Bogor (Antara Megapolitan) - Guru besar tetap Fakultas Perikanan dan Ilmu Keluatan Institut Pertanian Bogor Prof Sri Purwaningsih, MSi mengungkap sejumlah potensi hasil perairan Indonesia yang paling prospektif berdasarkan hasil penelitiannya.

Dalam orasi ilmiah guru besar IPB di Kampus Dramaga, Sabtu, Prof Sri membeberkan beberapa hasil perairan yang telah ditelitinya seperti buah dan daun bakau hitam, keong mata merah, keong bakau, cacing laut dan lainnya.

"Laut Indonesia merupakan wilayah perairan dengan keanekaragaman hayati terbesar di dunia, ini modal dasar untuk mengembangkan nutraseutika dan farmaseutika dari perairan," kata Sri.

Nutraseutika adalah suatu sediaan yang mengandung bahan aktif alami yang diisolasi dan diekstraksi dari hasil perairan yang dibutuhkan oleh tubuh untuk memelihara kesehatan serta mencegah penyakit.

Sedangkan farmaseutika merupakan sediaan farmasi yang diisolasi dan diekstraksi dari bahan alami hasil perairan hingga siap digunakan sebagai obat.



Dosen Teknologi Hasil Perairan ini mengungakapkan masyarakat Indonesia secara turun temurun mengggunakan hasil perairan sebagai obat atau penambah stamina. Hal itu mengutungkan masyarakat pesisir atau nelayan untuk menjaga, membudidayakannya serta meningkatkan penghasilannya.

"Rumput laut (Gracilaria sp) selama ini dijual ke perusahaan agar-agar dengan harga tidak pasti, bisa dikembangkan menjadi beras pencegah diabetes," katanya.

Hasil perairan lainnya yakni Ikan glodok (Periophthalmodon schlosseri) bisa digunakan untuk menambah stamina. Karena, secara ilmiah ikan glodok mengandung taurin tinggi.

"Daging ikan glodok memiliki kadar taurin lebih tinggi dibanding biota perairan lainnya, bahkan sapi," kata Prof Sri.

Seperti diketahui taurin merupakan sumber tenaga bagi tubuh dan dapat meningkatkan vitalitas. Di Indonesia populasi ikan tersebar di sepanjang pantai Selatan Jawa, Segara Anakan Cilacap dan Nusakambangan, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, serta Maluku.

"Ikan glodok kini tidak laku dijual tetapi punya kandungan taurin tinggi, asam amino lebih kuat, banyak digunakan oleh ibu-ibu hamil untuk penambah stamina," katanya.

Sulung dari tujuh bersaudara ini juga meneliti Keong laut mata merah (Cerithidea obtuse) yang potensial untuk dikembangkan sebagai antikanker.

Berdasarkan hasil uji pada sel Vero nilai persen viabilitas tinggi dan mampu menghambat pertumbuhan sel HeLa sebesar 80,09 ppm.

"Hasil uji toksisitas akut bahwa ekstrak etanol keong matah merah tidak toksik," katanya.

Sri banyak meneliti potensi hasil perairan yang paling prospektif, ia juga menemukan kandungan mikroorganisme simbion dengan indeks selulolitik tinggi pada Tambelo yakni binatang laut berjenis moluska. Kelinci laut yang memiliki nilai asam amino sangat baik.

Penelitian tentang Cacing laut Siphonosoma australe-australe banyak ditemuka di wilayah Indo-Pasifik di perairan berpasir. Si China Selatan cacing laut telah lama digunakan sebagai obat tradisional untuk mengobati tuberkolosis, pengaturan fungsi lambung, dan limpa, serta pemulihan kesehatan yang disebabkan oleh patogen.

"Cacing laut di Indonesia banyak ditemukan di bagian tengah seperti Sulawesi, Maluku, Ambon, dan Banda," katanya.

Prof Sri juga meneliti potensi buah bakau (Rhizophora mucronata) yang telah ditapis aktivitasnya, yaitu sebagai antiviral, antibakteri, antioksidan, antijamur, san antiinflamasi.

Beberapa hasil penelitian Prof Sri masuk dalam buku inovasi 109 tahun 2017, inovasi 106 tahun 2016, dan inovasi 107 tahun 2015. Ia juga memegang paten untuk pemanfaatan buah bakau sebagai pelindung aktif kulit di tahun 2016, dan tiga penelitian lainnya sedang dalam proses paten.

Prof Sri mengatakan hasil perairan Indonesia begitu potensial, di era globalisasi ini bukan hanya cukup makan, tetapi harus sehat dan aman sehingga petani dan nelayan harus bisa menyediakan bahan kebutuhan masyarakat di masa mendatang.

Ia menambahkan kemajuan perikanan dan kelautan tropik tidak hanya tergantung dari nelayan, akademisi, pebisnis, tetapi yang paling menentukan adalah pemerintah.

"Selama ini pemerintah terlalu takut kehilangan plasma nutfa tapi kebijakan dalam penggunaan belum ada, di sini ada satu mata rantai yang putus maka diperlukan kebijakan dari pemerintah," kata Sri.

Pewarta: Laily Rahmawaty

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2017