Bogor (ANTARA News Megapolitan) - Dosen Institut Pertanian Bogor (IPB) Dra Ani Purjayanti, MA yang menjadi korban Tsunami Selat Sunda, sebelum meninggal sempat ditemukan masih bernyawa, namun kesulitan bernafas karena kehabisan oksigen, hingga meninggal di puskesmas.

"Menurut cerita dari suami almarhumah, saat ditemukan, ibu Ani masih hidup, kondisinya susah bernafas, sempat minta oksigen," kata Dekan Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB, Dr Nunung Nuryantoro di Bogor, Minggu malam.

Ani merupakan dosen di Departemen Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB, saat kejadian sedang berlibur bersama anggota keluarganya. Total ada tiga kepala keluarga, Ani bersama suami dan dua putranya, keluarga adiknya dan keponakannya.

Mereka menginap di `cottage` Mutiara Carita, Banten. Posisi hotel memang berada di dekat pinggiran pantai.

Nunung menceritakan, saat tiba di rumah duka sementara di Pandeglang, Banten, Minggu siang pukul 14.00 WIB. Jenazah almarhum sudah dalam kondisi rapi siap untuk diberangkatkan menuju Ambarawa.

Selama berada di rumah duka, Nunung mencari informasi kronologi kejadian tsunami yang merenggut nyawa dosen Bahasa Inggris IPB tersebut.

"Saya dapat cerita dari suaminya, saat kejadian anggota keluarga berpencar di ruang terpisah, suaminya sedang mengaji, ibu Ani ada di kamar istirahat," ujarnya.

Dari penuturan suami almarhum yang disampaikan Nunung, setelah terjangan tsunami, suaminya mendengar suara orang batuk dari dalam kamar yang diketahui adalah almarhum Ani.

Ani ditemukan pertama kali oleh suaminya, masih dalam keadaan bernyawa, tetapi kritis dan sulit bernafas, diduga karena terendam air dan material yang dibawa tsunami.

"Ibu Ani sempat minta oksigen, dan suaminya mencoba menolong dengan seadanya," kata Nunung.

Saat itu juga, almarhum Ani dibawa ke Puskesmas terdekat, tetapi karena peralatan yang tidak memadai, almarhum meninggal dunia di tempat tersebut.

Sementara itu, kedua putra almarhum juga berhasil selamat mengalami luka jahitan di kepala, termasuk suami almarhum.

Menurut cerita putra sulung almarhum, sebelum kejadian sempat melihat semburan merah dari arah gunung, dan sudah terasa ada getaran-getaran kecil.

"Tapi karena tidak ada firasat, dan tidak ada peringatan dini tsunami, mereka tetap di cottage dan tiba-tiba air langsung menerjang," kata Nunung.

Setelah menngunjungi keluarga, Nunung mendapati pihak keluarga sudah iklas dan tabah dengan musibah yang dihadapi. Bahkan suami almarhum tabah, walau dengan kondisi masih luka akibat tsunami.

Sementara itu, beberapa keluarga lainnya masih shock, termasuk putra sulung almarhum yang masih berat atas kehilangan ibunya. Rencananya senin nanti putranya akan mengikuti Ujian Akhir Semester (UAS).

"Perlu trauma healing secepatnya untuk para korban, karena peristiwa itu korban masih mengalami shock," kata Nunung.

Ia juga mendapatkan cerita dari keponakan almarhum yang sempat menyelamatkan diri memanjat pohon juga menceritakan pengalamanya berupaya menyelamatkan diri semampunya.

"Sampai saat ini suami dari adik almarhum buk Ani masih belum ditemukan, pihak keluarga masih menunggu kabar," tambahnya.

Sementara itu, jenazah almarhum Ani telah dibawa ke Ambarawa, Jawa Tengah untuk dimakamkan atas permintaan orang tuanya agar anaknya dimakamkan di kampung halamannya.

Editor berita: H. Agusta

Pewarta: Laily Rahmawaty

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2018