Bogor (Antara Megapolitan) - Jenderal Polisi H. Muhammad Tito Karnavian, PhD, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia mengatakan era kini, opini publik lebih banyak dipengaruhi media sosial. Sifat media sosial jauh lebih sulit untuk dikontrol.
Situasi perubahan demokrasi mengarah kepada demokrasi liberal dengan ciri menguatnya kebebasan di segala bidang yang bisa berdampak pada terdiktenya masyarakat oleh informasi negatif yang bisa memecah belah keutuhan komponen bangsa.
Hal ini disampaikan Kapolri saat menjadi keynote speech di Konvensi Nasional Humas (KNH) 2017 di IPB International Convention Center (IICC), Bogor (28/11). Insan humas ini akan menjadi corong tempat berkumpulnya orang yang bisa mempengaruhi opini publik.
Kita melihat bahwa masalah kehumasan dan masalah kebebasan berbicara ini makin mengemuka. Ada dua faktor yang membuat ini makin penting dalam kehidupan di Indonesia juga di dunia.
Fukuyama mengatakan yang muncul saat ini adalah demokrasi liberal. Dunia sudah mulai mengarah ke demokrasi liberal, rezim antidemokrasi bergururan. Gelombang tsunami demokrasi itu sudah menerjang Indonesia pada tahun 1998 dengan bergantinya sistem pemerintahah ke pemerintahan reformasi demokrasi yang mengarah ke liberal.
Menurut Jend. Tito, ciri-ciri demokrasi liberal adalah menguatnya kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum, kebebasan berserikat dan berkumpul, menguatnya peran legislatif dibandingkan eksekutif.
''Fenomena yang melanda kita sudah diprediksi oleh seorang tokoh bernama Alvin Toffler dengan bukunya yang berjudul The Third Wave. Ada tiga gelombang peradaban manusia dan saat ini kita sudah memasuki gelombang ketiga. Gelombang pertama saat ditemukannya cara bercocok tanam dan berternak, gelombang kedua ketika munculnya teknologi industri (mesin). Dan gelombang ketiga adalah ketika muncul teknologi informasi. Fenomena globalisasi didorong oleh teknologi informasi. The world is in your palm. Dengan gadget semua informasi bisa kita ketahui, perang pun bisa kita atur dari gadget,'' ujarnya
Iklim transparansi di publik ikut menguat juga. Pers bukan lagi sebagai suplement dalam demokrasi tapi sudah menjadi pilar ke empat demokrasi yakni sebagai pengawas dan bahkan bisa membentuk opini publik. Pers bahkan sudah menjadi industri dan terjadi kompetisi yang luar biasa di dunia pers.
''Mereka pasti mencari profit, mengejar untuk mendapat eksklusif news. Entah wawancara, gambarnya, dan tokoh2 tertentu,'' tambahnya.
Tapi kita juga melihat perubahan yang terjadi dengan teknologi informasi ini pers yang tadinya didominasi media konvensional mulai beralih ke media sosial (medsos). Dulu media konvensional mendikte publik sekarang sudah mulai bergeser.
Opini publk dulu bisa dibentuk oleh siapa yang punya pers atau media yang bisa dihitung dengan jari. Pers media konvensional sangat ditentukan oleh wartawan di lapang, koordinator liputan, pemimpin redaksi dan pemilik media itu. Artinya sepanjang kita bisa merangkul empat komponen ini maka amanlah.
''Tapi dengan medsos ,yang jauh lebih sulit dikontrol (youtube, twitter, intagram, facebook), semua orang menjadi pemilik, redaktur dan jurnalis pada saat yang bersamaan. Bahkan diperkirakan (karena kekuatannya) medsos akan overtake atau melampaui media konvensional dalam membentuk opini publik,'' ujarnya.
Medsos itu ada positif dan negatifnya juga. Positif karena membuat peran masyaraat dalam iklim demokrasi menguat untuk mengawasi pemerintah agar tidak otoriter, mengawasi aparatur negara dan segmen-segmen di internal masyarakat. Sistem pemerintahan menjadi kuat dan stabil siapapun pemerintahya.
''Negatifnya adalah keterbukaan yang terjadi akibat demokrasi ditambah kekuatan medsos dalam membentuk opini publik dan tidak bisa terkontrol ini bukan tanpa resiko. Seandainya sistem ini dimplan kepada masyarakat dengan pola demografinya yang di kelas menegah mungkin akan meminimalisisr dampak negatif kebebasan berbicara. Masyarakat dewasa untuk mencerna sesuatu yang masuk dari ruang publik. Mereka stabil karena terdidik, terlaith dan cukup secara ekonomi sehingga rasional. Tapi jika fenomena ini diimplan kepada masyarakat yang didominasi oleh masyarakat kelas bawah, ini bahaya. Karena kelas bawah ini kurang terdidik. Mungkin banyak ketidakpuasan terhadap keadaan yang ada pada sistem sehingga menginginkan perubahan instan. Mereka bisa terdikte dengan mudah oleh media-media yang muncul. Ini bisa membuat polarisasi pada masyarakat,'' ujarnya.
Apalagi dua tahun ke depan adalah tahun politik dimana akan dilakukan pemilihan 17 Gubernur pada tahun 2018 dan pada tahun 2019 dilakukan pemilihan serentak presiden dan wakil presiden serta anggota legislatif.
Politik adalah bagaimana kita mendapatkan kekuasaan atau mempertahankan kekuasaan dengan mempengaruhi orang lain. Kadang kala dalam politik, segala cara dihalalkan.
''Yang repot tadi kalau menghalalkan segala cara dan cara itu digunakan meskipun bisa mengoyak persatuan bangsa dan negara. Kita tentu berharap para politikus kita bersikap dewasa dengan tidak menggunakan isu-isu yang bisa memecah belah bangsa. Gunakan moral dan etika untuk bertanggung jawab terhadap publik. Sudah 72 tahun Indonesia merdeka dan kita masih menjadi satu bangsa. Beda dengan negara lain yang sudah pecah. Kita jangan menganggap itu sesuatu yang biasa, sekali lepas satu itu akan efek domino,'' tuturnya.
Indonesia adalah bangsa yang sangat beragam, kalau terekploitasi bisa terpecah. Kita harus mampu menekan perbedaan ini dan kita gemakan kesamaan kita, kesamaan sejarah dan tujuan pembangunan ini. Semua perbedaan harus dinafikkan.
''Olehkarena itu, saya minta rekan-rekan jajaran humas mampu untuk mendukung langkah-langkah kita semua untuk merekatkan bangsa ini,'' tandasnya.(zul)
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2017
Situasi perubahan demokrasi mengarah kepada demokrasi liberal dengan ciri menguatnya kebebasan di segala bidang yang bisa berdampak pada terdiktenya masyarakat oleh informasi negatif yang bisa memecah belah keutuhan komponen bangsa.
Hal ini disampaikan Kapolri saat menjadi keynote speech di Konvensi Nasional Humas (KNH) 2017 di IPB International Convention Center (IICC), Bogor (28/11). Insan humas ini akan menjadi corong tempat berkumpulnya orang yang bisa mempengaruhi opini publik.
Kita melihat bahwa masalah kehumasan dan masalah kebebasan berbicara ini makin mengemuka. Ada dua faktor yang membuat ini makin penting dalam kehidupan di Indonesia juga di dunia.
Fukuyama mengatakan yang muncul saat ini adalah demokrasi liberal. Dunia sudah mulai mengarah ke demokrasi liberal, rezim antidemokrasi bergururan. Gelombang tsunami demokrasi itu sudah menerjang Indonesia pada tahun 1998 dengan bergantinya sistem pemerintahah ke pemerintahan reformasi demokrasi yang mengarah ke liberal.
Menurut Jend. Tito, ciri-ciri demokrasi liberal adalah menguatnya kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum, kebebasan berserikat dan berkumpul, menguatnya peran legislatif dibandingkan eksekutif.
''Fenomena yang melanda kita sudah diprediksi oleh seorang tokoh bernama Alvin Toffler dengan bukunya yang berjudul The Third Wave. Ada tiga gelombang peradaban manusia dan saat ini kita sudah memasuki gelombang ketiga. Gelombang pertama saat ditemukannya cara bercocok tanam dan berternak, gelombang kedua ketika munculnya teknologi industri (mesin). Dan gelombang ketiga adalah ketika muncul teknologi informasi. Fenomena globalisasi didorong oleh teknologi informasi. The world is in your palm. Dengan gadget semua informasi bisa kita ketahui, perang pun bisa kita atur dari gadget,'' ujarnya
Iklim transparansi di publik ikut menguat juga. Pers bukan lagi sebagai suplement dalam demokrasi tapi sudah menjadi pilar ke empat demokrasi yakni sebagai pengawas dan bahkan bisa membentuk opini publik. Pers bahkan sudah menjadi industri dan terjadi kompetisi yang luar biasa di dunia pers.
''Mereka pasti mencari profit, mengejar untuk mendapat eksklusif news. Entah wawancara, gambarnya, dan tokoh2 tertentu,'' tambahnya.
Tapi kita juga melihat perubahan yang terjadi dengan teknologi informasi ini pers yang tadinya didominasi media konvensional mulai beralih ke media sosial (medsos). Dulu media konvensional mendikte publik sekarang sudah mulai bergeser.
Opini publk dulu bisa dibentuk oleh siapa yang punya pers atau media yang bisa dihitung dengan jari. Pers media konvensional sangat ditentukan oleh wartawan di lapang, koordinator liputan, pemimpin redaksi dan pemilik media itu. Artinya sepanjang kita bisa merangkul empat komponen ini maka amanlah.
''Tapi dengan medsos ,yang jauh lebih sulit dikontrol (youtube, twitter, intagram, facebook), semua orang menjadi pemilik, redaktur dan jurnalis pada saat yang bersamaan. Bahkan diperkirakan (karena kekuatannya) medsos akan overtake atau melampaui media konvensional dalam membentuk opini publik,'' ujarnya.
Medsos itu ada positif dan negatifnya juga. Positif karena membuat peran masyaraat dalam iklim demokrasi menguat untuk mengawasi pemerintah agar tidak otoriter, mengawasi aparatur negara dan segmen-segmen di internal masyarakat. Sistem pemerintahan menjadi kuat dan stabil siapapun pemerintahya.
''Negatifnya adalah keterbukaan yang terjadi akibat demokrasi ditambah kekuatan medsos dalam membentuk opini publik dan tidak bisa terkontrol ini bukan tanpa resiko. Seandainya sistem ini dimplan kepada masyarakat dengan pola demografinya yang di kelas menegah mungkin akan meminimalisisr dampak negatif kebebasan berbicara. Masyarakat dewasa untuk mencerna sesuatu yang masuk dari ruang publik. Mereka stabil karena terdidik, terlaith dan cukup secara ekonomi sehingga rasional. Tapi jika fenomena ini diimplan kepada masyarakat yang didominasi oleh masyarakat kelas bawah, ini bahaya. Karena kelas bawah ini kurang terdidik. Mungkin banyak ketidakpuasan terhadap keadaan yang ada pada sistem sehingga menginginkan perubahan instan. Mereka bisa terdikte dengan mudah oleh media-media yang muncul. Ini bisa membuat polarisasi pada masyarakat,'' ujarnya.
Apalagi dua tahun ke depan adalah tahun politik dimana akan dilakukan pemilihan 17 Gubernur pada tahun 2018 dan pada tahun 2019 dilakukan pemilihan serentak presiden dan wakil presiden serta anggota legislatif.
Politik adalah bagaimana kita mendapatkan kekuasaan atau mempertahankan kekuasaan dengan mempengaruhi orang lain. Kadang kala dalam politik, segala cara dihalalkan.
''Yang repot tadi kalau menghalalkan segala cara dan cara itu digunakan meskipun bisa mengoyak persatuan bangsa dan negara. Kita tentu berharap para politikus kita bersikap dewasa dengan tidak menggunakan isu-isu yang bisa memecah belah bangsa. Gunakan moral dan etika untuk bertanggung jawab terhadap publik. Sudah 72 tahun Indonesia merdeka dan kita masih menjadi satu bangsa. Beda dengan negara lain yang sudah pecah. Kita jangan menganggap itu sesuatu yang biasa, sekali lepas satu itu akan efek domino,'' tuturnya.
Indonesia adalah bangsa yang sangat beragam, kalau terekploitasi bisa terpecah. Kita harus mampu menekan perbedaan ini dan kita gemakan kesamaan kita, kesamaan sejarah dan tujuan pembangunan ini. Semua perbedaan harus dinafikkan.
''Olehkarena itu, saya minta rekan-rekan jajaran humas mampu untuk mendukung langkah-langkah kita semua untuk merekatkan bangsa ini,'' tandasnya.(zul)
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2017