Kebhinekaan dan pluralisme di Indonesia kembali terusik. Ajaran intoleran dan radikalisme terjadi di dunia pendidikan. Anak-anak yang seharusnya belajar tentang keragaman justru didoktrin menolak perbedaan.
Jumat 10/1/2020 sekitar pukul 10:00-11:00 seorang pembina Pramuka dari Gunung Kidul yang menjadi peserta Kursus Mahir Lanjut Gerakan Pramuka, dalam prakteknya mengajarkan kepada anak-anak yel-yel dan tepukan rasis yang menyebut kata kafir. Aksi itu terjadi di SD Negeri Timuran Kota Yogyakarta yang menjadi tempat praktik KML Gerakan Pramuka tersebut.
Seorang wali murid yang mengetahui hal tersebut kemudian protes dan memviralkan ke media sosial. Atas hal tersebut SD Negeri Timuran Kota Yogyakarta yang menjadi tuan rumah angkat bicara. Tidak hanya itu, Ketua Kwartir Cabang (Kwarcab) Pramuka Kota Yogyakarta Heroe Poerwadi ikut menyesalkan. Materi tersebut tidak ada dalam materi KML.
Peristiwa lain di SMAN 1 Gemolong Sragen, seorang siswa berinisial Z mendapat perlakuan tidak mengenakan dari oknum pengurus Rohis di sekolah tersebut karena tidak berhijab. Siswi tersebut mendapat intimidasi atau teror melalui pesan WA yang disampaikan langsung ke nomor Z. Pelaku yang diketahui adalah pengurus rohis terus menerus mengirim pesan supaya Z menjalankan syariat Islam dengan memakai jilbab. Hampir setiap hari pesan itu masuk ke nomor ponsel Z sehingga yang bersangkutan merasa terganggu.
Di Solo seorang siswa dikeluarkan dari sekolah karena mengucapkan ulang tahun kepada temannya. Pihak SMP IT Nur Hidayah Solo beralasan banyak pelanggaran yang dilakukan AN sebelum akhirnya keputusan itu diambil. Kepala SMP IT Nur Hidayah Solo Zuhdi Yusroni menyebut pihaknya telah melakukan penindakan sesuai dengan prosedur. Pihaknya telah melakukan pendampingan sebelum mengeluarkan siswi kelas VIII itu.
Berdekatan dengan Solo, di SMK Negeri 2 Sragen bendera mirip dengan HTI dikibarkan oleh pengurus Rohis. Pembentangan bendera mirip lambang HTI di halaman sekolah tersebut terjadi pada hari Minggu 6 Oktober 2019.
Kasus-kasus ini sangat miris. Paham radikal dan intoleran diajarkan kepada anak-anak di lembaga pendidikan. Hal ini menunjukkan bahwa radikalisasi sudah terjadi secara sistematis.
Aktivitas dalam lembaga pendidikan yang mengandung narasi-narasi radikal untuk mendorong perilaku intoleran dengan cepat diterima oleh anak-anak. Selanjutnya anak-anak tersebut akan menganggap intoleran dan radikalisme sebagai kebenaran dan wajar jika dilakukan. Maka tidak perlu kaget jika saat ini sudah terjadi aksi terorisme dengan pelaku berusia remaja.
Pemerintah terutama Menteri Pendidikan dan Menteri Agama harus tegas menyikapi hal tersebut. Anak-anak dan remaja yang masih rentan menjadi target dari propaganda narasi radikal, yang sering kali dikemas sebagai ajaran agama. Pelaku-pelakunya memanfaatkan lembaga pendidikan karena bisa dilakukan dengan intens, dengan relasi kuasa dan memanfaatkan kebutuhan figur bagi anak-anak.
Materi-materi pendidikan termasuk ajaran agama harus dipastikan tidak menimbulkan perpecahan atau bertentangan dengan ideologi Pancasila dan prinsip kebhinekaan. Dalam dunia pendidikan, termasuk kegiatan ekstrakurikuler, harus ditegaskan substansi dan materi yang ditransfer kepada anak didiknya bebas dari doktrinasi radikal dan intoleran.
Sikap Gubernur Jateng patut menjadi rujukan. Melihat beberapa kasus intoleran yang terjadi di Jawa Tengah maka Gubernur Jateng Ganjar Pranowo memberikan peringatan, siapapun yang mencoba memasukkan paham radikal di lembaga pendidikan di Jateng sanksi pemecatan siap menanti.
Ketegasan seperti yang dilakukan Gubernur Jateng sangat perlu untuk menutup celah bagi masuknya paham radikal dan sikap intoleran. Tentu saja sikap ini juga diharapkan dapat dilakukan oleh Menteri Pendidikan dan Menteri Agama.
Tanpa sikap tegas untuk mencegah maka ruang untuk doktrinasi paham radikal dan sikap intoleran menjadi semakin luas. Jika dalam beberapa tahun ke depan muncul aksi teror oleh remaja maka salah satu penyebabnya adalah pemimpin saat ini yang melakukan pembiaran bibit radikalisme tersebut menjadi subur. (35/*).
*) Stanislaus Riyanta, Pengamat terorisme.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2020
Jumat 10/1/2020 sekitar pukul 10:00-11:00 seorang pembina Pramuka dari Gunung Kidul yang menjadi peserta Kursus Mahir Lanjut Gerakan Pramuka, dalam prakteknya mengajarkan kepada anak-anak yel-yel dan tepukan rasis yang menyebut kata kafir. Aksi itu terjadi di SD Negeri Timuran Kota Yogyakarta yang menjadi tempat praktik KML Gerakan Pramuka tersebut.
Seorang wali murid yang mengetahui hal tersebut kemudian protes dan memviralkan ke media sosial. Atas hal tersebut SD Negeri Timuran Kota Yogyakarta yang menjadi tuan rumah angkat bicara. Tidak hanya itu, Ketua Kwartir Cabang (Kwarcab) Pramuka Kota Yogyakarta Heroe Poerwadi ikut menyesalkan. Materi tersebut tidak ada dalam materi KML.
Peristiwa lain di SMAN 1 Gemolong Sragen, seorang siswa berinisial Z mendapat perlakuan tidak mengenakan dari oknum pengurus Rohis di sekolah tersebut karena tidak berhijab. Siswi tersebut mendapat intimidasi atau teror melalui pesan WA yang disampaikan langsung ke nomor Z. Pelaku yang diketahui adalah pengurus rohis terus menerus mengirim pesan supaya Z menjalankan syariat Islam dengan memakai jilbab. Hampir setiap hari pesan itu masuk ke nomor ponsel Z sehingga yang bersangkutan merasa terganggu.
Di Solo seorang siswa dikeluarkan dari sekolah karena mengucapkan ulang tahun kepada temannya. Pihak SMP IT Nur Hidayah Solo beralasan banyak pelanggaran yang dilakukan AN sebelum akhirnya keputusan itu diambil. Kepala SMP IT Nur Hidayah Solo Zuhdi Yusroni menyebut pihaknya telah melakukan penindakan sesuai dengan prosedur. Pihaknya telah melakukan pendampingan sebelum mengeluarkan siswi kelas VIII itu.
Berdekatan dengan Solo, di SMK Negeri 2 Sragen bendera mirip dengan HTI dikibarkan oleh pengurus Rohis. Pembentangan bendera mirip lambang HTI di halaman sekolah tersebut terjadi pada hari Minggu 6 Oktober 2019.
Kasus-kasus ini sangat miris. Paham radikal dan intoleran diajarkan kepada anak-anak di lembaga pendidikan. Hal ini menunjukkan bahwa radikalisasi sudah terjadi secara sistematis.
Aktivitas dalam lembaga pendidikan yang mengandung narasi-narasi radikal untuk mendorong perilaku intoleran dengan cepat diterima oleh anak-anak. Selanjutnya anak-anak tersebut akan menganggap intoleran dan radikalisme sebagai kebenaran dan wajar jika dilakukan. Maka tidak perlu kaget jika saat ini sudah terjadi aksi terorisme dengan pelaku berusia remaja.
Pemerintah terutama Menteri Pendidikan dan Menteri Agama harus tegas menyikapi hal tersebut. Anak-anak dan remaja yang masih rentan menjadi target dari propaganda narasi radikal, yang sering kali dikemas sebagai ajaran agama. Pelaku-pelakunya memanfaatkan lembaga pendidikan karena bisa dilakukan dengan intens, dengan relasi kuasa dan memanfaatkan kebutuhan figur bagi anak-anak.
Materi-materi pendidikan termasuk ajaran agama harus dipastikan tidak menimbulkan perpecahan atau bertentangan dengan ideologi Pancasila dan prinsip kebhinekaan. Dalam dunia pendidikan, termasuk kegiatan ekstrakurikuler, harus ditegaskan substansi dan materi yang ditransfer kepada anak didiknya bebas dari doktrinasi radikal dan intoleran.
Sikap Gubernur Jateng patut menjadi rujukan. Melihat beberapa kasus intoleran yang terjadi di Jawa Tengah maka Gubernur Jateng Ganjar Pranowo memberikan peringatan, siapapun yang mencoba memasukkan paham radikal di lembaga pendidikan di Jateng sanksi pemecatan siap menanti.
Ketegasan seperti yang dilakukan Gubernur Jateng sangat perlu untuk menutup celah bagi masuknya paham radikal dan sikap intoleran. Tentu saja sikap ini juga diharapkan dapat dilakukan oleh Menteri Pendidikan dan Menteri Agama.
Tanpa sikap tegas untuk mencegah maka ruang untuk doktrinasi paham radikal dan sikap intoleran menjadi semakin luas. Jika dalam beberapa tahun ke depan muncul aksi teror oleh remaja maka salah satu penyebabnya adalah pemimpin saat ini yang melakukan pembiaran bibit radikalisme tersebut menjadi subur. (35/*).
*) Stanislaus Riyanta, Pengamat terorisme.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2020