Bogor (Antara Megapolitan) - Guru Besar Tetap Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof. Vincentius P. Siregar, DAA, DEA, mengatakan bahwa teknologi penginderaan jarak jauh sudah masuk ke Indonesia pada tahun 70-an (teknologi pemetaan dengan pesawat udara).

Awal tahun 90-an, remote sensing yang menggunakan satelit sudah mulai diperkenalkan dan sejak saat itu, teknologi ini digunakan sebagai teknologi alternatif dan pelengkap dari metode konvensional.

“Teknologi pemetaan jarak jauh ini biasa tandem dengan sistem informasi geografis. Ini mengkompilasi semua informasi spasial dari citra satelit menjadi informasi turunan yang lebih informatif sifatnya,” ujarnya saat memberikan orasi ilmiah Pengukuhan Guru Besar Tetap di Auditorium Andi Hakim Nasoetion, Kampus IPB Dramaga, Bogor (16/12).

Menurut Prof. Vincent, sumberdaya lautan harus dipetakan, namun peta yang telah tersedia di Indonesia masih terbatas. Ada peta lingkungan pantai, tapi masih minim. Padahal masih banyak lagi areal di seluruh Indonesia yang belum terpetakan apalagi kondisi di laut, tidak seperti di darat yang sangat dinamis.

“Kurang dari satu tahun, kondisi lautan bisa berubah. Kalau kita tidak melakukan observasi yang relatif singkat maka kita tidak dapat data yang akurat. Penginderaan jauh jadi alternatif karena sangat cepat datanya dan rutin pendeteksiannya. Kita sangat membutuhkan peta yang nantinya dibutuhkan untuk bagian dari pembangunan nasional,” ujarnya

Dengan judul orasi “Peran Teknologi Penginderaan Jauh Satelit Penyediaan Informasi Geospasial Habibat Perairan Laut Dangkal”, Prof. Vincent menjelaskan bahwa sumberdaya lautan baik hayati dan non hayati, biasanya dideteksi atau dipantau dengan teknologi, tetapi pada umumnya teknologinya menggunakan kapal yang langsung di laut atau secara fisik datang ke lapangan.

Divisi penginderaan jauh sistem informasi kelautan di IPB sejak tahun 1995 sudah menggunakan teknologi penginderaan jarak jauh. Salah satu contoh adalah pemetaan Muatan Padatan Tersuspensi (MPT) dan klorofil A di Jakarta.

“Klorofil ini berguna untuk menggambarkan tingkat kesuburan perairan. Tentu dikaitkan dengan jumlah ikan dan pertumbuhannya. Ini penting bagi dunia perikanan karena jika kesuburan perairan tinggi maka akan memberikan keberhasilan budidaya perikanannya. MPT merupakan pencemaran akibat erosi dari daratan ke laut. Polusi ini jika dibiarkan lambat laun laut tersebut akan mengalami pendangkalan. Lumpur akan merusak ekosistem di sana. Dengan pemetaan MPT ini kita akan mengetahui daerah mana yang terganggu kualitas airnya dan yang mengalami pendangkalan,” terangnya.

Dari beberapa riset yang dilakukannya bersama tim tentang penginderaan jarak jauh, Prof. Vincent menyimpulkan bahwa tingkat akurasi dari akurasi pemetaan citra satelit termasuk kelas-kelas dalam peta itu sangat bervariasi baik yang lakukan oleh peneliti lokal maupun asing. Faktor utama yang mempengaruhi akurasi adalah tingkat kekeruhan perairan.

“Kalau keruh, algoritma tidak bisa memetakan. Pada akhirnya kondisi perairan yang menentukan keberhasilan pemetaan,” ujarnya.

Selain itu, kendala lainnya adalah tingkat keawanan yang tinggi di Indonesia (umumnya para peneliti sulit mendapatkan citra satelit yang bebas awan). Tingkat atenuasi pada kolom air (dalam kolom air ada klorofil dan lain-lain, ini jadi faktor penghambat).

Keragaman habitat bentik dalam satu liputan pixel (mixel). Kemampuan pengguna untuk mendiskripsikan berdasarkan resolusi spasial, spectral dan rado metric. Sarana dan prasarana yang terbatas dan ketersediaan citra satelit masih tergantung dari provider luar (seperti SPOT dari Airbus dan WV dari Digital Globe).(zul)

Pewarta: Oleh: Humas IPB/Prof. Vincentius P. Siregar

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2017