Yaounde (Antaranews Megapolitan/Reuters) - Mantan menteri perairan dan energi Kamerun ditangkap di Nigeria dan telah diterbangkan kembali ke tanah airnya pada Kamis, kata seorang sumber di kepolisian dan menurut laporan media.

Penangkapan dilakukan di tengah upaya pemberantasan korupsi pada tingkat tinggi.

Basile Atangana Kouna dicopot dari jabatannya sebagai menteri dalam perombakan kabinet yang dilakukan pada 2 Maret oleh Presiden Paul Biya.

Kouna pada bulan sebelumnya telah diperintahkan untuk tidak melakukan perjalanan ke luar negeri.

"Atangana Kouna berada di Kamerun. Ia ditangkap di Nigeria dan dikembalikan ke Kamerun. Ia sudah tiba petang ini," kata sumber di kepolisian, yang meminta agar jati dirinya tidak diungkapkan, kepada Reuters.

Televisi swasta Vision 4, yang dianggap berkawan dengan Biya, melaporkan bahwa mantan menteri itu tiba di bandara internasional di ibu kota, Yaounde, pada pukul 18.20 waktu setempat dan digiring oleh para petugas kepolisian.

Stasiun televisi lainnya, Canal 2 International, juga melaporkan soal penangkapan Kouna di Nigeria serta pemulangannya kembali ke Kamerun.

Juru bicara pemerintah Kamerun belum dapat dihubungi untuk dimintai komentar, demikian pula dengan para pejabat di Nigeria.

Tidak ada kejelasan soal dakwaan yang dihadapi Atangana Kouna. Namun, spekulasi muncul pada Kamis bahwa ia ditangkap sebagai bagian dari gerakan antikorupsi, yang dikenal sebagai "Operation Sparrowhawk".

Tiga orang, yaitu mantan pejabat Kementerian Pekerjaan Umum, kepala BUMN dan mantan rektor Universitas Douala, ditahan sebagai bagian dari operasi sebelumnya pada pekan ini.

Kekayaan minyak Kamerun telah melahirkan sistem perlindungan politik luas yang didorong oleh pendapatan dari ekspor minyak mentah.

Transparansi Internasional menempatkan Kamerun di tingkat 153 dari 180 negara dalam indeks persepsi korupsi tahunannya.

Perekonomian Kamerun, yang tergantung dari minyak, telah mengalami kesulitan karena harga minyak yang rendah.

Selain itu, para pemberontak juga meningkatkan gerakan gerilya mereka di dua provinsi berbahasa Inggris di negara itu. Mereka menuntut kemerdekaan dari negara Afrika Tengah itu, yang mayoritas penduduknya berbahasa Prancis.
    
Penerjemah: T. Mutiasari/G.N.C. Aryani.    

Pewarta: Reuters

Editor : M. Tohamaksun


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2018