Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka menilai usulan salah satu anggota DPR terkait adanya gerbong khusus perokok untuk perjalanan kereta jarak jauh tidak sinkron dengan program prioritas Presiden Prabowo Subianto, khususnya bidang kesehatan.

Sebagai pembantu Presiden, Gibran ingin memastikan program-program prioritas, visi-misi Presiden Prabowo berjalan dengan baik.

“Ini kan program di sektor kesehatan sudah jelas program-programnya. Ada Cek Kesehatan Gratis, ada pemberantasan stunting, di Kemenkes juga ada pembangunan rumah sakit-rumah sakit baru,” kata Wapres Gibran usai meninjau revitalisasi stasiun di Stasiun Solo Balapan, Solo, Jawa Tengah, Minggu.

Gibran menjelaskan bahwa usulan penambahan gerbong khusus perokok tidak selaras dengan program prioritas Presiden, Cek Kesehatan Gratis, pemberantasan kasus stunting pada balita, hingga revitalisasi dan pembangunan rumah sakit di daerah.

Selain itu, berbagai payung hukum dan regulasi, baik undang-undang, peraturan pemerintah hingga surat edaran telah mengatur bahwa transportasi umum merupakan kawasan bebas rokok.

Peraturan yang dimaksud yaitu Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan; Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, serta Surat Edaran (SE) Nomor 29 Tahun 2014 tentang Larangan Merokok di Dalam Sarana Angkutan Umum.

Begitu juga dengan sejumlah kota yang telah membuat kebijakan pembatasan iklan atau segala bentuk promosi rokok.

“Sekali lagi, untuk bapak, ibu anggota DPR yang terhormat, saya mohon maaf, ini masukannya kurang sinkron dengan program dari Bapak Presiden,” kata Gibran.

Namun demikian, Wapres menekankan seluruh aspirasi untuk peningkatan pelayanan KAI akan ditampung.

Dalam kesempatan sebelumnya, Anggota DPR RI Nasim Khan mengusulkan agar PT Kereta Api Indonesia (KAI) menyediakan gerbong khusus untuk perokok di kereta api jarak jauh.

Usulan ini disampaikan dalam rapat dengar pendapat dengan Direktur Utama KAI Bobby Rasyidin pada Rabu (20/8).

Menanggapi hal itu, PT Kereta Api Indonesia (Persero) menegaskan seluruh layanan kereta api yang dioperasikan tetap bebas asap rokok, sebagai bagian dari upaya perusahaan untuk menjaga kenyamanan dan keselamatan seluruh pelanggan.

Tersulut api

Usulan anggota Komisi VI DPR RI Nasim Khan agar PT KAI menyediakan gerbang untuk kafe dan merokok guna meningkatkan kenyamanan bagi penumpang serta menambah pemasukan PT KAI, ibarat bahan bakar yang tersulut api.

Bukan dalam bentuk amarah, melainkan reaksi penolakan yang datang dari berbagai pihak termasuk pakar kesehatan dan lembaga swadaya masyarakat.

Indonesian Youth Council for Tactical Changes (IYCTC) misalnya, yang secara tegas menilai usulan tersebut sembrono. Ketua IYCTC, Manik Marganamahendra bahkan berpendapat usulan gerbong khusus merokok di kereta adalah kemunduran kebijakan.

Sejak tahun 2012, PT KAI sudah menetapkan seluruh rangkaian kereta sebagai Kawasan Tanpa Rokok (KTR), dengan sanksi tegas berupa penurunan penumpang bagi yang melanggar. Aturan ini sejalan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 dan Undang-Undang Kesehatan Nomor 17 tahun 2023, yang menyebut transportasi umum sebagai KTR.

Kementerian Perhubungan menyatakan kebijakan KTR di kereta api menjadi bagian penting dalam menjaga udara bersih serta memberikan perlindungan kesehatan bagi masyarakat pengguna jasa transportasi.

Penerapan aturan ini merupakan bentuk konsistensi pemerintah dalam menegakkan regulasi yang berlaku sekaligus menjaga kualitas pelayanan transportasi umum sesuai dengan standar kesehatan yang ditetapkan.

Hal tersebut juga ditegaskan PT Kereta Api Indonesia (Persero) Daerah Operasi 1 Jakarta bahwa seluruh perjalanan kereta api baik kereta api jarak jauh (KAJJ), kereta lokal, maupun kereta komuter merupakan zona bebas asap rokok.

Larangan merokok juga berlaku di seluruh stasiun pemberangkatan maupun stasiun antara. Penumpang hanya diperbolehkan merokok di area khusus merokok yang telah disiapkan dan ditandai dengan jelas.

Karenanya, menghadirkan gerbong khusus merokok dianggap sebagai langkah mundur, ketika reformasi KAI dijalankan dengan visi modernisasi, keselamatan, dan kenyamanan publik.

Manik kemudian mengingatkan semua orang pada kejadian tewasnya 123 orang penumpang Pesawat Varig 820 tujuan Paris pada tahun 1973 yang dipicu puntung rokok.

Tragedi bermula saat api tiba-tiba muncul dari dalam toilet pesawat yang sedang mengudara. Api tersebut memicu asap yang menyebabkan penumpang kesulitan bernapas. Pilot kemudian melakukan pendaratan darurat. Namun, walau bisa mendarat selamat tapi 123 penumpang tewas karena sesak napas.

Berkaca pada kondisi tersebut, maka membiarkan rokok di ruang transportasi umum merupakan bom waktu. Dari sisi keselamatan, asap bisa memicu kebakaran atau gangguan sistem ventilasi kereta.

Di sisi lain, penyediaan gerbong atau ruang khusus merokok dalam kereta api dinilai menambah biaya bagi KAI. Ini termasuk untuk membersihkan residu asap dan puntung rokok, kemudian sterilisasi rutin kursi, dinding, lantai, seperti disampaikan Advocacy Officer IYCTC, Daniel Beltsazar Jacob.

Biaya perawatan dapat melonjak, umur peralatan jadi lebih pendek, dan KAI harus mengeluarkan anggaran tambahan. Pada akhirnya, bisa jadi beban ini diberikan kepada penumpang melalui kenaikan tarif, atau ke negara lewat subsidi.

Sementara dari sisi kerugian ekonomi, studi peneliti Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Univesitas Indonesia, Soewarta Kosen, pada tahun 2015 menunjukkan kerugian ekonomi akibat rokok diperkirakan mencapai hampir Rp600 triliun, atau lebih dari empat kali lipat nilai cukai rokok yang diterima negara pada tahun yang sama.

Dengan begitu, menambah gerbong khusus untuk merokok di kereta hanya akan menambah beban negara, bukan memberikan keuntungan.

Sementara itu, dari sisi kesehatan ancaman thirdhand smoke tetap berbahaya, bahkan setelah penumpang turun. Third hand smoke merupakan istilah untuk menyebutkan residu nikotin dan bahan kimia berbahaya lainnya yang ditinggalkan asap rokok.

Merujuk pakar kesehatan, asap rokok bahkan bisa bertahan selama berbulan-bulan di sofa, kemudian bertahan 19 bulan di pakaian.

Selain itu, yang paling penting, ini mencederai hak anak, lansia, dan penumpang rentan atas transportasi yang aman dan nyaman. Sebab, merokok di ruang publik melanggar hak dasar atas udara bersih.

Oleh sebab itu, alih-alih memberi ruang untuk merokok, pemerintah harus memperkuat layanan berhenti merokok dan melindungi transportasi publik sebagai kawasan tanpa rokok.

Mempertimbangkan berbagai dampak buruknya, dukungan agar KAI tetap menerapkan kebijakan layanan kereta api bebas asap rokok pun disuarakan. Ketua Majelis Kehormatan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Prof Tjandra Yoga Aditama berpendapat aturan layanan kereta api bebas asap rokok dapat membuat perokok menahan keinginan merokoknya dan berpotensi menjadi pemicu untuk berhenti sepenuhnya.

Selain itu, aturan tersebut menjadi upaya mewujudkan perjalanan kereta api yang sehat dan ramah bagi semua kalangan, termasuk anak-anak, ibu hamil, dan lansia.

Tidak ada jaminan asap rokok tak akan mengganggu penumpang lainnya. Ventilasi tidak dapat menjamin, belum lagi dampak pada orang yang melintas atau petugas yang lewat di gerbong itu, petugas yang membersihkan, dan lainnya.

Tjandra yang pernah menjabat sebagai Direktur Penyakit Menular WHO Kantor Regional Asia Tenggara 2018-2020 itu berpendapat, penentu kebijakan publik punya kewajiban untuk menjaga dan meningkatkan kesehatan seluruh anak bangsa.

Karenanya, budaya tidak atau jangan merokok harus terus diperluas. Kebijakan untuk itu harus terus ditingkatkan, termasuk dengan mempertahankan kereta api yang bebas asap rokok.

Semoga komitmen mewujudkan transportasi umum, khususnya kereta api, bebas dari asap rokok tetap bertahan, siapapun pemimpin negara ini kelak.
 

Pewarta: Mentari Dwi Gayati/Lia Wanadriani

Editor :


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2025