institue dapat menjadi perenungan, bahwa Jawa Barat dan DKI Jakarta pemilik kasus pelanggaran Hak Beragama terbanyak dialami anggota dan rumah ibadah kelompok minoritas. Bahkan kasus terkini dalam intoleransi pelarangan Natal 2019 oleh pemerintahan desa di Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat serta di kecamatan Bantul, DIY masyarakat secara paksa membubarkan upacara penghormatan Ki Ageng Mangir leluhur warga setempat.
Polarisasi politik itu munculnya ditengah-tengah gelombang reformasi yang melahirkan dinamika baru dalam gerakan kebebasan keberagaman diharmonisasikan dengan perubahan struktur geopolitik ideologi global. Betapa sulitnya Negara melawan HTI dan ormas-ormas intoleran di Indonesia untuk dibekukan secara administratif formal legalnya secara hukum karena sudah mendapat resonansi gelombang kekuatan politik dan basis massanya semakin menguat. Sayangnya pemerintah dalam menyikapi hal ini bersikap ambigiu, disatu sisi gencar menggaungkan slogan NKRI harga mati tetapi disisi lain memberikan ruang pejuang ideologi khilafah Eks HTI dan kembaran ormas intoleran seperti FPI dan turunannya untuk terus unjuk eksistensinya gerliya mengusung tema khilafah di tengah-tengah masyarakat.
Cukuplah referensi berbasis data fenomena yang terjadi di India, Pakistan, Philipina kekuatan kelompok radikal gerakan dan pemikirannya berjubah agama terus bergerilya melakukan tekanan kepada pemerintah. Kondisi seperti itu, saat ini dialami Indonesia. Jangan anggap sepele dan tidak terlalu sulit menemukan siapa berbuat apa di negeri ini. Data dari The Paw Reseach Center tahun 2015 menyatakan 10 juta warga negara ini sudah dirusak oleh kaum intoleran yang memiliki hobi menebar kebencian dan kekerasan. Apakah data tersebut terus bertambah. (48/*).
*) Penulis: Peneliti Studi Kajian Ideologi dan Terorisme Kawasan.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2020