Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro membuka Global Blockchain Summit 2019 and Blockchain Center Of Excellence and Education Launching di Jakarta. Pemerintah telah menyiapkan enam kebijakan yang mampu mengoptimalkan dampak dan hasil implementasi kemajuan teknologi di Indonesia. Pertama, memperbaiki kualitas layanan digital untuk meningkatkan efisiensi dan daya saing sektor pendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Kedua, meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) agar dapat beradaptasi dengan kebutuhan lapangan kerja masa depan. Ketiga, mengintegrasikan riset, desain, dan pengembangan dengan modernisasi industri dan sektor produktif lainnya.

Keempat, mendorong pengembangan fintech untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dengan memaksimalkan dukungan konektivitas internet dan penetrasi telepon genggam. Kelima, memperkuat ekosistem inovasi dengan kolaborasi antara pemerintah, pelaku bisnis, institusi pendidikan, dan komunitas.
Keenam, mendorong kolaborasi perusahaan rintisan atau startup, mencakup pengembangan ekosistem, akselerasi, inkubasi hingga model bisnis dan aspek berkelanjutan dari bisnis startup.

Revolusi digital yang melanda sektor keuangan, dengan lahirnya keuangan digital dan financial technology (fintech) berpotensi mendorong terjadinya finansialisasi. Keuangan digital menjadi alat untuk memarginalkan sebagian masyarakat yang saat ini telah termarjinalkan melalui ketergantungan pada utang yang berlebihan dan tidak produktif.

Revolusi digital juga membuat berbagai regulasi dan undang-undang menjadi kedaluarsa. Berbagai teori ekonomi-keuangan konvensional, proyeksi dan asumsi yang mendasarkan pada ekonometris menjadi tidak relevan. Di sektor keuangan, kondisi ini dapat memicu terjadinya pelemahan fungsi intermediasi lem-baga keuangan incumbent Demikian benang merah pidato Wimboh Santoso, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam pengukuhannya sebagai Guru Besar Tidak Tetap bidang Manajemen Risiko pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sebelas Maret di Solo, Dalam pidato berjudul Revolusi Digital: "New Paradigm" di Bidang Ekonomi dan Keuangan, Wimboh menyatakan, pesatnya kehadiran teknologi telah merevolusi gaya hidup masyarakat yang mengakibatkan terjadinya pergeseran di tatanan ekonomi dan landscape sektor jasa keuangan, yang akan menimbulkan distorsi dalam masa transisinya. Di satu sisi, kehadiran teknologi ini bisnis baru di antaranya berupa layanan peer-to-peer lending dan skating economy.

Wimboh mengutip sebuah studi menegaskan, transformasi digital akan menyebabkan biaya produksi menjadi lebih murah, sehingga menurunkan daya tawar negara berkembang dalam konteks biaya tenaga kerja. Hal ini menyebabkan penurunan upah rill tenaga kerja di negara berkembang yang pada akhirnya akan menyebabkan pelebaran kesenjangan dalam pendapatan. Budaya digital ini telah merevolusi gaya hidup dan perilaku masyarakat di berbagai bidang, mulai gaya hidup ber-belanja lewat e-commerce, gaya hidup bertransportasi dengan hadirnya ride sharing provider, dan di bidang edukasi dengan banyaknya program-program pendidikan online sejalan dengan munculnya e-learning dan e-library. Wimboh mencontohkan, 47% pekerjaan di Jerman dapat digantikan oleh mesin dan teknologi otomatisasi. Potensi penurunan permintaan tenaga kerja terampil berkisar antara 13-22%. Berbagai inovasi telah melahirkan teknologi keuangan (fintech) dan keuangan digital (digital finance).

Dalam dua tahun terakhir, fintech peer-to-peer (P2P) lending berkem-bang pesat di Indonesia. Hingga awal Agustus 2019, terdapat 127 platform pinjaman online yang terdaftar di OJK dengan total pinjaman yang dikelu-arkan sebesar Rp 44,8 triliun kepada 9,7 juta rekening nasabah. Namun demikian, teknologi juga menimbulkan tantangan, baik dari persaingan yang tidak berimbang antara start-up fintech dengan lembaga keuangan tradisional yang berpotensi mengakibatkan dirupsi di sektor keuangan sampai dengan potensi munculnya berbagai risiko terkait dengan teknologi. OJK telah memetakan potensi risiko dengan menjamurnya perusahaan fintech. Di antaranya adalah munculnya potensi regulatory arbitrage antara industri keuangan formal seperti perbankan yang highly reg-ulated dengan industri fintech yang cenderung kurang diregulasi, yang berpotensi mengganggu stabilitas sektor jasa keuangan.
Pemerintah mengandalkan perkembangan teknologi digital untuk meningkatkan kualitas perencanaan pembangunan, yang mencakup peta jalan transformasi digital, harmonisasi peraturan perundangan, kebijakan fiskal, kemudahan berusaha, juga kesediaan akses pendanaan dan tenaga kerja terampil. Infrastruktur teknologi komunikasi dan informasi juga menjadi sasaran kebijakan, sekaligus perbaikan keamanan siber dan tata kelola.

Terkait dengan keamanan siber dan pembahasan RUU Siber, maka Pemerintah perlu mengundang masyarakat sipil, akademisi, dan ahli saat membahas RUU itu agar tidak melanggar hak asasi manusia dan mencabut kebebasan. Perlunya melibatkan pemangku kebijakan lintas sektor, sipil, ahli dan akademisi karena akupan dunia siber sangat luas dan dinamis sehingga perlu banyak orang dengan berbagai disiplin untuk membahasnya.

Mengatur siber tak melulu urusan hukum dan tak hisa hanya lewat pendekatan birokrasi, tetapi juga membutuhkan pemahaman teknis teknologi, kebutuhan dunk usaha, hingga dampak sosial UU. Luas dan dinamis inilah dua kata kunci yang perlu kita pegang menyangkut pengaturan jagat siber, terutama dalam hal keamanan dan ketahanan pemanfaatannya. Persisnya, di sinilah letak dilema pemanfaatan siber. Di satu pihak kita banyak terbantu dengan pemanfaatan teknologi siber. Namun, di sisi lain kemudahan yang diberikan juga menyebabkan timbulnya kerawanan, selain ketergantungan.

Dimensi luas pemangku keamanan siber meliputi tidak saja militer tetapi juga finansial dan ekonomi secara umum, fasilitas seperti halnya jaringan listrik dan telekommilkasi. Kita yang telah memutuskan memanfaatkan teknologi siber mau tak mau harus memahami berbagai aspek keamanannya.

Menyangkut ketahanan, mau tak mau kita harus punya pranata, termasuk regulasi dan laskar siber yang andal untuk mengamankan berbagai kepentingan nasional. Jika ditelusuri lebh jauh, kita membutuhkan insan cakap yang harus kita persiapkan sejak usia muda di sekolah dan lembaga pendidikan tinggi. Hanya dengan persiapan dan pemahaman yang matang kita bisa menyusun UU yang efektif melindungi negara, tetapi tidak membatasi kreativitas masyarakat.

Terkait industri 4.0, ada lima subsektor manufaktur yang menjadi prioritas, yakni makanan, tekstil, otomotif, elektronik, dan industri kimia. Potensi ini menghadapi tantangan keamanan data dan informasi serta distribusi yang efisien dalam sistem desentralisasi yang dapat dijawab blockchain.
 
Terkait tahapan-tahapan revolusi industry, secara teoritis sudah dijelaskan oleh Klaus Schwab (2016) dalam bukunya berjudul “The Fourth Industrial Revolution” menyebutkan, revolusi 4.0 ditandai dengan kecerdasan buatan (artificial intelligence), pemelajaran mesin, jaringan internet seluler, dan sensor-sensor yang makin kecil dan murah. Revolusi industry pertama dipicu penemuan mesin uap dan konstruksi rel kereta api (1760-1840). Revolusi industry kedua sejak abad ke 19 sampai awal abad ke-20 dengan adanya produksi massal. Revolusi industri ketiga atau revolusi digital dimulai pada tahun 1960-an dengan adanya pengembangan semi konduktor, internet dan komputer. Sementara itu, AT Kearney dalam “Bringing the Fourth Industrial Revolution to Indonesia” menyebutkan, implementasi revolusi industri 4.0 mampu mengakselerasi Indonesia menjadi 10 besar kekuatan ekonomi dunia pada 2030, dimana salah satu kuncinya adalah pemerintahan yang bersih.

Dan 265 juta penduduk di Indonesia, 178 juta merupakan pengguna telepon seluler, 171,17 juta merupakan pengguna internet, dan 130 juta merupakan pengguna media sosial aktif. Namun di sisi lain, ekonomi digital dan revolusi industri 4.0 juga telah mendorong kompleksitas konfigurasi tata kelola ekonomi serta memberikan beberapa implikasi yang cenderung tidak diharapkan dan dapat mendistrosi pasar. Studi IMF (2019) menunjukkan bahwa kekuatan pasar (market power) perusahaan-perusahaan besar meningkat secara signifikan dalam beberapa dekade terakhir akibat penguasaan teknologi oleh mereka.

Perusahaan fintech akan cenderung menghindari regulatory cost seperti kewajiban permodalan minimum. Begitu juga semakin maraknya apa yang dinamakan shadow banking dan potensi risiko sistemik dari ketersambungan teknologi. Risiko usaha fintech, antara lain adalah kegagalan sistem, kesalahan informasi, kesalahan transaksi, keamanan data, lemahnya penerapan prinsip-prinsip KYC, suku bunga terlalu tinggi akibat posisi tawar yang tidak setara, danjuga potensi kejahatan siber. Akhirnya kehadiran keuangan digital berpotensi menimbuIkan finansialisasi (financialization). Artinya, keuangan digital menjadi alat untuk memarginalkan sebagian masyarakat yang saat ini telah termarjinalkan melalui ketergantungan pada utang yang berlebihan dan tidak produlctif.

Revolusi digital membuat ilmu ekonomi dan keuangan konvensial men-jadi kurang relevan dengan semakin semakin kecilnya asimetris informasi. Akibatnya, kebijakan dan kondisi pasar dapat dengan cepat ditransmisikan secara global keuangan juga menjadi "kedaluarsa". Untuk itu, dibutuhkan pendekatan baru bagi pemerintah dan otoritas keuangan yang lebih dinamis dan kontekstual agar manfaatnya dapat optimal namun risikonya dapat dimitigasi dengan balk. Adopsi teknologi dalam pendekatan pengaturan dan pengawasan industri jasa keuangan menjadi suatu keharusan.

Menyadari potensi risiko dan konsekuensi seiring dengan adanya revolusi digital di sektor keuangan, perlu adanya perubahan paradigma di dalam pengawasan dan pengaturan sektor jasa keuangan. Pertama, teknologi telah menyebabkan informasi dapat terdiseminasi super cepat dan secara dramatis menurunkan adanya informasi asimetri. Hal itu akan mempercepat integrasi ekonomi dan keuangan, sehingga tidak ada yang bisa menggunakan pendekatan dengan merahasiakan informasi sebagai suatu competitive advantage di pasar keuangan. Kedua, asumsi ekonomi fundamental jangka panjang sudah tidak relevan lagi karena perubahan mendadak dari suatu kebijakan dan kondisi pasar akan dapat langsung ditransmisikan secara global. Hal ini telah mengubah cara pandang proyeksi ekonomi dan manajemen risiko yang lebih mengandalkan kepada informasi terkini yang diperoleh jika dibandingkan dengan proyeksi time series secara tradisional. Penggunaan data historis sebagai basis untuk melakukan prediksi, umumnya dianalisis dengan pemodelan ekonometrik, menjadi kurang relevan dalam konteks ini sehingga diperlukan pendekatan-pendekatan baru dalam melakukan analisis ekonomi yang lebih dinamis dan lebih kontekstual. Siklus ekonomi dan keuangan menjadi lebih unpredictable sehingga risiko terbesar yang harus kita waspadai adalah perubahan teknologi. Siapa yang menguasai teknologi adalah the winner.

Selain itu, potensi disintermediasi keuangan yang berkaitan dengan kemungkinan hilangnya institusi-institusi jasa keuangan seharusnya dimitigasi sejak awal dan menjadi perhatian utama regulator. Potensi disintermediasi berimplikasi besar terutama pada pengurangan tenaga kerja. Kebijakan linkage maupun konsolidasi antar institusi sektor jasa keuangan menjadi salah satu opsi dalam kerangka mitigasi potensi adanya disintermediasi tersebut. Dibutuhkan pendekatan yang tepat dalam menformulasikan regulasi dan pengawasannya agar inovasi keuangan fintech tetap dapat didorong, namun tetap dalam koridor terjaganya stabilitas sektor jasa keuangan dan terlindunginya kepentingan nasabah. Itu sebabnya, prinsip pendekatan pengaturan dan pengawasan perusahaan fintech adalah mendorong transparansi, berhorizon jangka panjang agar menerapkan tata kelola yang lebih balk, serta mewujudkan smooth transition dalam persaingan untuk memitigasi distorsi dari kehadiran industry fintech. Untuk itu, beberapa kerangka teknis dapat diadopsi. Di antaranya melalui penerapan pengawasan perilaku pasar (market conduct).

Kedua, regulatory sandbox sebagai wadah untuk uji coba dan pengujian inovasi keuangan digital sebelum dipasarkan secara masif. Ketiga, penegakan hukum di indus-tri fintech mutlak, terutama fintech ilegal. Keempat, perlu kerja sama dan harmonisasi pengaturan lintas batas antar otoritas di tingkat regional dan internasional. Kelima, pencegahan terjadinya "financialization" kepada masyarakat yang termarjinalkan oleh ketergantungan pada utang yang berlebihan. Selain itu, otoritas harus mendorong diimplementasikanya regulatory technology (regtech) dan supervisory technology (suptech). Suptech akan meningkatkan efisiensi proses pengawasan melalui penggunaan otomasi dan penyederhanaan alur kerja. Dengan demikian, potensi risiko sistemik dari digitalisasi ekonomi dan keuangan akan dapat dimitigasi.

Last but not least, peranan teknologi untuk mengakselerasi era transformasi ekonomi yang dicanangkan sebagai salah satu program prioritas Presiden Jokowi memang langkah tepat dan didukung, namun tetap harus memperhatikan ancaman, gangguan dan hambatannya yang harus diprediksi sedini mungkin baik oleh Kemenristekdikti, BPPT, Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) maupun Badan Intelijen Negara (BIN) dengan menggandeng OJK dan komunitas NGO atau lembaga privat yang mendalami masalah ancaman siber, agar tidak mengganggu atau menginterupsi kepentingan nasional ke depan. (29/*).

*) Penulis adalah Alumnus Udayana, Bali. Tinggal di Jakarta Timur.

Pewarta: Oleh: Otjih Sewandarijatun *)

Editor : M. Tohamaksun


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2020