Bogor (Antaranews Megapolitan) - Pepton adalah senyawa hasil hidrolisis protein yang larut dalam air. Proses pembuatan pepton umumnya melalui hidrolisis menggunakan enzim. Pepton yang menggunakan bahan baku ikan disebut dengan pepton ikan.
“Pepton banyak dimanfaatkan sebagai salah satu nutrien untuk pertumbuhan mikroorganisme baik bakteri maupun khamir. Senyawa ini banyak digunakan oleh industri berbasis bioteknologi, industri pangan dan non pangan yang dalam pembuatan produknya menggunakan mikroba, industri obat-obatan (industri vaksin dan antibiotik), lembaga penelitian dan perguruan tinggi,” ujar Prof. Dr. Tati Nurhayati, SPi, M.Si saat memaparkan materi orasi ilmiahnya di Kampus IPB Baranang Siang, Bogor (22/3).
Menurutnya selama ini kebutuhan pepton dalam negeri diperoleh dari impor. Harga pepton impor bisa mencapai 5 juta rupiah per kilogram. Berdasarkan informasi dari statistik perdagangan dunia, impor pepton dan turunannya di Indonesia pada tahun 2016 mencapai 20.112 juta US dollar.
“Ini ironis sekali. Indonesia yang dua per tiga luas negaranya merupakan lautan memiliki potensi sumberdaya perikanan yang bisa dimanfaatkan untuk pembuatan pepton ikan. Kita bisa memanfaatkan Hasil Tangkap Sampingan (HTS) dan limbah perikanan,” ujarnya.
Nelayan sering mengalami kerugian. Ada tiga kelompok utama rantai pasok yang menyebabkan kerugian pada nelayan. Yaitu kerugian yang terjadi selama penangkapan ikan dan di atas kapal (5 persen), kerugian yang terjadi selama pemrosesan dan kemasan (28 persen), dan kerugian yang terjadi selama perdagangan dan distribusi meskipun persentasenya tidak besar.
Jika limbah perikanan atau HTS diolah menjadi pepton, nelayan akan mendapatkan nilai tambah. Bahkan ikan yang sudah mulai membusuk memiliki keunggulan yaitu dagingnya sudah lunak (sudah terurai oleh enzim proteolotik endegenous yang ada pada ikan yang sudah mati). Artinya dalam pembuatan pepton, enzim protease yang dibutuhkan jumlahnya lebih sedikit.
Pembuatan pepton menggunakan bahan baku limbah perikanan merupakan teknologi baru yang IPB tawarkan. Dari parameter yang digunakan untuk mengukur kualitas pepton, pepton ikan memiliki mutu dan karakteristik yang mirip dengan pepton impor. Bahkan jika dibandingkan dengan pepton komersial, pertumbuhan bakteri pada media yang mengandung pepton ikan ini lebih baik hasilnya.
“Artinya Indonesia mampu membuat pepton sesuai standar komersial tingkat dunia. Jadi tak perlu impor pepton lagi karena kita bisa produksi sendiri,” ujarnya.
Menurutnya, untuk menghasilkan 1 kilogram pepton, dibutuhkan 280 kilogram ikan. Karena menggunakan ikan HTS atau limbah ikan maka harga bakunya sangat rendah sekitar 2000 rupiah per kilogram.
“Modal bahan baku sekitar 600 ribu rupiah plus enzim protease, itupun hanya sedikit yang dibutuhkan. Sementara harga jual pepton per kilonya mencapai 5 juta rupiah, tentu ini keuntungannya sangat besar” ujarnya.
Selain memiliki karakteristik yang sama dengan pepton komersial dan tidak membutuhkan enzim protease dalam jumlah yang banyak, teknologi pembuatan pepton ikan ini juga memiliki rendemen yang lebih besar dibandingkan jika menggunakan ikan segar sebagai bahan bakunya. Dan yang lebih penting lagi adalah teknologi ini memberikan nilai tambah pada limbah hasil perikanan.
“Teknologi ini mendapatkan penghargaan Business Innovation Center (BIC) dalam 107 Inovasi Indonesia Paling Prospektif pada tahun 2015. Judul risetnya adalah Pepton Berbahan Baku Ikan Hasil Tangkap Sampingan Tidak Layak Konsumsi (Pepton HTS),” ujarnya.
Namun, belum ada industri yang menerapkan teknologi ini di Indonesia. Padahal ketersediaan bahan bakunya melimpah dan proses pembuatannya tidak rumit. (zul)
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2018
“Pepton banyak dimanfaatkan sebagai salah satu nutrien untuk pertumbuhan mikroorganisme baik bakteri maupun khamir. Senyawa ini banyak digunakan oleh industri berbasis bioteknologi, industri pangan dan non pangan yang dalam pembuatan produknya menggunakan mikroba, industri obat-obatan (industri vaksin dan antibiotik), lembaga penelitian dan perguruan tinggi,” ujar Prof. Dr. Tati Nurhayati, SPi, M.Si saat memaparkan materi orasi ilmiahnya di Kampus IPB Baranang Siang, Bogor (22/3).
Menurutnya selama ini kebutuhan pepton dalam negeri diperoleh dari impor. Harga pepton impor bisa mencapai 5 juta rupiah per kilogram. Berdasarkan informasi dari statistik perdagangan dunia, impor pepton dan turunannya di Indonesia pada tahun 2016 mencapai 20.112 juta US dollar.
“Ini ironis sekali. Indonesia yang dua per tiga luas negaranya merupakan lautan memiliki potensi sumberdaya perikanan yang bisa dimanfaatkan untuk pembuatan pepton ikan. Kita bisa memanfaatkan Hasil Tangkap Sampingan (HTS) dan limbah perikanan,” ujarnya.
Nelayan sering mengalami kerugian. Ada tiga kelompok utama rantai pasok yang menyebabkan kerugian pada nelayan. Yaitu kerugian yang terjadi selama penangkapan ikan dan di atas kapal (5 persen), kerugian yang terjadi selama pemrosesan dan kemasan (28 persen), dan kerugian yang terjadi selama perdagangan dan distribusi meskipun persentasenya tidak besar.
Jika limbah perikanan atau HTS diolah menjadi pepton, nelayan akan mendapatkan nilai tambah. Bahkan ikan yang sudah mulai membusuk memiliki keunggulan yaitu dagingnya sudah lunak (sudah terurai oleh enzim proteolotik endegenous yang ada pada ikan yang sudah mati). Artinya dalam pembuatan pepton, enzim protease yang dibutuhkan jumlahnya lebih sedikit.
Pembuatan pepton menggunakan bahan baku limbah perikanan merupakan teknologi baru yang IPB tawarkan. Dari parameter yang digunakan untuk mengukur kualitas pepton, pepton ikan memiliki mutu dan karakteristik yang mirip dengan pepton impor. Bahkan jika dibandingkan dengan pepton komersial, pertumbuhan bakteri pada media yang mengandung pepton ikan ini lebih baik hasilnya.
“Artinya Indonesia mampu membuat pepton sesuai standar komersial tingkat dunia. Jadi tak perlu impor pepton lagi karena kita bisa produksi sendiri,” ujarnya.
Menurutnya, untuk menghasilkan 1 kilogram pepton, dibutuhkan 280 kilogram ikan. Karena menggunakan ikan HTS atau limbah ikan maka harga bakunya sangat rendah sekitar 2000 rupiah per kilogram.
“Modal bahan baku sekitar 600 ribu rupiah plus enzim protease, itupun hanya sedikit yang dibutuhkan. Sementara harga jual pepton per kilonya mencapai 5 juta rupiah, tentu ini keuntungannya sangat besar” ujarnya.
Selain memiliki karakteristik yang sama dengan pepton komersial dan tidak membutuhkan enzim protease dalam jumlah yang banyak, teknologi pembuatan pepton ikan ini juga memiliki rendemen yang lebih besar dibandingkan jika menggunakan ikan segar sebagai bahan bakunya. Dan yang lebih penting lagi adalah teknologi ini memberikan nilai tambah pada limbah hasil perikanan.
“Teknologi ini mendapatkan penghargaan Business Innovation Center (BIC) dalam 107 Inovasi Indonesia Paling Prospektif pada tahun 2015. Judul risetnya adalah Pepton Berbahan Baku Ikan Hasil Tangkap Sampingan Tidak Layak Konsumsi (Pepton HTS),” ujarnya.
Namun, belum ada industri yang menerapkan teknologi ini di Indonesia. Padahal ketersediaan bahan bakunya melimpah dan proses pembuatannya tidak rumit. (zul)
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2018