Tahun 2019 seakan membuka satu pintu bagi olahraga elektronik atau esport untuk mendapatkan perhatian serta pengakuan dari pemerintah.
Pintu itu memang belum sepenuhnya terbuka lebar sebab mereka kini masih tetap berada di ambang ketidakpastian menuju pengakuan sebagai satu cabang olahraga.
Kendati begitu, esport terus menunjukkan keseriusannya dengan harapan dapat membuka pintu jalan menuju pengakuan yang didambakan.
Pintu jalan itu satu per satu mulai terbuka. Pada awal tahun 2019, melalui Badan Ekonomi Kreatif (BEKRAF), Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) dan Kantor Staf Presiden (KSP) Piala Presiden Esports digelar untuk pertama kalinya sebagai dukungan pemerintah yang berkomitmen mendukung perkembangan esport di Indonesia.
Sebagai langkah pemerintah untuk terus meningkatkan ekosistem esport, turnamen nasional paling bergengsi itu kini melanjutkan edisi keduanya yang finalnya akan digelar pada Februari 2020 mendatang. Enam negara dari Asia Tenggara akan turut berpatisipasi dalam kejuaraan yang berlangsung di Jakarta itu.
Keseriusan pemerintah yang ingin mengangkat esport sebagai cabang olahraga juga dapat terlihat saat esport menjadi salah satu sorotan pada simposium perayaan Hari Olahraga Nasional (Haornas) ke-36 di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, September lalu.
Beberapa pakar dari dunia video games, psikologi, keilmuan olahraga dihadirkan dalam simposium tersebut untuk memberikan masukan dan solusi kepada Kemenpora terkait pembuatan kebijakan dalam mengatur esport.
Salah satu pembicara, Richard Permana yang merupakan pendiri tim esport profesional NXL mengungkapkan, jika esport tidak kalah serius dari olahraga fisik pada umumnya dan populer. "Artinya menjadi atlet itu harus siap dengan daya tahan, ketahanan fisik, dan lain sebagainya. Banyak sekali aspeknya agar pro-gamer itu juara," kata Richard.
Layaknya atlet catur dan bridge, atlet pro esport juga dituntut memiliki taktik, strategi hingga kemampuan analisa yang tak hanya mendalam, tapi juga cepat dalam mengambil keputusan.
Meski begitu, ada masalah lain yang tak kalah fundamental yang disoroti dalam simposium tersebut, yakni apakah esport bisa dikatakan sebagai olahraga ketika dalam praktiknya hanya melibatkan gerakan tangan.
Pakar keilmuan olahraga Adang Suherman mengatakan, hingga saat ini belum ditemukan elemen penting yang mendukung esport sebagai olahraga karena minimnya kegiatan fisik yang dilakukan. "Benar ada gerakan tangan namun masih diperlukan data empiris yang dikaji dalam perspektif tertentu termasuk tuntutan aktivitas fisik minimal dari WHO," kata Adang.
Namun Adang tak menampik bahwa esport mempunyai potensi luar biasa kaitannya dengan ladang perputaran uang yang besar bagi bisnis gim dan penopangnya.
Tidak berhenti di situ. Hasil kajian tersebut akhirnya menuai hasil. Sekretaris Kemenpora Gatot S. Dewa Broto pernah menyatakan bahwa pihaknya tengah menyusun peraturan menteri terkait esport.
Peraturan menteri itu memang belum rampung dan masih dalam tahap kajian. Namun apabila regulasi tersebut telah disahkan, Gatot berharap dapat memberi pemahaman serta edukasi tentang esport yang sebetulnya memiliki prinsip dan nilai-nilai yang sama dengan cabang olahraga lainnya.
Bertentangan
Esport memang telah dipertandingkan untuk pertama kali sebagai cabang olahraga eksibisi di Asian Games 2018, namun belum mendapat pengakuan dari Komite Olimpiade Internasional (IOC).
Selama setahun terakhir ini, IOC telah mengambil langkah-langkah untuk lebih memahami esports dan belajar bagaimana olahraga elektronik itu bisa duduk berdampingan dengan olahraga pada umumnya. IOC pun membentuk sebuah organisasi bernama Kelompok Penghubung Esports dan Gaming.
Kelompok tersebut merupakan sebuah badan yang memusatkan kolaborasi antara olimpiade dengan komunitas olahraga dan gaming. Kelompok ini terdiri dari sekitar 40 pakar olahraga, esports, dan game yang misinya adalah memberikan inisiatif strategis kepada pimpinan IOC dan KTT Olimpiade untuk mempromosikan nilai-nilai olimpiade dalam olahraga dan esport.
Kendati demikian, Manajer bidang esport IOC Giacomo Modolo, saat melakukan wawancara bersama British Esports Association, pada Agustus lalu mengungkapkan, bahwa esport tampak masih sulit untuk diakui sebagai olahraga. Sebab untuk dapat diakui oleh IOC diperlukan federasi internasional yang mengatur seluruh ekosistem cabang olahraga tersebut.
"Kami tidak mengakui federasi esport manapun hingga saat ini karena berbagai alasan. Pertama, setiap video gim kompetitif, ada properti intelektual yang dimiliki oleh publisher game. Ini jelas yang paling membedakan dengan olahraga lain," kata Modolo.
Selain alasan komersial yang tak bisa dipisahkan dengan esport, faktor lain adalah konten gim yang kerap bertentangan dengan nilai-nilai yang dijunjung dalam ajang olimpiade.
"Gim-gim dewasa menampilkan kekerasan secara eksplisit dan simulasi peperangan, misalnya, dan itu tidak sesuai dengan nilai-nilai olimpiade."
Berdasarkan alasan tersebut, dengan demikian IOC hingga kini hanya memperlakukan esports sebagaimana adanya yakni sebatas permainan video kompetitif.
Pembicaraan soal masa depan esport kemudian berlanjut pada 8th Olympic Summit yang dilaksanakan pada 7 Desember lalu di antara para petinggi federasi olahraga internasional.
Presiden Federasi Balap Sepeda Internasional (UCI) David Lappartient pun turut merekomendasikan agar nilai-nilai olimpiade bisa diterapkan ke dalam esport.
IOC lantas tidak langsung menyetujui rekomendasi tersebut. Namun mereka telah sampai kepada beberapa poin. Pertama, IOC menyetujui bahwa esport memiliki potensi besar untuk menjadi bagian dalam olahraga.
Kedua adalah bahwa hingga saat ini IOC tetap berkeyakinan bahwa olahraga harus terfokus pada pemain daripada pada gim tertentu. Fokus tersebut harus mempromosikan partisipasi olahraga dan manfaatnya serta gaya hidup sehat bagi atlet esport elite.
Terakhir, IOC meyakini bahwa mereka dan komunitas esport harus tetap melanjutkan kerja sama yang strategis termasuk dalam hal pelaksanaan turnamen.
Akibat dari tak ada pengakuan dari IOC, tentu semakin sulit bagi pemerintah untuk mengakomodir pembahasan esports ke dalam Undang-Undang Sistem Keolahragaan Nasional (SKN).
Terlepas dari itu semua, Wakil Ketua Umum Indonesia e-Sports Association (IeSPA) William Tjahyadi mengatakan bahwa pemerintah telah menunjukkan perhatian dan dukungannya kepada esport. Pihaknya bahkan sudah cukup sering melakukan pertemuan dan diskusi bersama Kemenpora untuk membicarakan masa depan esport Indonesia .
"Setelah Asian Games 2018, pemerintah semakin tahu sama esport jadi mulai banyak meeting dengan pemerintah untuk esport butuhnya apa, kajiannya gimana, dan bisa didukung oleh Kemenpora apa," kata William.
"Targetnya sekarang ya dilanjutkan saja karena ide-ide pemerintah untuk memberikan dukungan lebih, tapi secara konkretnya kita belum tahu kita harus ngapain. Jadi mungkin 2020 lebih diteruskan ke arah sana," ujarnya menambahkan.
Asa
Tahun 2019 menjadi ajang pembuktian bagi esport berprestasi di multi event SEA Games 2019 di Filipina untuk pertama kalinya sepanjang sejarah.
Ketika di Asian Games 2018 esport hanya dipertandingkan sebagai cabang eksibisi dan tidak masuk ke dalam perhitungan medali, tetapi pada SEA Games 2019, tim esport Indonesia akhirnya bisa menambah jumlah medali Merah Putih di papan klasemen.
Pemerintah pun tak luput memberikan apresiasi kepada tim esport yakni memberikan bonus yang sama layaknya pemenang di cabang olahraga lainnya.
Fakta lain bahwa esports tidak kalah serius dari olahraga pada umunya, berbagai media besar nasional maupun internasional secara khusus menyediakan rubrik esports. Rubrik tersebut banyak membahas tim-tim esports profesional Indonesia maupun dunia yang menjadi juara pada turnamen internasional.
Gegap gempita esport juga semakin terasa pada beberapa gim mobile yang memiliki skena kompetitif populer seperti Mobile Legends dan PlayerUnkown's Battlegrounds (PUBG). Indonesia bahkan sudah memiliki tim profesional yang langganan mewakili Merah Putih di kompetisi internasional.
Agenda besar akan segera dihadapi tim esports Indonesia. Mereka tentu saja harus mampu membuktikan bisa berprestasi jauh lebih baik pada SEA Games 2021 dan Asian Games 2022, di mana cabang olahraga esports dipastikan akan dipertandingkan kembali dalam multi event internasional.
Meskipun masih terlalu sulit bagi esport untuk diakui sebagai olahraga pada umumnya, beberapa hasil kerja keras setidaknya telah cukup membuktikan dan menunjukkan hasil yang memuaskan.
Seberapa jauh pun langkah itu harus ditapaki, harapan itu harus tetap ada, terpelihara.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2019
Pintu itu memang belum sepenuhnya terbuka lebar sebab mereka kini masih tetap berada di ambang ketidakpastian menuju pengakuan sebagai satu cabang olahraga.
Kendati begitu, esport terus menunjukkan keseriusannya dengan harapan dapat membuka pintu jalan menuju pengakuan yang didambakan.
Pintu jalan itu satu per satu mulai terbuka. Pada awal tahun 2019, melalui Badan Ekonomi Kreatif (BEKRAF), Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) dan Kantor Staf Presiden (KSP) Piala Presiden Esports digelar untuk pertama kalinya sebagai dukungan pemerintah yang berkomitmen mendukung perkembangan esport di Indonesia.
Sebagai langkah pemerintah untuk terus meningkatkan ekosistem esport, turnamen nasional paling bergengsi itu kini melanjutkan edisi keduanya yang finalnya akan digelar pada Februari 2020 mendatang. Enam negara dari Asia Tenggara akan turut berpatisipasi dalam kejuaraan yang berlangsung di Jakarta itu.
Keseriusan pemerintah yang ingin mengangkat esport sebagai cabang olahraga juga dapat terlihat saat esport menjadi salah satu sorotan pada simposium perayaan Hari Olahraga Nasional (Haornas) ke-36 di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, September lalu.
Beberapa pakar dari dunia video games, psikologi, keilmuan olahraga dihadirkan dalam simposium tersebut untuk memberikan masukan dan solusi kepada Kemenpora terkait pembuatan kebijakan dalam mengatur esport.
Salah satu pembicara, Richard Permana yang merupakan pendiri tim esport profesional NXL mengungkapkan, jika esport tidak kalah serius dari olahraga fisik pada umumnya dan populer. "Artinya menjadi atlet itu harus siap dengan daya tahan, ketahanan fisik, dan lain sebagainya. Banyak sekali aspeknya agar pro-gamer itu juara," kata Richard.
Layaknya atlet catur dan bridge, atlet pro esport juga dituntut memiliki taktik, strategi hingga kemampuan analisa yang tak hanya mendalam, tapi juga cepat dalam mengambil keputusan.
Meski begitu, ada masalah lain yang tak kalah fundamental yang disoroti dalam simposium tersebut, yakni apakah esport bisa dikatakan sebagai olahraga ketika dalam praktiknya hanya melibatkan gerakan tangan.
Pakar keilmuan olahraga Adang Suherman mengatakan, hingga saat ini belum ditemukan elemen penting yang mendukung esport sebagai olahraga karena minimnya kegiatan fisik yang dilakukan. "Benar ada gerakan tangan namun masih diperlukan data empiris yang dikaji dalam perspektif tertentu termasuk tuntutan aktivitas fisik minimal dari WHO," kata Adang.
Namun Adang tak menampik bahwa esport mempunyai potensi luar biasa kaitannya dengan ladang perputaran uang yang besar bagi bisnis gim dan penopangnya.
Tidak berhenti di situ. Hasil kajian tersebut akhirnya menuai hasil. Sekretaris Kemenpora Gatot S. Dewa Broto pernah menyatakan bahwa pihaknya tengah menyusun peraturan menteri terkait esport.
Peraturan menteri itu memang belum rampung dan masih dalam tahap kajian. Namun apabila regulasi tersebut telah disahkan, Gatot berharap dapat memberi pemahaman serta edukasi tentang esport yang sebetulnya memiliki prinsip dan nilai-nilai yang sama dengan cabang olahraga lainnya.
Bertentangan
Esport memang telah dipertandingkan untuk pertama kali sebagai cabang olahraga eksibisi di Asian Games 2018, namun belum mendapat pengakuan dari Komite Olimpiade Internasional (IOC).
Selama setahun terakhir ini, IOC telah mengambil langkah-langkah untuk lebih memahami esports dan belajar bagaimana olahraga elektronik itu bisa duduk berdampingan dengan olahraga pada umumnya. IOC pun membentuk sebuah organisasi bernama Kelompok Penghubung Esports dan Gaming.
Kelompok tersebut merupakan sebuah badan yang memusatkan kolaborasi antara olimpiade dengan komunitas olahraga dan gaming. Kelompok ini terdiri dari sekitar 40 pakar olahraga, esports, dan game yang misinya adalah memberikan inisiatif strategis kepada pimpinan IOC dan KTT Olimpiade untuk mempromosikan nilai-nilai olimpiade dalam olahraga dan esport.
Kendati demikian, Manajer bidang esport IOC Giacomo Modolo, saat melakukan wawancara bersama British Esports Association, pada Agustus lalu mengungkapkan, bahwa esport tampak masih sulit untuk diakui sebagai olahraga. Sebab untuk dapat diakui oleh IOC diperlukan federasi internasional yang mengatur seluruh ekosistem cabang olahraga tersebut.
"Kami tidak mengakui federasi esport manapun hingga saat ini karena berbagai alasan. Pertama, setiap video gim kompetitif, ada properti intelektual yang dimiliki oleh publisher game. Ini jelas yang paling membedakan dengan olahraga lain," kata Modolo.
Selain alasan komersial yang tak bisa dipisahkan dengan esport, faktor lain adalah konten gim yang kerap bertentangan dengan nilai-nilai yang dijunjung dalam ajang olimpiade.
"Gim-gim dewasa menampilkan kekerasan secara eksplisit dan simulasi peperangan, misalnya, dan itu tidak sesuai dengan nilai-nilai olimpiade."
Berdasarkan alasan tersebut, dengan demikian IOC hingga kini hanya memperlakukan esports sebagaimana adanya yakni sebatas permainan video kompetitif.
Pembicaraan soal masa depan esport kemudian berlanjut pada 8th Olympic Summit yang dilaksanakan pada 7 Desember lalu di antara para petinggi federasi olahraga internasional.
Presiden Federasi Balap Sepeda Internasional (UCI) David Lappartient pun turut merekomendasikan agar nilai-nilai olimpiade bisa diterapkan ke dalam esport.
IOC lantas tidak langsung menyetujui rekomendasi tersebut. Namun mereka telah sampai kepada beberapa poin. Pertama, IOC menyetujui bahwa esport memiliki potensi besar untuk menjadi bagian dalam olahraga.
Kedua adalah bahwa hingga saat ini IOC tetap berkeyakinan bahwa olahraga harus terfokus pada pemain daripada pada gim tertentu. Fokus tersebut harus mempromosikan partisipasi olahraga dan manfaatnya serta gaya hidup sehat bagi atlet esport elite.
Terakhir, IOC meyakini bahwa mereka dan komunitas esport harus tetap melanjutkan kerja sama yang strategis termasuk dalam hal pelaksanaan turnamen.
Akibat dari tak ada pengakuan dari IOC, tentu semakin sulit bagi pemerintah untuk mengakomodir pembahasan esports ke dalam Undang-Undang Sistem Keolahragaan Nasional (SKN).
Terlepas dari itu semua, Wakil Ketua Umum Indonesia e-Sports Association (IeSPA) William Tjahyadi mengatakan bahwa pemerintah telah menunjukkan perhatian dan dukungannya kepada esport. Pihaknya bahkan sudah cukup sering melakukan pertemuan dan diskusi bersama Kemenpora untuk membicarakan masa depan esport Indonesia .
"Setelah Asian Games 2018, pemerintah semakin tahu sama esport jadi mulai banyak meeting dengan pemerintah untuk esport butuhnya apa, kajiannya gimana, dan bisa didukung oleh Kemenpora apa," kata William.
"Targetnya sekarang ya dilanjutkan saja karena ide-ide pemerintah untuk memberikan dukungan lebih, tapi secara konkretnya kita belum tahu kita harus ngapain. Jadi mungkin 2020 lebih diteruskan ke arah sana," ujarnya menambahkan.
Asa
Tahun 2019 menjadi ajang pembuktian bagi esport berprestasi di multi event SEA Games 2019 di Filipina untuk pertama kalinya sepanjang sejarah.
Ketika di Asian Games 2018 esport hanya dipertandingkan sebagai cabang eksibisi dan tidak masuk ke dalam perhitungan medali, tetapi pada SEA Games 2019, tim esport Indonesia akhirnya bisa menambah jumlah medali Merah Putih di papan klasemen.
Pemerintah pun tak luput memberikan apresiasi kepada tim esport yakni memberikan bonus yang sama layaknya pemenang di cabang olahraga lainnya.
Fakta lain bahwa esports tidak kalah serius dari olahraga pada umunya, berbagai media besar nasional maupun internasional secara khusus menyediakan rubrik esports. Rubrik tersebut banyak membahas tim-tim esports profesional Indonesia maupun dunia yang menjadi juara pada turnamen internasional.
Gegap gempita esport juga semakin terasa pada beberapa gim mobile yang memiliki skena kompetitif populer seperti Mobile Legends dan PlayerUnkown's Battlegrounds (PUBG). Indonesia bahkan sudah memiliki tim profesional yang langganan mewakili Merah Putih di kompetisi internasional.
Agenda besar akan segera dihadapi tim esports Indonesia. Mereka tentu saja harus mampu membuktikan bisa berprestasi jauh lebih baik pada SEA Games 2021 dan Asian Games 2022, di mana cabang olahraga esports dipastikan akan dipertandingkan kembali dalam multi event internasional.
Meskipun masih terlalu sulit bagi esport untuk diakui sebagai olahraga pada umumnya, beberapa hasil kerja keras setidaknya telah cukup membuktikan dan menunjukkan hasil yang memuaskan.
Seberapa jauh pun langkah itu harus ditapaki, harapan itu harus tetap ada, terpelihara.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2019