Depok, (Antaranews Megapolitan) - Pakar Neurologi Universitas Indonesia (UI) Dr dr Salim Haris SpS(K), merumuskan suatu rumus diagnostik baru yang dapat mendeteksi ada atau tidaknya migren pada pasien yang mengeluhkan sakit kepala.

"Aliran pembuluh darah otak pada penderita migren terbukti tidak mampu melebar secara maksimal saat menahan napas dan mengecil lebih kuat saat bernapas cepat, sehingga proses menahan napas ini perlu dilakukan," kata Salim di Kampus UI, Selasa.

Metode baru tersebut ia sebut Indeks Vaskular Migrain (IVM). Rumus ini telah divalidasi dan mendapatkan hak atas kekayaan intetektual (HAKI) yang dikeluarkan oleh Kemenkumham RI dengan nomor pencatatan 086676 yang diumumkan pada 1 Januari 2017 dengan jangka waktu perlindungan yang berlaku selama 50 (lima puluh) tahun sejak pertama kali diumumkan.

IVM diketahui dengan mengukur nilai rata-rata kecepatan aliran sel darah merah ke otak. Pengukurannya menggunakan ultrasonografi doppler yang ditempelkan di pelipis.

Pasien saat proses ini harus menahan napas dan bernapas cepat, masing-masing selama 30 detik.

Dengan menggunakan IVM, katanya hasil diagnosis bisa mencapai 94,23 persen, sedangkan jika digabung dengan IHS, hasil diagnosis menjadi 98,08 persen. Salim berharap, IVM dapat meningkatkan hasil diagnosis pasien migren. Sebab, tanpa itu potensi efektivitas pengobatan pun menurun.

Pemeriksaan IVM sangat bermanfaat untuk menjaring orang dengan benar, agar mendapatkan pengobatan yang tepat, karena semakin lama migren tidak tertangani, semakin berat dan semakin sulit penanganan selanjutnya.

Dengan hasil inovasi baru yang didapatkan ini, diharapkan UI memberikan sumbangsih bagi masyarakat, khususnya dunia kesehatan Indonesia.

Migren merupakan suatu kondisi yang dianggap umum oleh masyarakat, namun migren tidak dapat diremehkan. Menurut survei The Global Burden of Disease 2010 yang dilakukan World Health Organization (WHO), migren merupakan penyebab disabilitas ketujuh tertinggi global.

Prevelensi migren di Asia mencapai 22,4 persen berdasarkan penelitian di Hong Kong. Sedangkan, di Indonesia, prevelensi migren mencapai 22,4 persen berdasarkan studi populasi Balitbangkes Kemenkes RI.

Namun, diagnosis migren ternyata bukanlah hal yang mudah. Saat ini cenderung terjadi kondisi overdiagnosis migren di masyarakat. Masyarakat cenderung mengganggap sakit kepala sebelah adalah migren, padahal migren dapat terjadi di seluruh bagian kepala, bukan hanya di satu bagian saja.

Nyeri di kepala juga tidak harus migren, bisa saja hal tersebut merupakan indikasi sinusitis, sakit kepala servikogenik, sakit kepala tegang, dan banyak lagi.

Sedangkan metode diagnosis migren yang umum dipakai, International Headache Society (IHS) classification, menimbulkan banyak perbedaan persepsi dokter sehingga metode ini dapat menimbulkan kesalahan diagnosis (underdiagnosis) paling sedikit 50 persen. Overdiagnosis dan underdiagnosis menyebabkan penanganan migren yang tidak tepat.

Pewarta: Feru Lantara

Editor : Feru Lantara


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2018