"Sampai saat ini saya tidak bisa melupakan kejadian tersebut," kata Delisa Fitri Rahmadani mengenai gempa bumi skala 9,3 Skala Richter yang diikuti gelombang panas tsunami di Bumi Serambi Makkah, Aceh, pada Minggu pagi 26 Desember 2004.
Saat bencana dahsyat yang juga dirasakan sejumlah negara lain, Delisa baru genap berusia tujuh tahun pada 15 Desember 2004 atau sebelas hari sebelum tragedi yang menewaskan ratusan ribu orang tersebut.
Delisa mengungkapkan bahwa dia ikut tersapu gelombang laut sejauh delapan kilometer dari tempat tinggalnya di kawasan pesisir pantai Ulee Lheu, Banda Aceh. Ia ditemukan oleh seorang warga bernama Didi, di Lamteumen, Banda Aceh, dalam kondisi pingsan, tanpa sehelai benang di tubuh karena terkoyak dalam air yang menyeret dirinya.
Takdir Illahi membawanya masih tetap hidup dan tumbuh dewasa hingga saat ini, meskipun harus kehilangan kaki kirinya. Ia juga kehilangan ibu dan dua saudara kandung. Ayahnya saat kejadian sedang di luar kota.
Orang Aceh menyebut tsunami dengan ie beuna atau air bah yang jauh di laut mengempas daratan.
Pagi Ahad pagi jelang akhir tahun 2004 itu, tepat pukul 07.58 WIB, gempa dahsyat mengguncang provinsi paling barat Indonesia itu. Masyarakat berhamburan penuh ketakutan.
Setelah gempa pertama, sekitar 10-15 menit kemudian, gempa kedua mengguncang bumi, disusul gelombang tsunami yang menenggelamkan daratan secara tak terduga.
“Itu adalah momen terakhir bertemu dengan ibu Delisa," kata Delisa mengenang peristiwa tragis yang harus dia alami saat masih kecil.
Tubuh Delisa bergerak saat diangkat kala ditemukan, memberi sinyal bahwa dirinya masih hidup. Ia dievakuasi ke Rumah Sakit Fakinah namun layanan kesehatan di rumah sakit itu pun lumpuh total. Delisa dibawa Didi ke rumah Didi untuk dibersihkan luka dengan obat merah seadanya.
Lantaran fasilitas kesehatan tak memadai, luka kaki semakin parah, sehingga terpaksi diamputasi pada hari kelima pascatsunami di RS Kesdam Iskandar Muda Banda Aceh. Pada hari itu juga, Delisa bertemu dengan ayahnya yang kembali ke Banda Aceh pada hari kedua tsunami. Dalam kurun waktu enam bulan, Delisa menjalani tiga kali amputasi di kaki kirinya.
Menghadapi trauma dan kehilangan, Delisa tetap berdiri teguh, berjuang untuk masa depan, dan bertekad agar masyarakat lebih siap menghadapi bencana.
Kini, ia tinggal di daerah pegunungan Ujoeng Batee, Aceh Besar, bersama ibu sambungnya, sedangkan ayahnya sudah meninggal dunia pada 2015.
Delisa bekerja di Bank Syariah Indonesia di Aceh. Meskipun hidup dengan disabilitas, ia merasa beruntung bisa mendapatkan dukungan dari lingkungan sekitar.
Delisa menyadari mitigasi bencana bukan hanya tugas pemerintah atau ahli bencana, melainkan juga tanggung jawab setiap individu.
Setelah mengalami lampak tsunami, ia bertekad berbagi pengalaman dan membangun kesadaran masyarakat tentang kesiapsiagaan menghadapi bencana.
Pendidikan mitigasi bencana harus dimulai dari tingkat keluarga. Setiap keluarga harus memiliki rencana darurat, misalnya, menentukan tempat berkumpul yang aman dan barang apa saja yang harus dibawa apabila terjadi gempa atau tsunami.
Baca juga: PFI Aceh pamerkan foto bangkit dari tsunami
Baca juga: Panglima Laot Aceh larang para nelayan melaut saat peringati 20 tahun tsunami
Baca juga: Menjaga mangrove, si perisai hijau, untuk meredam tsunami
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2024