Anggota Lembaga Hubungan dan Kerja sama Internasional (LHKI) PP Muhammadiyah Hery Sucipto meminta semua pihak menahan diri dan mengembalikan semua proses pemilu sesuai dengan tahapan dan mekanisme hukum yang berlaku.
"Hormati dan hargai hak rakyat yang berdaulat dan telah memberikan amanahnya melalui pemilu 17 April lalu," kata Hery di Depok, Minggu.
Selain itu Hery juga meminta jangan ada main hakim sendiri, jangan ada upaya membenturkan antarpendukung kedua pasangan calon, dan terlebih, kepentingan bangsa dan negara harus menjadi prioritas utama. Apapun hasil pemilu, dan siapapun pemenangnya, harus diterima semua pihak.
Hery menilai adanya klaim sepihak kemenangan oleh salah satu pasangan calon menunjukkan ketidakdewasaan berpolitik elit politik Indonesia. Deklarasi pemilu damai kedua paslon dan diikuti para pendukung masing-masing saat awal kampanye, tidak bermakna sama sekali.
"Provokasi ini harus diakhiri dengan kembali kepada mekanisme dan tahapan pemilu yang telah ditetapkan KPU dan disepakati semua partai politik peserta pemilu," kata Hery yang juga menjabat Direktur Pusat Kajian Keamanan dan Strategi Global, Universitas Muhammadiyah Jakarta.
Hery juga khawatir adanya upaya sistematis delegitimasi terhadap penyelenggara pemilu, yakni KPU, Bawaslu, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP).
Khusus untuk KPU sebagai penyelenggara teknis, upaya delegitimasi itu sangat nyata dengan adanya hoax di berbagai tempat yang dilakukan pasangan calon tertentu dan ternyata itu tidak terbukti. Contohnya hoaks Ratna Sarumpaet, tujuh kontainer surat suara tercoblos, server KPU, dan masih banyak lainnya.
"Saya melihat hoaks ini bagian dari skenario untuk mengacaukan pemilu dan targetnya menggagalkan hasil pemilu itu sendiri. Mengapa ini terjadi? Karena ketidaksiapan mental siap kalah dan siap menang," jelasnya.
Upaya delegitimasi ini sekaligus sebagai bukti menolak hasil pemilu sehingga mereka akan menuntut pemilu ulang.
"Ini bukti jika ada upaya serius dari pihak tertentu untuk pembenaran bahwa pemilu gagal dengan adanya berbagai kecurangan dan lain sebagainya," tuturnya.
Pemilu serentak pertama 2019 ini lanjutnya sebagai pemilu paling rumit dan melelahkan, bahkan memakan ratusan korban jiwa dan lebih seribu lainnya sakit. Ini saya kira pengalaman penting untuk penyelenggaraan pemilu berikutnya.
"Harus ada evaluasi menyeluruh agar lebih baik dan meminimalisir jatuhnya korban jiwa," demikian Hery.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2019
"Hormati dan hargai hak rakyat yang berdaulat dan telah memberikan amanahnya melalui pemilu 17 April lalu," kata Hery di Depok, Minggu.
Selain itu Hery juga meminta jangan ada main hakim sendiri, jangan ada upaya membenturkan antarpendukung kedua pasangan calon, dan terlebih, kepentingan bangsa dan negara harus menjadi prioritas utama. Apapun hasil pemilu, dan siapapun pemenangnya, harus diterima semua pihak.
Hery menilai adanya klaim sepihak kemenangan oleh salah satu pasangan calon menunjukkan ketidakdewasaan berpolitik elit politik Indonesia. Deklarasi pemilu damai kedua paslon dan diikuti para pendukung masing-masing saat awal kampanye, tidak bermakna sama sekali.
"Provokasi ini harus diakhiri dengan kembali kepada mekanisme dan tahapan pemilu yang telah ditetapkan KPU dan disepakati semua partai politik peserta pemilu," kata Hery yang juga menjabat Direktur Pusat Kajian Keamanan dan Strategi Global, Universitas Muhammadiyah Jakarta.
Hery juga khawatir adanya upaya sistematis delegitimasi terhadap penyelenggara pemilu, yakni KPU, Bawaslu, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP).
Khusus untuk KPU sebagai penyelenggara teknis, upaya delegitimasi itu sangat nyata dengan adanya hoax di berbagai tempat yang dilakukan pasangan calon tertentu dan ternyata itu tidak terbukti. Contohnya hoaks Ratna Sarumpaet, tujuh kontainer surat suara tercoblos, server KPU, dan masih banyak lainnya.
"Saya melihat hoaks ini bagian dari skenario untuk mengacaukan pemilu dan targetnya menggagalkan hasil pemilu itu sendiri. Mengapa ini terjadi? Karena ketidaksiapan mental siap kalah dan siap menang," jelasnya.
Upaya delegitimasi ini sekaligus sebagai bukti menolak hasil pemilu sehingga mereka akan menuntut pemilu ulang.
"Ini bukti jika ada upaya serius dari pihak tertentu untuk pembenaran bahwa pemilu gagal dengan adanya berbagai kecurangan dan lain sebagainya," tuturnya.
Pemilu serentak pertama 2019 ini lanjutnya sebagai pemilu paling rumit dan melelahkan, bahkan memakan ratusan korban jiwa dan lebih seribu lainnya sakit. Ini saya kira pengalaman penting untuk penyelenggaraan pemilu berikutnya.
"Harus ada evaluasi menyeluruh agar lebih baik dan meminimalisir jatuhnya korban jiwa," demikian Hery.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2019