Perdebatan seputar partisipasi swasta dalam pengelolaan air dalam Rancangan Undang-Undang Sumber Daya Air (RUU SDA) masih alot. Belum ada kata sepakat antara pemerintah dan DPR terkait DIM Nomor 408 atau pasal 51 tentang sistem penyediaan air minum (SPAM).  Konon suara panitia kerja (Panja) RUU SDA terbelah antara pihak yang ingin SDA sepenuhnya dikuasai Negara dengan pihak yang berpendapat kerjasama dengan swasta dibolehkan.

Persoalan terkait definisi penguasaan negara dalam pengelolaan air ini terus menjadi debat kusir dalam pembahasan RUU SDA di Panja. Meskipun pernyataan yang dikeluarkan pemerintah dan DPR hampir seragam dengan menegaskan substansi RUU SDA harus mengacu pada pasal 33 UUD 1945 dan 6 prinsip dasar keputusan MK, namun dinamika yang terjadi menunjukkan perbedaan pendapat yang kuat dalam menafsirkan Pasal 33 UUD 1945 tersebut, khususnya dalam pengertian “hak penguasaan negara”.

Sebagian pihak meyakini bahwa kata penguasaan Negara dalam pengelolaan air harus didefinisikan sebagai bentuk kepemilikan mutlak oleh Negara. Dengan kata lain, swasta dilarang terlibat pengelolaan air tersebut. Sedangkan sejumlah pihak lain justru menegaskan bahwa penguasaan oleh Negara bukanlah dalam bentuk kepemilikan yang mutlak, melainkan dalam bentuk kontrol yang ketat untuk memastikan target pemenuhan air minum bagi seluruh rakyat Indonesia.

Perdebatan panjang tentang konsep “penguasaan negara” dalam RUU SDA dikhawatirkan akan menghambat penyelesaian RUU SDA  yang sejatinya sudah memasuki tahap akhir pembahasan.Padahal penyelesaian RUU SDA sudah sangat ditunggu untuk menjadi jawaban atas berbagai persoalan terkait pemenuhan hak atas air oleh masyarakat.

Karena itu, sejumlah pihak meminta agar perdebatan panjang segera disudahi dan fokus pada persoalan target akses 100 persen masyarakat atas air minum. Ini adalah masalah strategis, dimana Negara seharusnya memfasilitasi agar kebutuhan air untuk rakyat sebagai kebutuhan asasi dapat terpenuhi.

Masalahnya adalah, realitas di lapangan Negara ternyata belum mampu sepenuhnya memenuhi hak rakyat atas penyediaan air. Padahal sesuai Sustainable Development Goals (SDG), pada 2022 pemerintah harus dapat memenuhi 100 persen kebutuhan masyarakat atas air.

Kepala BPPSPAM Bambang Sudiatmo menyatakan, pemerintah saat ini baru mampu memenuhi kebutuhan akses air bersih secara nasional sebesar 70 persen, dari target pencapaian 100 persen. Kendala yang dihadapi, diantaranya kemampuan pemerintah yang terbatas dari sisi pembiayaan.  

“Sehingga kami selain melakukan pendampingan kepada PDAM, juga berharap adanya kerjasama dengan pihak swasta,” kata Bambang. Ia menjelaskan, jumlah PDAM yang ada mencapai 391 PDAM berdasarkan penilaian yang dilakukan tahun 2018. Dari jumlah itu, sebanyak 223 PDAM berkinerja sehat, 99 PDAM kurang sehat, 52 PDAM sakit, dan 17 PDAM yang belum dinilai kinerjanya karena berbagai persoalan.

Kementerian PUPR pernah melansir kebutuhan dana sebesar Rp 253,8 triliun untuk mewujudkan 100 persen akses air minum untuk rakyat. Dengan kendala keterbatasan pembiayaan pemerintah, PUPR pun mengembangkan SPAM dengan skema Kerja Sama Pemerintah Badan Usaha (KSPBU), seperti di Umbulan, Bandar Lampung dan Semarang Barat.

Skema KSPBU menjadi solusi terbaik untuk mengurangi beratnya beban yang harus ditanggung pemerintah dalam membangun industri SPAM. Sehingga, jika nantinya RUU SDA menyepakati konsep penguasaan Negara dalam pengelolaan air sebagai bentuk kepemilikan mutlak oleh Negara, dan swasta dilarang terlibat pengelolaan air tersebut, akan semakin berat beban pemerintah dalam memenuhi 100 persen kebutuhan masyarakat atas air.

Putusan MK No. 85/PUU-XI/2013 yang mengamanatkan kehadiran negara dalam pengelolaan sumber daya air sama sekali tidak melarang pihak swasta untuk mengusahakan air. Jadi dalam pengelolaan air semestinya RUU SDA membuka ruang bagi badan usaha swasta untuk tumbuh dan berkembang secara harmonis, dengan BUMN, BUMD dan BUMDes.

Pewarta: Pewarta Antara

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2019