Jakarta (Antaranews Megapolitan) - Peneliti Center for Strategic Development Studies (CSDS) Drs Sapto Waluyo, M.Sc menemukan fakta kehadiran Komisi Pemberantasan Korupsi sejak 2002 membuka ruang partisipasi publik dalam pemberantasan korupsi.

"Sejumlah kasus yang ditangani KPK berasal dari pengaduan publik," katanya di Jakarta, Rabu.

Sapto Waluyo sedang melakukan riset tentang transformasi aktor antikorupsi.

Sapto Waluyo pada pekan lalu menjadi moderator dalam diskusi CSDS tentang "Masa Depan Pemberantasan Korupsi di Indonesia" yang berlangsung di gedung Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia (MITI) Center, Depok, Jawa Barat.

Hadir sebagai narasumber adalah mantan Wakil Ketua KPKPN dan Penasihat KPK Abdullah Hehamahua, pendiri Gerakan Anti Korupsi Lintas Perguruan Tinggi Suwidi Tono, dan Ketua Pusat Studi Hukum Tata Negara UI Mustafa Fakhri.

Menurut Sapto, dengan posisi KPK seperti itu, yang harus ditingkatkan adalah kapasistas SDM dan prosedur pengawasan KPK serta jejaring kolaborasi antikorupsi.

"Bukan memperlemahnya dengan tekanan politik," kata alumni Hubungan Internasional Fisip Universitas Airlangga (Unair) yang menamatkan S-2 di S Rajaratnam School of International Studies (RSIS) Kampus Nanyang Technological University (NTU) Singapura itu.

Sapto Waluyo memandang putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak uji materi atas pasal 79 Undang-undang tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) merupakan langkah mundur karena terkesan melayani kepentingan politik tertentu, bukan berdasarkan pertimbangan hukum murni.

Putusan MK sendiri diwarnai "dissenting opinion" , yang menyatakan KPK termasuk cabang lembaga eksekutif sehingga DPR berhak untuk meminta pertanggungjawaban KPK dalam bentuk hak angket.

Independensi KPK termaktub dalam Pasal 3 UU KPK Nomor 30 tahun 2002 yang menegaskan bahwa KPK dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya terbebas dari pengaruh manapun.

Hal itu diperkuat oleh UN Convention Against Corruption tahun 2003 yang telah diratifikasi pemerintah Indonesia.

"UU KPK menyatakan tanggung-jawab KPK kepada publik dengan memberikan laporan kepada Presiden dan DPR RI. Hal itu yang membedakan KPK RI dengan ICAC Hong Kong, yang bertanggung jawab kepada "Chief Executive" atau ICAC Australia, yang bertanggung jawab kepada Parliamentary Joint Committee)," katanya

Keunikan KPK itu, kata dia, menjadi perbincangan internasional.

Sementara itu, dalam diskusi CSDS Ketua Pusat Studi Hukum Tata Negara UI Mustafa Fakhri menyatakan fungsi lembaga negara memang telah berkembang, tidak terbatas trias politika (eksekutif, legislatif, dan yudikatif). Tetapi juga meliputi fungsi pengawasan (oversight) dan audit.

"Lazimnya lembaga negara independen hadir pada ranah eksekutif dengan kewenangan dan fungsi melaksanakan UU serta membentuk regulasi, baik mendapatkan delegasi secara langsung dalam UU maupun tidak," katanya.

KPK RI sebagai salah satu lembaga penegak hukum, memiliki dua kaki, yakni pada cabang eksekutif dan kekuasaan yudisial.

Karena itu, aspek kinerja KPK yang dapat diawasi DPR hanya kaki yang berada di ranah eksekutif.

Sementara aspek yudisial, tidak dapat diintervensi kekuasaan manapun karena "independence of judiciary" itu muncul sejak penetapan KPK atas seseorang sebagai tersangka pidana korupsi, yang diatur khusus dalam UU Tipikor.

"Karenanya keliru ketika Ketua MK menyatakan bahwa KPK merupakan lembaga di ranah eksekutif yang melaksanakan fungsi penyidikan dan penuntutan. Justru itu termasuk ranah yudisial yang tidak boleh diintervensi," kata Mustafa, yang menamatkan pendidikan pascasarjana di Northwestern University, AS.

Aktivis GAK Lintas PT, Suwidi Tono, melihat tafsir MK saat ini berbeda dengan putusan MK 2006 yang menyatakan KPK bagian dari yudikatif dan bersifat independen.

Setelah reformasi, kata dia, terjadi perubahan paradigma yang menegaskan korupsi sebagai kejahatan luar biasa karena dampaknya menyangkut seluruh aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

"Karena itu, pemberantasan korupsi juga harus menempuh cara luar biasa, salah satunya dengan memunculkan lembaga independen KPK. Terbukti selama ini kasus yang ditangani KPK divonis peradilan dengan tingkat keyakinan tinggi," katanya.

Ia melihat pemberantasan korupsi di Indonesia menghadapi tantangan super berat dan jalan terjal karena UU Tipikor belum menjangkau semua institusi dan sektor. Masih banyak yang belum tersentuh KPK sehingga perlu ditetapkan prioritas.

"Kapasitas KPK dari segi tenaga penyidik dan anggaran juga sangat terbatas. Anggaran KPK hanya Rp790 miliar, bandingkan dengan anggaran Polri Rp100 triliun dan Kejaksaan Rp6,7 triliun. Aparat KPK hanya ada di pusat dan tidak sampai ke daerah-daerah yang kini menjadi pusat endemi korupsi," kata Suwidi. 

Pewarta: Andi Jauhari

Editor : Feru Lantara


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2018