Tujuan utama berkembangnya sistem pengawetan bahan pangan yaitu untuk dapat memperpanjang umur simpan produk sehingga mampu memperluas wilayah distribusi penjualan produk. Salah satu cara yang telah dilakukan sejak lama yaitu dengan cara pengalengan.

Dahulu di tahun 1800-an Nicolas Appert berhasil menemukan sistem pengalengan makanan yang digunakan untuk mensuplai makanan tentara Napoleon Bonaparte selama perang agar tahan berbulan-bulan dan tidak busuk.

Nicolas Appert menggunakan cara memasukkan makanan ke dalam wadah gelas yang ditutup rapat kemudian direbus di dalam air mendidih beberapa saat dan didinginkan. Saat itu Nicolas Appert belum bisa menjelaskan bagaimana mekanisme makanan-makanan tersebut dapat awet dengan pemanasan yang ia lakukan.

Teknologi pengalengan tidak hanya dengan cara memasukkan pangan ke dalam wadah kaleng saja, ada peranan proses lain yang menjadi kunci mengapa bahan pangan dapat awet berbulan-bulan dengan teknologi pengalengan.

Pada tahun 1895 seorang ilmuwan lain berhasil mengungkapkan bahwa peran proses termal dalam pengawetan makanan berhubungan erat dengan mikroorganisme. Louis Pasteur seorang ahli mikrobiologi menyimpulkan bahwa penyebab kebusukan pada makanan kaleng disebabkan oleh kurangnya pemanasan yang berfungsi untuk membunuh mikroba.

Sejak ditemukan teknologi pengawetan ini, Industri pengalengan berkembang sangat pesat. Bahan pangan yang sering menerapkan sistem pengalengan yaitu produk-produk yang mudah busuk (perishable food) contohnya daging, makanan laut, susu, buah dan sayur.

Dahulu pengalengan digunakan untuk mengawetkan suplai makanan tentara perang, namun kini pengalengan digunakan untuk meningkatkan nilai ekonomi produk bahan pangan. Pengalengan buah-buahan menjadi salah satu yang populer di dalamnya.

Rangkaian proses pengalengan buah menurut  Featherstone (2016), mula-mula buah disortasi ukuran dan kualtias buah, lalu dicuci untuk menghilangkan kotoran-kotoran yang ada pada permukaan buah, lalu buah dikupas dari kulitnya, kemudian buah dipotong-potong menjadi beberapa bagian agar dapat muat ke wadah, lalu proses blansing dimana buah direndam sebentar dalam air mendidih atau uap panas lalu didinginkan.

Tahap selanjutnya yaitu pengisian buah ke dalam kaleng (filling) yang kemudian ditambahkan larutan gula (sukrosa/glukosa) yang berfungsi untuk pemberi flavor dan membantu pengawetan melalui sifat osmotiknya, pengisian pada kaleng tidak dilakukan sampai penuh atau disisakan sedikit tempat kosong (headspace) ±10% dari volume wadah hal ini berfungsi untuk mengantisipasi berkembangnya isi kaleng selama proses termal.

Proses dilanjutkan ke tahapan pengalengan exhausting (penghampaan) dimana sebelum kaleng ditutup rapat, dilakukan pembuangan udara untuk mencegah oksidasi pada buah, lalu wadah ditutup rapat (sealing) agar tidak ada lagi O2 yang masuk ke kaleng, kemudian dilakukan proses sterilisasi yaitu pemanasan wadah dan isi kaleng pada suhu ±121ºC selama 20-40 menit (bergantung jenis makanan) guna membunuh mikroba-mikroba pembusuk, lalu proses pendinginan cepat dengan suhu ±25ºC yang berfungsi untuk mencegah overcooking dan membunuh mikroba dan spora yang belum mati selama proses sterilisasi, proses ini dinamakan shock thermal.

Tahap berikutnya yaitu persiapan untuk distribusi dimana kaleng-kaleng dikeringkan dan diberi label produksi barulah didistribusikan atau buah kaleng dapat disimpan pada suhu penyimpanan ±15ºC.

Pada serangkaian proses pengalengan, proses termal merupakan kunci keberhasilan teknologi pengalengan. Rangkaian utamanya berupa sterilisasi komersil dimana kaleng dipanaskan pada suhu dan waktu tertentu sehingga dapat membunuh mikroba pembusuk didalamnya.

Masalah mikroba tidak berhenti sampai disitu saja, makanan kaleng tidak lepas dari masalah resiko lainnya. Bakteri Clostridium botulinum diketahui merupakan bakteri thermophilik (bakteri tahan panas) yang tubuh secara anaerobik (dapat hidup tanpa oksigen) dan mampu membentuk toksin botulin terutama pada produk berasam rendah (low acid food).

Bakteri ini dapat tumbuh pada makanan-makanan kaleng yang proses pengalenganya tidak sempurna atau proses termal yang kurang optimal. Clostridium botulinum kerap dijadikan indikator keberhasilan proses termal pada makanan kaleng.

Menurut Kusnandar (2006) tahapan yang paling kritis pada proses pengalegan yaitu tahapan sterilisasi. Proses sterilisasi menggunakan ketel uap atau retort dengan suhu tinggi ±121ºC (250ºF).

Dalam merancang proses termal pada pengalengan menggunakan dua parameter kinetika inaktivasi mikroba yaitu nilai D yang merupakan waktu dalam menit pada suhu tertentu yang diperlukan untuk menurunkan jumlah spora atau sel vegetatif tertentu sebesar 90% atau satu logaritmik.

Nilai Z merupakan perubahan suhu yang diperlukan untuk merubah nilai D sebesar 90% atau satu siklus logaritmik. Ketahanan panas tiap mikroba memiliki nilai yang berbeda-beda, pada kasus Clostridium botulinum memiliki nilai D sebesar 0,25 menit dengan suhu 121,1ºC. Hal ini dapat diartikan bahwa diperlukan waktu 0,25 menit untuk menurunkan jumlah Clostridium botulinum sebesar 90%.

Dapat ditarik kesimpulan bahwa semakin besar nilai D maka semakin tinggi ketahanan panas mikroba pada suhu tertentu. Begitu pula dengan nilai Z yang berbeda-beda pada tiap mikroba, apabila diketahui Clostridium botulinum memiliki nilai Z sebesar 10ºC, hal ini dapat diartikan bahwa perlu adanya kenaikan suhu sebesar 10ºC untuk merubah nilai D mikroba dari 0.25 menit menjadi 0.025 menit dan suhu pemanasan dinaikan dari 121ºC menjadi 131ºC.

Berhasil tidaknya pengolahan panas dengan proses termal tergantung dari bagaimana kecukupan panas untuk inaktivasi mikroba penyebab kebusukan dan keracunan.

Perlu ditinjau dan dievaluasi ketahanan panas suatu mikroba sehingga dicapai kombinasi antara suhu dan waktu yang tepat untuk dapat terpenuhinya rangkaian proses termal (Holdsworth 1997).

Penting sekali untuk memperhatikan keamanan produk pangan yang akan dikonsumsi. Tidak semua proses pengawetan telah menjamin produk pangan telah terbebas dari mikroba.

Meminimalisir pencemaran mikroba semaksimal mungkin merupakan bentuk upaya menjaga keamanan produk pangan. Hingga saat ini pemanfaatan proses termal merupakan yang paling ampuh karena sifatnya yang mampu membunuh mikroorganisme.

Proses termal dapat digabungkan rangkaian proses lain agar hasil yang didapat lebih optimal. Semua kegiatan ini merupakan upaya penjaminan mutu pangan untuk para konsumen.

Oleh: Yunda Adhiba Paramitha, Mahasiswa Magister Ilmu Pangan, Institut Pertanian Bogor (IPB).

Pewarta: Yunda Adhiba Paramitha

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2019