Bogor (Antaranews Megapolitan) - Pencemaran di danau Toba, Sumatera Utara disebabkan oleh berbagai aktivitas manusia. Pencemaran tersebut berasal dari berbagai aktivitas diantaranya aktivitas limbah domestik, illegal loging, peternakan, pertanian, perikanan dan pariwisata. Berbagai jenis limbah tersebut masuk ke danau Toba melalui 200 aliran anak sungai. Oleh karena itu, pengendalian pencemaran seharusnya menjadi tanggung jawab seluruh sektor dan lapisan masyarakat.
Hal ini terungkap dalam diskusi terbatas “Resolusi Konflik Pengelolaan danau Toba” di Ruang Rapat Majelis Wali Amanat Kampus IPB Baranangsiang (24/4). Diskusi ini digelar oleh Pusat Kajian Resolusi Konflik (CARE), Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Institut Pertanian Bogor (IPB).
“CARE LPPM IPB memiliki kewajiban untuk dapat berperan aktif dalam merumuskan resolusi konflik. Salah satunya adalah danau Toba yang saat ini diduga terdapat berbagai konflik dalam pemanfaatan danau Toba antar berbagai sektor dan lapisan masyarakat,” ujar Prof. Rizal Syarief, Ketua Dewan Penasehat CARE IPB.
Ada beberapa regulasi pemerintah yang mengatur mengenai kualitas air di danau Toba, diantaranya adalah Surat Keputusan (SK) Gubernur Sumatera Utara Nomor 188.44/209/KPTS/2017 tentang Status Trofik danau Toba. SK ini menetapkan danau Toba dengan status oligotropik.
Namun kondisi danau Toba sendiri saat ini adalah mesotropik. Maka pengembalian danau Toba ke status oligotropik mustahil terjadi karena berarti melarang seluruh aktivitas manusia di sekitar danau Toba.
“Terkait dengan wacana pelarangan budidaya ikan sistem Keramba Jaring Apung (KJA), dalam Perpres No. 81 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang danau Toba dan Sekitarnya memberikan ruang bagi KJA di danau Toba. Namun demikian perlu adanya sistem budidaya yang ramah lingkungan, tidak saja oleh perusahaan besar namun juga oleh budidaya ikan KJA rakyat di danau Toba,” ujarnya.
Oleh karena itu perlu harmonisasi data antar lembaga terkait kondisi riil danau Toba. Saat ini data pencemaran danau Toba masih berbeda-beda antar lembaga pemerintah sedangkan data tersebut akan menjadi acuan pengambilan keputusan. Selain itu peserta juga menyepakati pentingnya peranan perguruan tinggi dalam penyelesaian konflik di danau Toba karena posisinya yang netral dan lebih diterima seluruh pihak
Peserta diskusi berasal dari berbagai instansi diantaranya peneliti sektor perikanan dan perairan, Kementerian Pariwisata, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Badan Otorita danau Toba, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Tapanuli Selatan, perusahaan perikanan di danau Toba, mahasiswa Pascasarjana IPB serta peneliti dari CARE-LPPM IPB. (naa/Zul).
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2018
Hal ini terungkap dalam diskusi terbatas “Resolusi Konflik Pengelolaan danau Toba” di Ruang Rapat Majelis Wali Amanat Kampus IPB Baranangsiang (24/4). Diskusi ini digelar oleh Pusat Kajian Resolusi Konflik (CARE), Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Institut Pertanian Bogor (IPB).
“CARE LPPM IPB memiliki kewajiban untuk dapat berperan aktif dalam merumuskan resolusi konflik. Salah satunya adalah danau Toba yang saat ini diduga terdapat berbagai konflik dalam pemanfaatan danau Toba antar berbagai sektor dan lapisan masyarakat,” ujar Prof. Rizal Syarief, Ketua Dewan Penasehat CARE IPB.
Ada beberapa regulasi pemerintah yang mengatur mengenai kualitas air di danau Toba, diantaranya adalah Surat Keputusan (SK) Gubernur Sumatera Utara Nomor 188.44/209/KPTS/2017 tentang Status Trofik danau Toba. SK ini menetapkan danau Toba dengan status oligotropik.
Namun kondisi danau Toba sendiri saat ini adalah mesotropik. Maka pengembalian danau Toba ke status oligotropik mustahil terjadi karena berarti melarang seluruh aktivitas manusia di sekitar danau Toba.
“Terkait dengan wacana pelarangan budidaya ikan sistem Keramba Jaring Apung (KJA), dalam Perpres No. 81 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang danau Toba dan Sekitarnya memberikan ruang bagi KJA di danau Toba. Namun demikian perlu adanya sistem budidaya yang ramah lingkungan, tidak saja oleh perusahaan besar namun juga oleh budidaya ikan KJA rakyat di danau Toba,” ujarnya.
Oleh karena itu perlu harmonisasi data antar lembaga terkait kondisi riil danau Toba. Saat ini data pencemaran danau Toba masih berbeda-beda antar lembaga pemerintah sedangkan data tersebut akan menjadi acuan pengambilan keputusan. Selain itu peserta juga menyepakati pentingnya peranan perguruan tinggi dalam penyelesaian konflik di danau Toba karena posisinya yang netral dan lebih diterima seluruh pihak
Peserta diskusi berasal dari berbagai instansi diantaranya peneliti sektor perikanan dan perairan, Kementerian Pariwisata, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Badan Otorita danau Toba, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Tapanuli Selatan, perusahaan perikanan di danau Toba, mahasiswa Pascasarjana IPB serta peneliti dari CARE-LPPM IPB. (naa/Zul).
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2018