Depok (ANTARA News Megapolitan) - Pendidikan politik yang berkelanjutan diperlukan untuk mencegah politik transaksional dalam rangka menyiapkan rakyat yang cerdas dan pemimpin berkualitas serta berdedikasi tinggi kepada nusa dan bangsa, kata politisi Partai Keadilan Sejahtera, Farouk Abdullah Alwyni.

"Perlu adanya pendidikan politik dari partai-partai kepada masyarakat, supaya masyarakat peduli dengan pemilu untuk legislatif maupun eksekutif yang berkualitas," kata Farouk dalam keterangan tertulis yang diterima Antara, Minggu.

Ia mengatakan masyarakat jangan dimanjakan dengan politik transaksional, tapi lebih baik dengan pendidikan politik terkait apa yang akan diperjuangkan oleh partai-partai peserta Pemilu.

Dosen MM FEB Universitas Indonesia ini mengatakan momentum pesta demokrasi selalu menjadi ajang rekonstruksi tatanan birokrasi untuk satu periode selanjutnya. Tahun depan, rakyat Indonesia akan menghadapi pemilu legislatif dan pemilu presiden secara serempak untuk pertama kalinya.

"Rakyat sebagai pelaku utama dan penentu siapa yang berhak menempati kursi kepemimpinan, mendapat tanggung jawab yang sangat besar dalam rangka pembangunan selanjutnya," tutur Alumnus New York University & the University of Birmingham ini.

Pemilu bukan sekadar ajang politik transaksional yang justru mengoyak hakikat demokrasi itu sendiri. Untuk itu ia mengajak semua pihak, terutama partai-partai politik peserta Pemilu 2019 untuk menjalankan agenda pendidikan dan menumbuhkan budaya politik yang baik kepada rakyat.

Farouk mengalami sendiri ketika itu ada seseorang yang mendekatinya dan menyatakan bersedia menjadi tim sukses dengan menjanjikan perolehan suara dari calon pemilih di daerah pemilihannya.

Mereka meminta biaya sekitar Rp4 miliar sebagai tiket untuk lolos ke Senayan. "Tentu saya menolaknya, karena terkesan seperti jual beli suara, semacam politik transaksional antara caleg dengan operator dari para pemilih," jelas caleg DPR RI dari PKS untuk Dapil DKI II (Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, dan Luar Negeri).

Menurut dia, biaya yang harus dikeluarkan tersebut tidak sebanding dengan gaji anggota dewan. Maka dari itu, tidak terelakkan jika caleg yang terpilih melakukan politik transaksional tersebut.

Ketika duduk sebagai wakil rakyat yang pertama terbesit di benaknya adalah bagaimana bisa mengembalikan modal ketika kampanye. Boleh jadi mungkin lebih dari sekedar balik modal, tetapi meraup keuntungan pribadi semaksimum mungkin.

"Inilah politik transaksional yang berujung kepada buruknya produk demokrasi kita," sebut Farouk.

ini menilai, demokrasi Indonesia pasca-reformasi belum melahirkan demokrasi yang substantif, yakni demokrasi yang berdampak terhadap terciptanya layanan publik dengan baik.

Di negara maju, kelancaran proses demokrasi bisa terlihat dari efeknya terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat.

"Demokrasi perlu dibedakan dengan pemilu. Demokrasi yang substantif bukan aksesoris, harus diterjemahkan pada pelayanan publik yang baik, berfungsinya sistem penegakan hukum dan keadilan.

Ini yang perlu dikritisi dalam perjalanan demokrasi kita saat ini. Akhirnya, harus berujung pada perbaikan layanan publik, terciptanya demokrasi ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat.

Pewarta: Feru Lantara

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2018