Bogor (Antaranews Megapolitan) - Tiap kali harga minyak bumi melambung, impor migas menjadi penyebab utama defisit neraca perdagangan. Demikian ucap Ketua IKABI (Ikatan Ahli Bioenergi Indonesia), Dr.Tatang Hernas Soerawidjaja dalam Workshop IKABI 2018 di Hotel Salak Tower, Bogor, Kamis (2/8).

Lebih lanjut disampaikannya, minyak nabati seperti minyak sawit, inti sawit dan kelapa relatif sangat mudah diproses menjadi Bahan Bakar Nabati (BBN)  atau  hidrokarbon terbarukan (biohidrokarbon) seperti green diesel, bioavtur dan bensin nabati. "Indonesia adalah produsen terbesar minyak sawit dunia. Ini adalah potensi yang sangat besar, " jelasnya.

Hal serupa juga disampaikan Kepala Pusat Penelitian Surfaktan dan Bioenergi, Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Institut Pertanian Bogor  (SBRC LPPM IPB) yang juga Wakil Ketua IKABI, Prof. Dr. Erliza Hambali.  

"Agar tidak selalu terhimpit kesulitan tiap kali harga minyak bumi melambung, pemerintah dan bangsa Indonesia perlu konsisten mengembangkan industri BBN biohidrokarbon nasional. Disamping industri biodiesel yang kini sudah ada. Seharusnya pemerintah terus mengembangkan dan memberikan dukungan penuh  riset di bidang energi dan biomaterial untuk meningkatkan produksi bioenergi, biobattery, dan bio/super kapasitor serta teknologi penyimpan bioenergi, " jelasnya.

Menurutnya, pengembangannya harus terus dilakukan walaupun harga minyak bumi sedang rendah. Tidak seperti sekarang, ketika harga minyak bumi rendah, hampir semua stakeholder diam. Ketika harga minyak bumi merayap naik baru sibuk riset.

Lebih lanjut disampaikan Prof. Erliza, impor crude oil dan produknya sekitar 780 ribu barel per hari. "Dengan harga crude oil sekarang sekitar USD 70 per barel, maka devisa Indonesia terkuras sekitar USD 55 juta per hari atau setara dengan Rp 792 milyar per  hari atau sekitar Rp 289 trilyun per tahun hanya untuk impor Bahan Bakar Minyak (BBM)."

Sebagai organisasi nonpemerintah yang mewadahi para ahli bioenergi berbagai institusi baik akademisi, bisnis, pemerintah maupun perorangan, IKABI secara rutin memfasilitasi pertemuan dalam sebuah workshop tahunan untuk mendiskusikan status perkembangan kondisi energi nasional dan mendiskusikan solusi pemecahan masalah untuk dapat memberikan masukan dan rekomendasi kepada pemerintah tentang arah kebijakan dan riset serta pengembangan teknologi bioenergi ke depan. (dh/ris)

[9:28 PM, 8/2/2018] Siti Nuryati: Darurat Kebakaran Hutan, IPB Ajak Diskusi Ahli Lingkungan Asal Inggris

Tiga unit kerja di Institut Pertanian Bogor (IPB) yaitu Direktorat Program Internasional, IPB Center for Transdisciplinary Science and Sustainability Sciences (IPB CTSS) dan Program Studi Multidisiplin Sekolah Pascasarjana menggelar The 12th IPB Talks on Complexity and Sustainability Sciences dengan tema “Sustainability Action Research”. Kegiatan yang digelar di Tanoto Forestry Center, Kampus IPB Dramaga Bogor,  Kamis (2/8),

ini dihadiri  sekiranya 42 mahasiswa yang berasal dari berbagai program studi di IPB dan ada pula yang berasal dari Fakulti Alam Sekitar Universiti Putra Malaysia.  Membahas tuntas permasalahan lingkungan dari berbagai sudut pandang, seminar ini menghadirkan Dr. Jacob Phelps dari Pusat Lingkungan, Lancaster University, United Kingdom dan Prof. Bambang Hero Saharjo dari Laboratorium Kebakaran Hutan dan Lahan, Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan  IPB.

Dalam pemaparannya, Dr. Jacob menjelaskan betapa pentingnya kesadaran dari para ahli lingkungan tentang makna mempelajari lingkungan itu sendiri.

“Mempelajari lingkungan bermakna bahwa kita harus mampu ikut menjaga lingkungan itu sendiri," ujarnya.  

Banyak peristiwa kegiatan ekonomi yang berdampak dalam skala besar terhadap lingkungan seperti kasus bocornya tanker minyak di Alaska, pengeboran sumur di Mexico,  pembakaran lahan di Aceh, dan lain-lain.

Kerusakan semakin diperparah dengan terjadinya degradasi pada lahan-lahan yang seharusnya menjadi penyokong konservasi lingkungan.

“Kita hidup di lingkungan yang berbahaya. Kita harus dapat mengklasifikasikan bahaya-bahaya yang ada, sehingga ketika bahaya lingkungan itu terjadi, kerugian dapat diminimalisir," katanya.

Ia juga menambahkan, hukuman yang diberikan kepada para penjahat lingkungan saat ini kurang memberikan efek jera. Denda dan hukuman pidana yang dijatuhkan tidak dapat memberikan kontribusi perbaikan dan pencegahan signifikan bagi lingkungan.

"Peraturan harus dibuat lebih mendasar dan melibatkan kearifan lokal," sebutnya.

Prof. Bambang memulai materinya dengan memberikan gambaran visual berupa video tentang betapa mirisnya kondisi kebakaran hutan di wilayah Indonesia khususnya Sumatera Selatan dan Kalimantan Tengah.  

"Hal yang harus kita pikirkan bersama dari bencana kebakaran hutan ini ialah emisi dari pembakaran, zat apa yang terkandung di dalamnya serta dampak dan kerugian apa saja yang dihasilkan.Efek dari pembakaran ini sangat besar. Tidak hanya mengancam kesehatan jutaan nyawa di Indonesia, tapi dampak buruk yang dihasilkan juga merambah ke negara-negara lainnya seperti Malaysia, Singapura bahkan asap yang dihasilkan mencapai Amerika Serikat," jelasnya.

Terhitung sejak empat tahun berlalunya kebakaran hebat yang terjadi di beberapa titik di Pulau Sumatera dan Kalimantan, hingga saat ini titik-titik api yang ada, belum dapat dipadamkan. Hal ini tentu dapat memicu kebakaran lainnya, jika kondisi kemarau datang.

“Banyak perusahaan yang membohongi kami selaku peneliti. Mereka bilangnya tidak membakar lahan, tapi menanam sawitnya dengan pupuk. Namun setelah kami uji laboratorium ternyata tidak ada satupun kandungan pupuk di tanah. Jadi mereka hanya mengandalkan abu-abu hasil bakaran hutan untuk menumbuhkan tanaman mereka. Instansi-instansi pemerintah pun responnya mengecewakan karena terkesan lepas tangan dengan kejadian yang terjadi,"  ujar Ahli Kebakaran Hutan IPB ini.

Direktur Program Internasional IPB, Prof. Iskandar Zulkarnaen Siregar berpendapat bahwa program IPB Talks ini sangat bagus sebagai sarana berbagi pengetahuan antar akademisi.

“Diskusi yang dihidangkan tidak lagi monodisiplin, namun transdisiplin. Misalnya, kita tidak hanya membahas ekologi namun juga membahas permasalahan secara menyeluruh bahkan menyangkut ekonomi," sebutnya.

Menurut Prof. Iskandar, hal ini sejalan dengan tujuan IPB dalam membangun forum multidisiplin keilmuan. Yakni agar orang-orang dari berbagai bidang dapat bahu-membahu menyelesaikan permasalahan bersama. (FI/ris)

Pewarta: Oleh: Humas IPB

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2018