TVRI bagi banyak orang adalah ingatan tentang masa lalu, layar yang menemani keluarga Indonesia tumbuh dan berkembang. Namun, lebih dari sekadar stasiun televisi, TVRI adalah penjaga dan pembentuk peradaban.
Di tengah gempuran disrupsi digital, tantangannya bukan lagi sekadar menyajikan program, melainkan bagaimana tetap relevan dan progresif dalam membentuk karakter bangsa yang semakin modern.
Jika hanya bermain di ranah konvensional, TVRI akan sulit bersaing. Diperlukan sebuah pendekatan strategis yang inovatif dan transformatif.
Selama enam tahun berturut-turut, LPP TVRI berhasil meraih opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) pada Laporan Keuangan (2018-2023). Ini menunjukkan fondasi tata kelola yang kuat.
Dengan 63 persen alokasi anggaran 2025 untuk "PROGRAM PENYIARAN PUBLIK" dan jaringan stasiun yang luas hingga ke daerah, TVRI sejatinya memiliki modal besar untuk menjalankan misinya.
Program, seperti "Sosialisasi MBG," "Peningkatan UMKM," hingga "Live Kenegaraan" yang tertuang dalam anggaran, jelas menunjukkan komitmen pada misi kebangsaan. Namun, modal ini perlu lompatan imajinasi.
Selama ini, TVRI diakui sebagai salah satu media yang paling dipercaya masyarakat Indonesia dalam pencegahan berita bohong. Ini adalah kekuatan yang tidak ternilai di tengah banjir informasi.
Namun, TVRI harus bertransformasi lebih jauh, menjadi "kurator peradaban digital". Bayangkan sebuah platform yang tidak hanya menayangkan konten, tetapi juga memverifikasi dan mengurasi informasi yang beredar di ranah digital secara aktif.
Program, seperti "TVRI Verifikasi", bisa menjadi garda terdepan. Bukan sekadar cek fakta, melainkan sebuah analisis mendalam yang memberikan konteks sejarah, budaya, atau ilmiah dari setiap informasi yang sedang viral.
Acara ini melatih masyarakat menjadi kritis, membedakan mana kebenaran dan mana ilusi digital. Kita tidak hanya disuguhi informasi, tetapi diajak memahami fondasinya, membangun peradaban yang berakal sehat.
Lebih jauh, TVRI bisa menjadi "kapsul waktu digital" atau "museum digital budaya Indonesia". Melalui teknologi augmented reality (AR) atau virtual reality (VR), TVRI dapat menciptakan pengalaman imersif yang mengajak penonton menjelajahi kekayaan budaya Nusantara.
TVRI Bali, misalnya, sudah berinovasi menjembatani tradisi dan teknologi. Mengembangkan ini secara nasional, memungkinkan penonton "masuk" ke Candi Borobudur, "menari" bersama penari tradisional, atau "mencicipi" kuliner khas daerah, semuanya dari genggaman gawai.
Ini bukan lagi sekadar program dokumenter, melainkan pengalaman peradaban yang hidup bagi generasi yang lahir dan tumbuh dengan teknologi.
TVRI memiliki jaringan yang luas hingga ke pelosok negeri, dengan alokasi anggaran signifikan untuk stasiun penyiaran daerah. Ini adalah kekuatan yang belum sepenuhnya tergarap.
Alih-alih hanya menjadi "penyiar," TVRI harus menjadi "inovator komunitas", memberdayakan penonton untuk menjadi pencipta konten.
Konsep "InkubaTVRI" bisa menjadi jawabannya. Sebuah inkubator atau bootcamp yang melatih para content creator lokal, terutama dari daerah, untuk mengembangkan ide program yang relevan dengan kearifan lokal, pendidikan, atau isu sosial.
Dirut TVRI Iman Brotoseno telah mengajak content creator lokal berkolaborasi, dan TVRI Sumatera Barat telah membuka "creative hub" sebagai ruang berbagi ide.
*) Rioberto Sidauruk adalah pemerhati industri digital yang saat ini bertugas sebagai Tenaga Ahli Komisi VII DPR RI
Editor :
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2025