Tahun 2018 populer disebut sebagai tahun politik. Disebut sebagai tahun politik karena terdapat peristiwa pilkada serentak dan dibukanya pendaftaran pasangan calon presiden dan wakil presiden pada bulan Agustus 2018 menuju Pilpres 2019.

Pada tahun ini dinilai sebagai tahun panas bagi para politikus karena tahun ini menentukan berhasil tidaknya politikus meraih suaranya pada tahun 2019.


Sejumlah janji terkait dengan kemaslahatan rakyat, seperti pengentasan masyarakat dari kemiskinan, jaminan pendidikan, jaminan kesehatan, dan pertumbuhan perekonomian, diprediksi akan menjadi jualan para politikus untuk menarik simpati rakyat.

Namun, selain janji-janji bagi kemaslahatan rakyat, terdapat isu tentang kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Tanah Air yang sedang gencar digulirkan menyongsong tahun politik 2018/2019. Bisa ditengarai bahwa setiap kali menjelang pesta demokrasi, isu kebangkitan PKI selalu mencuat kembali untuk menyerang partai politik dan kandidat tertentu.

PKI telah mati sejak 41 tahun silam. Namun, efek traumatisnya kembali terasa setiap kali Indonesia memasuki tahun politik. Isu PKI diprediksi akan kembali dimainkan pihak tak bertanggung jawab bukan hanya pada saat pilkada pada tahun 2018, tetapi juga pada saat pencalonan kembali Joko Widodo sebagai calon presiden pada Pilpres 2019.

Berbagai data penelitian yang telah dipublikasikan melalui media massa menyatakan bahwa kebangkitan PKI tidak pernah terjadi. Artinya, telah terjadi penyebaran isu di tengah masyarakat yang berkaitan dengan konteks tahun politik.

Kebangkitan PKI dikatakan isu karena kabar tersebut tidak jelas asal usulnya dan tidak terjamin kebenarannya. Kabar tersebut merupakan kabar angin yang diembuskan melalui desas-desus oleh pihak tertentu untuk tujuan tertentu.

Kabar yang demikian bisa dikategorikan sebagai propaganda. Propaganda merupakan salah satu bentuk komunikasi politik. Propaganda ketika dikaitkan dengan politik merupakan bentuk komunikasi yang dilakukan secara sengaja dan sadar melalui pengiriman pesan palsu untuk memengaruhi, bahkan menyesatkan opini publik.

Definisi propaganda menurut Edward Bernays adalah sebuah usaha yang konsisten untuk menciptakan atau membentuk suatu peristiwa agar peristiwa itu dapat memengaruhi relasi di kalangan publik dengan suatu ide tertentu, kelompok, organisasi, atau perusahaan (Bernays, 2004).

Perang Psikologis

Propaganda merupakan perang psikologis. Propaganda merupakan usaha yang sengaja dilakukan oleh beberapa individu atau kelompok untuk membentuk, mengendalikan, atau mengubah sikap kelompok lain dengan menggunakan alat-alat komunikasi yang dapat membentuk situasi tertentu sehingga menghasilkan reaksi sebagaimana yang diinginkan propagandis (Terrence Qualter, 1962).


Pada konteks politik, propaganda merupakan perang psikologis untuk mengontrol masyarakat dengan cara menciptakan kebingungan politik.

Propaganda mengandung informasi yang salah. Informasi yang salah hanya merupakan istilah lain dari "informasi palsu" yang digunakan dalam propaganda untuk meyakinkan masyarakat tentang suatu isu tertentu. Informasi palsu bisa disamakan dengan hoaks.

Propaganda selalu untuk meraih tujuan politik karena para propagandis berkeyakinan bahwa jika orang telanjur percaya terhadap suatu pesan yang salah, dia akan selalu mengingatnya daripada percaya pada suatu pesan yang benar (Liliweri, 2011).

Oleh karena itu, perlu usaha menyinyalir atau berawas-awas dari setiap warga negara Indonesia terhadap kabar yang tidak terjamin kebenarannya. Cara yang dapat dilakukan salah satunya adalah dengan melakukan metakomunikasi.

Metakomunikasi

Metakomunikasi adalah berkomunikasi mengenai komunikasi. Sebagai bagian dari masyarakat dengan keberlimpahan informasi, masing-masing dari kita dituntut untuk mau dan mampu melakukan metakomunikasi.

Hakikat berkomunikasi mengenai komunikasi akan mengarahkan pada pemahaman reflektif bahwa suatu pesan politik diarahkan dan diciptakan untuk tujuan tertentu.

Gregory Bateson mengembangkan konsep metakomunikasi sebagai bagian dari teori permainan peran atau "theory of role play". Bateson mendefinisikan metakomunikasi sebagai salah satu faktor yang memengaruhi seorang pembicara dengan pihak penerima (Bateson, 1978). Artinya, proses metakomunikasi bisa menjadi filter bagi pihak penerima untuk menyaring kepalsuan informasi dari pihak pembicara.

Metakomunikasi melibatkan pembentukan kerangka komunikatif. Pemahaman mengenai metakomunikasi mengarahkan pada kerangka berpikir bahwa semua pernyataan pesan memiliki status dalam konteks tertentu.

Menurut Bateson, pada dasarnya metakomunikasi merupakan suatu sikap komunikatif yang menghubungkan bagian-bagian yang terlibat dalam komunikasi. Bagian-bagian yang terlibat dalam komunikasi politik umumnya terdiri atas aktor-aktor politik, pendukung partai politik, saluran komunikasi yang digunakan, isi pesan, serta tujuan pesan yang disampaikan.

Dengan demikian, metakomunikasi menjadi cara yang sangat bermanfaat untuk menjelaskan secara spesifik keterkaitan antara suatu isu politik dan konteks yang melingkupinya.

Cara yang dapat dilakukan ketika menumbuhkan metakomunikasi adalah mencermati pesan-pesan yang dikemas secara verbal dan nonverbal untuk kemudian ditafsirkan. Metakomunikasi akan mengarahkan bagaimana setiap individu di tengah masyarakat penerima pesan seharusnya memahami makna pesan verbal dan nonverbal yang diperoleh dari berbagai sumber.

Metakomunikasi melibatkan konteks kapan suatu pesan politik tersebar. Apabila seorang individu kurang memahami pesan propaganda politik tetapi memahami konteks ketika kata-kata tersebut diucapkan, sesungguhnya dia sudah melakukan metakomunikasi dan dalam proses filter kepalsuan informasi.

Dengan demikian, metakomunikasi bisa dijadikan sarana untuk memberikan petunjuk tentang bagaimana menerjemahkan pesan verbal dan nonverbal mengenai politik kepada masyarakat luas.

Pada saat seorang penerima pesan melakukan metakomunikasi mengenai suatu isu politik tertentu, harus disiapkan semua referensi pendukung. Referensi pendukung tersebut adalah mengenai peristiwa yang terjadi, orang-orang terpenting yang berada di dalam peristiwa tersebut, serta data-data statistika.

Kemauan untuk mengembangkan metakomunikasi pada tahun politik merupakan syarat terpenting bagi setiap individu yang hendak melakukan pemilihan politik. Pasalnya, melalui metakomunikasi setiap pemilih politik diharapkan memiliki filter yang sanggup menyaring kepalsuan informasi. (ANT/BPJ).


*) Penulis adalah Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi (Mikom) Universitas Diponegoro, Semarang.
 

Pewarta: Oleh: Anna Puji Lestari *)

Editor : M. Tohamaksun


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2018