Bogor, 23/3 (Antara) -  Hari Hutan Sedunia diperingati para pemangku kepentingan setiap tanggal 21 Maret dan selayaknya peringatan itu dapat dijadikan sebagai momentum penting untuk melakukan "national-forestry-reengineering" atau Restrukturisasi Kehutanan Nasional.

 Hal ini dianggap perlu untuk dilakukan bukan hanya sebagai wujud dari semakin pentingnya isu kehutanan dan lingkungan secara global, melainkan juga sangat berguna untuk memberdayakan serta menjaga eksistensi hutan dan kehutanan nasional itu sendiri.

Proses Restrukturisasi Kehutanan Nasional perlu dilakukan adalah bukan hanya untuk mengkoreksi berbagai pemikiran tentang pengelolaan dan pemanfaatan hutan selama ini, melainkan juga adalah untuk menentukan arah serta acuan pembangunan kehutanan nasional jangka panjang.

Jika pada masa Orde Baru umumnya kelemahan Pembangunan Kehutanan Indonesia yang perlu untuk diperbaiki adalah berkaitan dengan aspek kontrol dan penegakan hukum, maka pada masa pascareformasi ternyata sangat banyak hal krusial dan mendasar yang perlu dikoreksi.

Koreksi itu mulai dari filosofi dasar hutan dan kehutanan hingga berbagai aspek hukum dan perundang-undangan serta aspek tata kelola hutan dan kehutanan.

Banyak pihak yang tidak jeli dan tidak kritis dalam mengamati dinamika kehutanan di Indonesia dalam 5-10 tahun terakhir.

Sebagai contoh, rencana perubahan UU Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistem menjadi UU Keanekaragaman Hayati (Kehati), yang sedang berjalan, adalah bukan hanya merupakan salah satu indikator penting tentang adanya usaha-usaha terstruktur dan masif untuk menggeser filosofi hutan dan kehutanan secara mendasar melainkan juga menggeser filosofi berbangsa dan bernegara.

    
                           Dokumen restrukturisasi
   
Kementerian Kehutanan perlu untuk didukung sepenuhnya guna segera mampu menghasilkan "Dokumen Restrukturisasi Kehutanan Nasional" dalam 3-5 tahun mendatang.

Untuk itu, berbagai langkah penting yang diperlukan untuk merestrukturisasi hutan dan kehutanan nasional haruslah dimulai dengan Pemberdayaan Kementrian Kehutanan.

Jika bangsa dan negara ini memang telah menyadari tentang pentingnya fungsi hutan bagi kehidupan masa kini dan masa mendatang, maka Kementerian Kehutanan harus segera diberdayakan secara utuh.

Semua pihak harus berhenti menjadikan Kementerian Kehutanan sebagai "kambing hitam" dari berbagai masalah lingkungan yang ada seperti selama ini.

Selain itu, visi pembangunan hutan dan kehutanan Indonesia
pun harus dilambungkan hinga 100 - 150 tahun mendatang, bukan hanya merentang dalam jangka belasan tahun seperti saat ini.  

Berbagai masalah hutan dan kehutanan di masa kini dan masa mendatang tidak boleh lagi hanya diselesaikan dengan pola "political-game-theory" serta "black campaign" seperti yang telah merajalela selama 10-15 tahun belakangan ini.

Melainkan perlu dipikirkan secara komprehensif dan matang melalui penerapan berbagai pengetahuan dan keilmuan serta teknologi yang dimiliki dan terus dikembangkan oleh dunia perguruan tinggi.

Untuk itu, di satu sisi Kementerian Kehutanan perlu untuk meningkatkan kolaborasi para akademisi di perguruan tinggi.

Sedangkan di sisi lain para akademisi pun juga perlu untuk lebih berani dan proaktif mengartikulasikan pemikiran, pengetahuan serta ilmu dan teknologi yang mereka kuasai dan kembangkan.

    
                                            Posisi NGO

Sementara itu, sepak terjang berbagai non-governmental organization (NGO) di sektor Kehutanan dan Lingkungan yang
selama hampir empat puluh tahun belakangan ini hanya cenderung bermain dengan pola "pressure group" dan "black campaign" adalah sangat perlu untuk segera diatur, ditata ulang dan diawasi secara ketat.

Secara objektif eksistensi dan peranan NGO Kehutanan dan Lingkungan harus dikatakan adalah tetap diperlukan, namun mereka harus mau dan mampu mengintrospeksi sepak terjang mereka sendiri selama ini serta mau merestrukturisasi motivasi dan orientasi mereka.

Asas nasionalisme mereka pun perlu diuji, diatur dan diawasi secara ketat.

Diskusi-diskusi kehutanan yang bersifat "dass sein" serta "dass sollen" yang dilontarkan NGO juga perlu dipastikan untuk tetap terletak dalam kerangka kepetingan berbangsa dan bernegara, yang harus teruji dan terukur dalam rentang dinamika resiprokal pada kurun waktu 100-150 tahun mendatang.

Tanpa itu, maka berbagai diskursus yang dilontarkan NGO hanya akan menjadi duri dalam daging bagi bangsa dan negara. 
 
 

Pewarta:

Editor :


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2013