Sejumlah ancaman kerawanan menjelang Hari Natal dan Tahun Baru 2020 yang bersumber ancaman terorisme masih sangat berpotensi terjadi menyasar di tempat keramaian dan rumah ibadah. Indikasi tersebut mencermati dari rekam jejak rangkaian aksi terorisme sepanjang 2019 tercermin peledakan bom di Poltabes Medan dan terkini penusukan mantan Menkopolhukam Wiranto di Banten. Selain itu, berdasarkan data dari Polri terkait gangguan Kamtibmas sepanjang perayaan Hari Natal dan Tahun Baru pada 2018-2019 mengalami kenaikan 4.012 kasus atau 27,49 persen jika dibandingkan dengan periode pada 2017-2018 yang hanya 2.909 kasus. Tetapi jumlah kecelakaan lalu lintas perayaan Natal pada 2018-2019 terdapat penurunan 30 persen dari 965 kasus menjadi 673 kasus.

Mencermati kondisi tersebut, aparat keamanan dan intelijen perlu meningkatkan penebalan keamanan di tempat keramaian dan rumah ibadah agar menciptakan rasa aman seluruh warga masyarakat untuk terlindungi. Antisipasi negara dalam deteksi dini masalah potensi ancaman terorisme sudah dilakukan, tercermin keberhasilan Densus 88 menangkap dua terduga teroris di Kenagarian Baringin, Kecamatan Lima Kaum, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat menjelang Nabaru 2020.

Di lokasi keramaian menjelang Nabaru 2020, adanya pola baru pelaku teror yang melibatkan keluarga karena diangapnya cara baru yang paling efektif. Hal ini menjadikan penangangan aksi tindak terorisme semakin sulit diantisipasi. Selain itu, aksi terorisme selalu mencari peluang momentum yang tepat dalam upayanya mengirimkan pesan kepada negara akan eksistensi radikalisme mereka dan membangkitkan perasaan ketakutan luar biasa ditengah-tengah masyarakat. Tentunya ikhtiar kuat terorisme dalam pemilihan lokasi-lokasi yang strategis bertujuan membawa dampak yang luar biasa bagi masyarakat dan negara.

Aksi terorisme memanfaatkan momentum Natal dan Tahun Baru di Indonesia sudah berlangsung lama dari tahun 2013 hingga sekarang dengan catatan adanya pola yang digunakan kaum terorisme melakukan inovasi seperti dari perseorangan menjadi kelompok keluarga dengan dasar pemikiran awal radikalisme menjadi terorisme, upaya memanipulasi logika berfikir tekait anak-anak lebih jarang diperiksa oleh aparat keamanan. Migrasi dari tradisional ke modern serta perubahan fisik secara modis atau kekinian dalam mengcover tindakan eksekusi akhirnya. Namun ada yang selalu ditolak dalam adaptasi inovasi mereka, istiqomah kuat mengisolasi ruang pemikiran dan hubungan sosial di masyarakat Pancasila.

Selain itu, yang belum mengalami penyesuain perubahan terkait pola komunikasi dan gerakannya masih kuat teroganisir dalam sel-sel terorisme di Indonesia yang masih cukup banyak tersebar. Dalam banyak kasus-kasus yang terungkap belum ada terorisme melakukan aksinya secara mandiri dan mereka tetap melakukan aktivitas secara linier organisasi dengan tingkat kerahasian sangat tinggi.

Bercermin dari kasus bom gereja di Surabaya tahun 2018 yang dilakukan satu keluarga dari rumpun JAD, ikhtiar suatu keluarga mengkondisikan diri menjadi radikal tidak mungkin terjadi secara alami. Keluarga tersebut dapat dipastikan masuk dalam rumah bersama jaringan pemikiran radikal, kemudian lebih dalam lagi mendorong mereka melakukan aksi pembunuhan umat manusia. Jangan anggap sepele pemirikan radikal yang terus muncul diranah publik, tidak terlalu sulit bagi kita untuk menemukan siapa berbuat apa diranah publik ini, banyak hasil survey mempublikasikan hampir 10 juta warga Indonesia berpaham radikal. Sehingga situasi bonus keberagaman moderat, toleran dan akomodatif yang menjadi fondasi kuat negara dasar negara ini bangun telah dibayangi iblis terorisme yang anti bonus intensif geososial yang tidak dimiliki oleh negara-negara lain di dunia ini.

Tanggung jawab mengatasi terorisme dan akar pemikiran radikalisme buka saja otoritas negara beserta instrumen pendukungnya tapi adalah bagaimana saat ini masyarakat membangun kesadaran akan tanggung jawab serta komitmen bersama melawan terorisme. Kepedulian dalam konteks partisipasi masyarakat perlu terus diperluas digalang terutama  pemuka agama, pendidik maupun politisi perlu untuk meminimalkan dan melawan isu SARA dan kembali mengajak setiap pihak untuk kembali mengamalkan ideologi Pancasila dan menempatkan terorisme sebagai musuh bersama masyarakat. (60/*).

*) Penulis:  Peneliti Studi Radikalisme dan Terorisme Di Negara Berkembang.

Pewarta: Oleh: Agung Setia Budi, S.I.P, M.Sos

Editor : M. Tohamaksun


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2019