Jakarta, (Antara Megapolitan) - Direktur Par Indonesia Strategic Research, Guspiabri Sumowigeno mengatakan penyelesaian tragedi kemanusiaan di Rohingya, Myanmar merupakan ujian kepemimpinan Indonesia di kawasan Asia Tenggara.

"Publik nasional menunggu dengan cemas apakah diplomasi oleh Menlu RI Retno LP. Marsudi terhadap rezim Myanmar akan membuahkan hasil atau tidak," kata Guspiabri di Jakarta, Senin.

Ia mengatakan jika dalam waktu 24 jam sejak Menlu Retno meninggalkan Myanmar, perilaku rezim Myanmar tidak berubah terhadap suku Rohingnya, maka kegiatan diplomasi yang digagas RI bisa dikatakan belum berhasil.

Guspiabri mengingatkan bahwa kesediaan Myanmar menerima dan berdialog dengan Menlu Retno LP. Marsudi bukanlah jaminan bahwa rezim Myanmar pasti akan melunak pada protes internasional yang semakin meluas atas tindakan mereka terhadap suku Rohingnya.

"Terutama yang bersifat sangat segera adalah penghentian penyiksaan dan pembunuhan terhadap suku Rohingya," ucapnya.

Menurutnya peluang kearah perubahan itu tidak besar karena pelanggaran HAM yang masif dan terstruktur atas suku Rohingnya sudah berlangsung lama (seperti tidak diakuinya suku ini sebagai bagian dari bangsa Myanmar) dan bisa dikatakan telah menjadi kebijakan negara yang kini dipimpin oleh pemegang hadiah Nobel itu.

Dikatakannya jika perilaku rezim Myanmar tidak berubah, RI dipermalukan. Sebaliknya, bila proposal yang diajukan pemerintah RI berhasil mengubah perilaku rezim Myanmar, maka kepemimpinan RI di Asia Tenggara akan semakin terlembaga.

"Itu juga berarti RI mulai mampu mengimbangi pengaruh China di kawasan ini," tuturnya.

Lebih lanjut Guspi mengatakan bukan rahasia lagi kalau selama ini rezim Myanmar cenderung bersandar pada dukungan politik dan ekonomi dari Beijing.

Tapi, jika RI dipermalukan dan mengingat sensitivitasnya isu ini, Presiden Jokowi perlu bertanya pada DPR-RI, apakah langkah berikut yang dapat dilakukan Pemerintah RI.

"DPR-RI perlu teliti mendengar kemarahan publik nasional dan mengkonversinya bukan hanya sebagai dalam format kecaman, tetapi format paket ancaman terhadap rezim Myanmar," ujarnya.

Guspi mengatakan ancaman itu bisa berupa inisiatif Indonesia untuk membawa persoalan ini ke lingkungan internasional yang lebih luas, seruan Indonesia agar komunitas internasional melalui PBB melakukan intervensi militer untuk alasan kemanusiaan dan membentuk mahkamah internasional untuk mengadili semua elemen rezim Myanmar yang terlibat dalam pembantaian suku Rohingnya.

Dikatakannya pemerintah perlu diingatkan bahwa kerangka diplomasi RI terhadap Myanmar juga tak bisa mengabaikan pendekatan terhadap Beijing dan New Delhi yang punya banyak kepentingan ekonomi di sana, agar ikut mengoreksi perilaku rezim Myanmar terhadap suku Rohingnya.

"Publik perlu memahami bahwa diplomasi terhadap Myanmar mungkin akan berlangsung alot dan berkembang lebih kompleks. Bukan hanya karena inisiatif Indonesia, tetapi juga karena dorongan dunia internasional yang menuntut tanggung jawab Indonesia sebagai negara terbesar dikawasan ASEAN," imbuhnya.

Pewarta: Feru Lantara

Editor : Feru Lantara


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2017