Bogor, 6/11 (ANTARA) - Keberadaan burung Ekek-geling jawa (Cissa thalassina) di Indonesia berstatus kritis, populasi burung endemik Pulau Jawa ini kian terancam akibat habitat alaminya rusak.

"Ancaman lain yang dihadapi Ekek-geling jawa adalah maraknya penangkapan untuk dijadikan sebagai burung peliharaan. Kompleksnya persoalan ekosistem yang dialami burung ini, menyebabkan keberadaanya diujung tandung," kata Dwi Mulyawati, Bird Conservation Officer Perhimpunan Pelestarian Burung Liar Indonesia (Burung Indonesia), di Bogor, Selasa.

Dwi menyebutkan, hutan merupakan habitat alami Ekek-geling jawa. Kerusakan hutan membuat keberadaan burung tersebut sulit dijumpai di alam.

Burung endemik Jawa ini telah mendapat pengakuan sebagai jenis tersendiri di Pulau Jawa sehingga menambah keragaman hayati Indonesia.

Ia menjelaskan,Ekek-geling jawa mendiami areal kaki bukit atau kawasan hutan dengan ketinggian antara 500 m - 2.000 m di atas permukaan laut.

"Terkadang, burung ini dapat ditemui di dataran rendah, daerah pertanian, serta tepi hutan," katanya.

Lebih lanjut Dwi menjelaskan, keberadaan Ekek-geling jawa tercatat di Taman Nasional Gunung Merapi dan tiga tempat di Jawa Barat yakni Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, dan hutan di kawasan Parahyangan bagian selatan.

"Diperkirakan populasinya sekitar 249 individu dewasa, burung yang satu kelompok dengan gagak ini menghadapi risiko kepunahan yang tinggi," ujar Dwi.

Secara spesifik, Ekek-geling jawa merupakan burung berukuran 32 cm yang didominasi warna hijau, berekor pendek, bersetrip mata hitam dengan iris coklat.

Kebiasaan burung ini, lanjut Dwi, adalah terbang dalam kelompok kecil dan memburu serangga di hutan.

Meski sering bersuara, namun agak sulit dilihat dikarenakan warna bulunya yang tersamarkan oleh hijaunya daun," katanya.

Menurut Dwi, sebelum menjadi jenis tersendiri, Ekek-geling jawa yang bernama Inggris Javan Green Magpie ini merupakan anak jenis dari ekek geling (Short-tailed Magpie) yang tersebar di Pulau Jawa dan Kalimantan.

Kini, lanjut dia, kedua anak jenis yang terpisah itu ditetapkan sebagai dua jenis yang berbeda pula. Ekek geling yang berada di Jawa menjadi ekek-geling jawa sementara ekek geling di Kalimantan menjadi ekek-geling borneo (Cissa jefferyi).

Dwi menyebutkan, berdasarkan referensi dari Bas van Balen, ornitologiwan (pakar burung) asal Belanda, pemisahan ekek geling ini didasarkan atas hasil studi terhadap perbedaan suara, morfologi, dan variasi bulu anak jenis ekek geling yang ada di Jawa dan Kalimantan tersebut.

"Namun begitu, nasib Ekek-geling jawa dan Ekek-geling borneo sangat berbeda," katanya.

Dwi mengungkapkan, jumlah populasi Ekek- geling borneo yang juga terdapat di hutan pegunungan Sabah, Malaysia dan Brunei ini terbilang cukup banyak. Sebagian besar populasinya yang berada di kawasan lindung membuat keberadaannya jauh dari cekaman.

"Burung endemik Kalimantan ini statusnya adalah Risiko Rendah (Least Concern/LC) dikarenakan populasinya di alam masih sekitar 10 ribu ekor," ujarnya.

Secara keseluruhan, Perhimpunan Pelestarian Burung Liar Indonesia (Burung Indonesia)?mencatat, jumlah jenis burung terancam punah tahun 2012 sebanyak 126 jenis. Rinciannya adalah 19 jenis berstatus Kritis (Critically Endangered/CR), 33 jenis berstatus Genting (Endangered/EN), dan 74 jenis tergolong Rentan (Vulnerable/VU). Semuanya itu, masuk dalam Daftar Merah International Union for Conservation of Nature (IUCN).

Dwi menuturkan, upaya perlindungan Ekek-geling jawa perlu dilakukan dengan cara menjaga kelestarian hutan alam Jawa dan penyebarluasan informasi tentang keberlangsungan hidup burung untuk menghentikan penangkapan.

"Sosialisasi dan pemberian pemahaman kepada masyarakat harus dilakukan agar populasi jenis pendatang baru ini terpelihara," katanya.


Laily R

Pewarta:

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2012