Mendengar istilah bunga edelweis (Anaphalis javanica), hingga saat ini masih sulit dilepaskan sebagai simbol yang prestisius bagi para pendaki gunung dan pegiat alam bebas.

Akibatnya, tidak jarang mereka berlomba untuk membawa bunga itu usai mendaki gunung yang telah mereka capai puncak ketinggiannya.

Padahal, jenis bunga ini -- khususnya yang berada di dalam kawasan nasional -- sejatinya tidak boleh dipetik dan diambil.

Kepala Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (BBTNBTS) Ir John Kenedie, MM, tidak menampik sejak dulu ada persepsi di kalangan pendaki gunung mereka merasa dan disebut gagah bisa membawa pulang edelweis setelah mendaki gunung, yang notabene sebenarnya di dalam kawasan taman nasional.

"Nah, sekarang akan kita legalkan melalui budi daya, yang sedang dikembangkan di sekolah-sekolah dan desa penyangga di kawasan TN-BTS, sehingga nantinya tidak ada lagi yang mengambil dari dalam kawasan," katanya saat ditemui Antara di Kantor Seksi Wilayah I Cemorolawang, Desa Ngadisari, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, pada Jumat (29/12) 2017.

Budi daya edelweis itu dikemas melalui program yang disebut sebagai "Desa Wisata Edelweis", yang dijadikan sebagai penanda (ikon) di TN-BTS.

Saat ini, ada dua desa penyangga yang dijadikan uji coba pengembangan budi daya edelweis, yakni di Desa Ngadisari, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo dan Desa Wonokitri, Kecamatan Tosari, Kabupaten Pasuruan, Jatim.

Kepala Seksi Pengelolaan Taman Nasional (PTN) Wilayah I TN-BTS Sarmin, S.Hut -- yang membawahi dua desa tersebut -- menjelaskan upaya yang dilakukan untuk mewujudkan "Desa Wisata Edelweis" itu tidak mudah dan melalui proses panjang.

"Jadi, tidak serta merta langsung jadi seperti saat ini, yang sudah mulai terlihat hasilnya,` katanya didampingi penyuluh kehutanan BBTNBTS Birama Terang Radityo, S.Hut.

Diawali pada tahun 2016, pertama kali dilakukan inventarisasi edelweis di TN-BTS, di mana tiga dari empat jenis edelweis Indonesia ada di kawasan itu, yakni "Anaphalis javanica", "Anaphalis viscida", dan "Anaphalis longifolia", serta tiga jenis lainnya masih kerabat dekat edelweis.

Uji coba pengembangan edelweis, tumbuhan khas dataran tinggi atau pegunungan pada ketinggian lebih dari 2.000 meter di atas permukaan laut (mdpl), melalui konservasi "eksitu" (di luar habitat alami) itu tidak langsung berhasil.

Di Desa Wonotoro, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo uji coba tumbuhan jenis perdu berkayu yang dapat tumbuh hingga tingginya mencapai empat meter itu pada 2007 gagal.

Pun, pada 2012 penanaman di Ranu Regulo, Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang, yang dilakukan bersama Badan Kerja Sama Internasional Jepang (Japan Internasional Cooperation Agency/JICA) juga belum berhasil.

Selanjutnya, pada awal 2014 dicoba budi daya di kebun indukan -- yang sekaligus disiapkan menjadi "Taman Edelweis" -- di Cemoro Lawang, Probolinggo, yang berasal dari cabutan anakan edelweis di TN-BTS untuk kebun indukan.

Melalui berbagai upaya itu, akhirnya pada pertengahan 2014 berhasil diproduksi bibit tanaman edelweis dari biji.

"Dan pada 2014 itulah TN-BTS mendeklarasikan diri sebagai `The Land of Edelweis` (Surga Edelweis)," kata Birama Terang Radityo, yang diminta khusus untuk menekuni pengembangan dan penelitian edelweis itu.



Pelatihan budi daya



Seiring dengan keberhasilan itu, maka akhir 2014 hingga 2016 dilakukan uji coba "Desa Edelweis" di tujuh SD dan satu SMP untuk anak-anak Tengger, mulai Desa Ngadisari hingga Desa Sukapura, Probolinggo.

Pada 2015 juga dilakukan penelitian etnobotani edelweis di Desa Ngadas, Kabupaten Malang bersama mahasiswa jurusan kehutanan di Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, yang menemukan fakta dari tahun tahun masyarakat semakin jauh, yakni pada radius dari 1 km sekarang hingga 2 km, mencari bunga edelweis untuk kebutuhan sesaji, dan edelweis semakin habis di sekitar desa itu.

Penelitian lainnya di tahun sama, yakni terkait dengan harga jual bunga edelweis hasil budi daya di TN-BTS bersama mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.

Hasilnya, rangkaian bunga edelweis ukuran sedang dibeli wisatawan dengan harga Rp24 ribu hingga Rp100 ribu, sementara harga ilegal dengan ukuran sedang dijual di kisaran Rp10 ribu hingga Rp15.000.

Sedangkan pada 2016 dilanjutkan uji coba tahun kedua wisata edelweis di TN-BTS, di mana pada 23 Maret Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLHK) Siti Nurbaya meresmikan "Taman Edukasi Edelweis" di Penanjakan (Pasuruan), dan Cemorolawang, serta di SDN Ngadisari 1.

Atas kemajuan dan keberhasilan uji coba itu, maka permintaan dari masyarakat dan sekolah untuk budi daya edelweis meningkat.

TN-BTS merespons positif, dan memberikan pelatihan itu.

Pasangan suami istri warga asli Tengger di Desa Ngadisari, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo, yakni Sunarip dan Pujiati, adalah generasi awal sekaligus inisiator yang ikut dilatih.

"Setelah mendapat pelatihan, kami sekarang sudah bisa mengembangkan budi daya edelweis, baik dari biji maupun melalui stek," kata Sunarip, yang kini bersama sembilan warga lainnya semangat mengembangkan tumbuhan itu.

Di desa penyangga TN-BTS lainnya, yakni Sukaris, warga dan pemuka Tengger di Desa Wonokitri, Kecamatan Tosari, Kabupaten Pasuruan mengakui permintaan pelatihan juga meningkat.

Ibu-ibu yang tergabung dalam Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) desa itu, langsung melakukan pengajuan pelatihan budi daya. Demikian pula, kelompok dan komunitas lainnya.

"Saya akhirnya berkoordinasi dengan TN-BTS dan penyuluh kehutanan untuk merespons permintaan-permintaan semacam itu," katanya.

Sunarip mengakui bahwa edelweis tidak bisa dipisahkan dari kehidupan masyarakat Tengger, baik di sekitar Bromo dan Semeru, karena dalam setiap upacara adat kehadiran bunga itu wajib ada.

Karena itu, dengan pelatihan tersebut, maka siapa pun tidak lagi mencari dan mendapatkan dari TN, namun bisa melalui hasil budi daya yang kini dilakukan.



"Role model"



Menurut Kepala BBTNBTS John Kenedie, bunga edelweis kini telah dijadikan "role model" di kawasan tersebut.

Diakuinya bahwa pada masyarakat Hindu di kawasan Bromo-Semeru, selama ini untuk kebutuhan upacara keagamaan mereka masih ada yang mengambil dari TN.

Dalam bahasa Sansekerta edelweis disebut "Tan Alayu", yakni kata "Tan" yang artinya tidak layu sehingga artinya abadi, yakni sebagai lambang keabadian leluhur masyarakat Tengger.

"Namun, sekarang kita kembangkan dan sudah berhasil di beberapa desa berhasil, sehingga untuk keperluan upacara tidak lagi mengambil dari dalam kawasan. Bahkan, juga akan kita jadikan `Desa Wisata Edelweis`," katanya.

Komisi IV DPR, di mana salah satu anggotanya yakni Titik Prabowo sudah datang di kawasan TN-BTS untuk mendukung program "Dewa Wisata Edelweis" itu.

Jika dikelola dengan baik, maka imbas dari program itu, dari aspek ekonomi akan memberikan pemasukan lebih besar lagi kepada masyarakat di sekitar TN-BTS.

Dengan pengelolaan yang terpadu, maka dirancang sebuah wisata di mana wisatawan yang membayar bisa memetik edelweis, berfoto, menanam dan membeli edelweisnya.

Paket wisata semacam itu bisa dilakukan, karena sudah ada contohnya, seperti wisata memetik buah apel, buah jeruk, dan lainnya, sehingga dampak ekonominya akan semakin besar bagi masyarakat.

"Memetik apel saja membayar dan laku, apalagi ini bunga edelweis," katanya.

Selain itu, pada acara-acara keagamanaan bagi masyarakat Tengger, tidak lagi mengambil lagi di TN, karena sudah dibudidayakan melalui pelatihan oleh penyuluh kehutanan TN-BTS dan sudah berjalan baik.

Dua desa, yakni Ngadisari dan Wonokitri disiapkan untuk `Desa Wisata Edelweis`.

Organisasi Pendidikan, Sains dan Kebudayaan PBB (UNESCO) pada 9 Juni 2015 juga telah menetapkan TN-BTS dan juga Taman Hutan Raya (Tahura) R Soerjo) mengumumkan pengakuan sebagai cagar biosfir.

Tahura R Soerjo, adalah sebuah kawasan taman hutan raya yang berada di dalam kompleks gunung Arjuno-Welirang-Anjasmoro, yang secara administratif termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Mojokerto, Kabupaten Malang, Kabupaten Jombang, Kabupaten Pasuruan dan Kota Batu, Provinsi Jatim.

Cagar biosfir adalah sebuah kawasan yang ditunjuk dan ditetapkan oleh suatu negara bekerja sama dengan UNESCO untuk memromosikan upaya pelestarian keanekaragaman hayati dan pengelolaan ekosistem yang terpadu dan berkelanjutan, yang berbasis pada pengetahuan dan kearifan lokal.

Dengan kondisi sedemikian ini, maka Indonesia menambah lagi eksotisme alam yang layak dikunjungi melalui "surga edelweis" di Bromo-Tengger-Semeru ini.

Pewarta: Andi Jauhari

Editor : Feru Lantara


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2018