Jika tidak ada aral melintang, pelantikan Ketua serta anggota Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hasil UU No 19 Tahun 2019 dan pelantikan Dewan Pengawas (Dewas) KPK akan dilaksanakan tanggal 20 Desember 2019. Saat ini, Presiden sedang menyusun dan memilih figure-figur yang tepat untuk ditugaskan sebagai Dewas KPK, tentunya keputusan atau kebijakan Presiden sudah mempertimbangkan berbagai macam hal mulai dari mendengar aspirasi masyarakat sampai mendapatkan masukan dari unsur pemerintah yang terkait.
 Masalah pemberantasan korupsi memang belum dapat dituntaskan tidak hanya di Indonesia saja, namun momok korupsi juga menjadi persoalan pelik disejumlah negara termasuk negara yang sudah mapan sistem dan matang demokrasinya, sehingga wajar jika kebencian masyarakat terhadap koruptor semakin meluas dan mendalam bahkan sangat menginginkan agar para koruptor tersebut “dihabisi” saja melalui suntik mati, setrum listrik atau ditembak mati di depan firing squad.

Meskipun mendapat kritikan dari berbagai kalangan, KPK dan lembaga pemerintah lainnya seperti Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan lainnya terus bekerja memberantas dan memerangi korupsi. PPATK bahkan menemukan sejumlah transaksi keuangan oleh sejumlah kepala daerah di luar negeri. Uang tersebut mencapai Rp50 miliar yang disimpan dalam bentuk valuta asing di rekening kasino.

"PPATK menelusuri transaksi keuangan beberapa kepala daerah yang diduga melakukan penempatan dana yang signifikan dalam bentuk valuta asing dengan nominal setara Rp50 miliar ke rekening kasino luar negeri. Ditemukan juga aktivitas penggunaan dana hasil tindak pidana untuk pembelian barang mewah dan emas batangan di luar negeri," ujar Kiagus dalam konferensi Refleksi Akhir Tahun 2019 di Kantor Pusat PPATK, Jumat (13/12/2019). Kepala PPATK membeberkan, pada periode Januari sampai November 2019, PPATK menyampaikan 537 hasil analisis dan 450 informasi. Hasil analisis didominasi oleh indikasi tindak pidana korupsi sebanyak 211, dilanjutkan 73 terindikasi perpajakan dan 46 terkait penipuan.

"Keseluruhan hasil analisis tersebut telah disampaikan kepada penyidik, baik kepada kepolisian, kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Siber dan Sandi Negara (BNN), Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Bea Cukai," ucapnya seraya menambahkan, hasil pemeriksaan PPATK mencapai 19. Rinciannya, 8 diserahkan ke KPK, 7 ke polisi, 2 ke Kejaksaan Agung dan 1 ke BNN serta 1 ke Direktorat Jenderal Bea Cukai. Saat ini, kata dia PPATK masih menelusuri aliran dana terkait indikasi korupsi dan TPPU dalam pengadaan Helikopter AW-101. "Dalam pengungkapan kasus ini, PPATK bekerja sama dengan FIU Amerika (FinCEN) dan FIU Italia (UIF)," katanya.
 
Sedangkan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus melakukan penyidikan kasus suap perdagangan minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina Energy Services (PES) Pte Ltd. Saat ini KPK tengah fokus mencari bukti lain di beberapa negara terkait skandal Pertamina Energy Trading Ltd (Petral) tersebut. KPK telah memeriksa Direktur PT Malika Energi Pemada atau Direktur Malika Gahara Ekadarma Gede Aditya Rismawan Putra. KPK telah menetapkan Bambang Irianto (Managing Director PES periode 2009-2013) sebagai tersangka.

Kritikan terhadap sikap Presiden dalam pemberantasan korupsi dan keberadaan Dewan Pengawas KPK disampaikan Zaenur Rohman yang juga Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi atau Pukat UGM Yogyakarta yang pesimistis Presiden Joko Widodo akan memilih orang-orang yang tepat untuk menjadi anggota Dewan Pengawas (Dewas) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan memprediksi Dewas bakal diisi orang dekat Jokowi. Pukat sejak awal menolak ide pembentukan Dewas, karena akan menghambat pemberantasan korupsi, karena Dewas diberikan wewenang menolak atau mengizinkan proses penegakan hukum (pro justitia) seperti penyadapan, penyitaan, dan penggeledahan wajib mendapatkan izin Dewas.

Sementara itu, kritikan juga disampaikan Kurnia Ramadhana yang juga peneliti ICW, bahwa Indonesia Corruption Watch (ICW) memiliki tiga alasan ICW menolak keberadaan Dewas, antara lain kewenangan Dewas sangat berlebihan. KPK baru meminta izin dewan pengawas untuk melakukan tindakan pro justitia. Fakta ini menunjukkan, pemerintah dan DPR tidak menginginkan Indonesia terbebas dari korupsi.

Sedangkan, Abdul Fickar Hadjar yang juga pakar Hukum Pidana UGM Yogyakarta menilai sikap Presiden Joko Widodo terkait hukuman mati untuk koruptor ambivalen, apalagi Jokowi memberikan grasi pada terpidana kasus korupsi sehingga apa yang dibicarakannya bertentangan dengan tindakannya, termasuk Jokowi setuju setuju Undang-Undang KPK direvisi dan KPK dilemahkan. Selain itu, hukuman mati yang diwacanakan Jokowi sudah diatur dalam UU Korupsi. Hukuman itu merupakan konsekuensi dari gambaran berat dan parahnya tindakan korupsi seseorang, artinya hukuman mati bisa diambil setelah dipenuhinya unsur kondisi tertentu, seperti residivis, bencana alam, atau keadaan perang.

Penulis menilai pendapat dari ICW dan Pukat UGM Yogyakarta termasuk NGO ataupun pihak lainnya yang “mencurigai” Dewan Pengawas KPK adalah sikap dan pendapat yang berlebihan, karena lembaga tersebut belum dilantik Presiden dan mereka belum melaksanakan tugasnya. Seharusnya, pendapat dan penilaian terkait kinerja KPK hasil UU No 19 Tahun 2019 dan Dewan Pengawasnya diberikan setelah mereka bekerja minimal dalam 100 hari pertamanya. Penulis juga menolak anggapan yang menyebut Dewas KPK akan menjadi alat pemerintah untuk mengendalikan KPK, karena Presiden Jokowi akan perfect dalam memilih formasi Dewas KPK yang tentunya akan diisi dengan orang-orang terbaik, kompeten dan berkualitas. Disamping itu, KPK dan Dewasnya juga akan dikontrol rakyat termasuk Presiden dan DPR RI juga dikontrol rakyat, sehingga tidak mungkin mereka bekerja sembarangan yang akan mencemarkan kredibilitas mereka dan meningkatkan kemarahan dan ketidakpercayaan masyarakat. (50/*).

*) Penulis adalah pemerhati masalah strategis Indonesia.

Pewarta: Oleh: Otjih Sewandarijatun *)

Editor : M. Tohamaksun


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2019