Jakarta, (Antara Megapolitan) - Secara umum praktik demokrasi yang berjalan saat ini hanya sekadar demokrasi aksesoris, yang penuh symbol-simbol, yang belum menyentuh aspek substantiF dari demokrasi itu sendiri, sehingga menjadi ancaman bagi Indonesia.

Hal tersebut dikatakan oleh Chairman, Center for Islamic Studies in Finance, Economics, and Development (CISFED), Farouk Abdullah Alwyni dalam keterangan tertulisnya, Minggu.

Ia mengatakan memang rakyat terlibat dalam pesta politik baik itu di tingkat daerah atau pilkada, pemilu legislatif dan pilpres. Tapi esensi dari demokasi ini belum mampu menciptakan model pemerintahan yang lebih melindungi dan menyejahterakan rakyat, ataupun menciptakan birokrasi yang mudah dan melayani, serta penegakan hukum secara adil.

"Demokrasi asesoris seperti ini hanya menghasilkan elite elite politik yang memperkaya diri sendiri, keluarga dan kelompoknya. Mereka sibuk rebutan jabatan dan kekuasan, bukan komitmen mensejahterakan karena menyadari posisinya sebagai pelayan rakyat," katanya.

Ia mengatakan dalam konteks negara yang lebih maju, demokrasi akan berkembang pada penghormatan terhadap hak-hak sipil, rakyat dilindungi dan mendapat perlakuan sama didepan hukum.

Namun yang terjadi saat ini justru mereka yang punya jabatan atau berada di lingkaran kekuasaan mendapat perlakuan istimewa dari aparat ketika tersandung kasus hukum.

Sedangkan rakyat yang kritis terhadap pemerintah lewat media sosial bisa dengan mudahnya ditangkap dan dipidanakan layaknya penjahat kambuhan. Kondisi ini berbahaya dan tidak bisa dibiarkan karena menyangkut kebebasan berpendapat untuk checks and balances terhadap kebijakan pemerintah.

Kemudian, fenomena biasnya antara fungsi kritik dengan pencemaran nama baik menjadi tantangan bagi proses demokrasi di Indonesia. Kritik sosial terhadap pejabat negara atau pihak yang berkuasa ini penting sebagai cerminan dari semangat demokrasi.

"Karena, siapapun yang akan dan menjadi pejabat publik harus siap dikritik, bukannya alergi dengan sedikit-sedikit mempidanakan lawan politik dengan menggunakan pasal karet dalam Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)," ujarnya.

Menuurt dia, kita semua sepakat bahwa pengkritik pun jangan asbun, mudah menfitnah dan menyebarkan informasi tidak berdasar. Tapi harus jelas pula batasan-batasannya, mana itu kritik atau mana itu pencemaran nama baik. Secara bersama-sama perlu dibuat aturan mengenai batasan-batasan ini.

Dan semestinya polisi hadir sebagai entitas professional untuk melindungi, mengayomi, dan melayani rakyat selain juga sebagai fungsi penegakan hukum dan menjaga keamanan serta ketertiban. Begitu juga dengan pihak kejaksaan dan kehakiman.

"Ketika penegak hukum menjadi alat kepentingan politik, maka akan mengarah pada oligarki akibat negara dikuasai oleh sekelompok elite politik," tandas Farouk.

Juga, yang tidak kalah penting lagi adalah mengubah mental masyarakat yang bersifat neo-feodal agar kualitas demokrasi di Indonesia meningkat ke depan dan bisa menjadi negara maju.

"Neo feodalisme ini bertolak belakang dengan prinsip demokrasi yang bertumpu pada persamaan dan kesetaraan tanpa memandang status sosial," paparnya.

Adalah tanggung jawab bersama untuk meruntuhkan nilai-nilai neo-feodalisme yang masih mengakar kuat di masyarakat, kelompok-kelompok terdidik seperti mahasiswa, kalangan profesional dan kelompok cendekia lainnya perlu lebih berperan aktif dalam merombak kultur neo-feodal ini.

Hal ini, pada akhirnya akan bisa menciptakan demokrasi yang yang lebih subtantif, yakni yang mampu menciptakan birokrasi yang melayani dan profesional, aparat hukum yang juga professional dan imparsial dalam melindungi rakyat dan penegakan keadilan, dan sebuah pemerintahan yang berusaha keras dalam mensejahterakan warganya.

"Bukan demokrasi aksesoris yang melahirkan pejabat publik atau pemimpin koruptif yang memafaatkan hukum untuk mengkriminalisasi rakyat," demikian Farouk.

Pewarta: Feru Lantara

Editor : Feru Lantara


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2017