Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur Dasar Kementerian Koordinator Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan Rachmat Kaimuddin menekankan urgensi penggunaan kendaraan listrik sebagai solusi mengurangi ketergantungan terhadap impor bahan bakar minyak (BBM) dan polusi udara.
"Kalau kita lihat dari sisi energi, Indonesia itu saat ini kebutuhan energinya, mengimpor yang utama itu dua. Yang pertama adalah minyak, yang sangat banyak digunakan untuk transportasi, terutama transportasi darat. Yang kedua adalah LPG untuk masak," ujar Rachmat dalam diskusi di Jakarta, Rabu.
Rachmat mengatakan minyak menjadi penyumbang terbesar kedua emisi gas rumah kaca di Indonesia. Selain itu, sekitar 60 persen kebutuhan minyak nasional dipenuhi melalui impor, dengan rata-rata pengeluaran mencapai Rp250 triliun per tahun selama lima tahun terakhir.
Selain itu, pemerintah juga harus menanggung beban subsidi BBM yang mencapai Rp170 triliun dalam periode yang sama, demi menjaga mobilitas masyarakat tetap terjangkau.
Adapun polusi udara, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, juga menjadi masalah serius. Sebesar 40 hingga 60 persen polusi udara berasal dari emisi kendaraan bermotor.
"Kalau musim hujan, udara lagi bagus kualitasnya. Tapi kalau di musim kemarau, kondisi udara yang buruk, itu kita juga sudah lihat, data-datanya, sekitar 40 sampai 60 persen polusi udara itu bersumber dari emisi gas buang," ucapnya.
Rachmat menilai kendaraan listrik berbasis baterai sebagai solusi yang sudah matang secara teknologi untuk mengatasi masalah ini.
Baca juga: Kolaborasi pemerintah-pengusaha percepat adopsi EV
Editor : Budi Setiawanto
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2025