"Dalam setiap langkah, saya berucap, Ya Allah, kenapa tidak nyawa ini engkau ambil saja sekalian. Untuk apa lagi hidup kalau tidak bisa bertemu kembali dengan anak-anak, dengan istri, teman, tetangga kami, semua hilang begitu saja”.
Demikian sepenggal pengalaman pilu yang keluar dari mulut Syukur, salah seorang korban tsunami Aceh yang menggambarkan ketidakstabilan kondisinya kala dirundung nestapa puluhan tahun lalu.
Suaranya terbata-bata seolah masih tidak menyangka maha dahsyat tsunami telah meluluhlantahkan seisi kampungnya, pada Minggu pagi, 26 Desember 2004. Dia mengaku sangat frustasi dengan kenyataan yang dihadapinya saat itu.
Tak mudah bagi pria berusia 55 tahun ini menahan kenangan yang meluruhkan hati. Ingatannya melayang kembali ke masa lampau tatkala menyaksikan gelaran detik-detik tragedi tsunami dimainkan oleh anak-anak pelakon Teater Kosong di Balai Meuseuraya Aceh, Banda Aceh.
Adegan seorang anak perempuan berteriak mencari ibunya di atas panggung berlatarkan layar plasma yang menayangkan video suasana Aceh yang rata dengan tanah dan diiringi syair Seudati Atjeh tampak memengaruhi emosi Syukur, hingga berlinanglah air matanya.
Kesedihan pria berambut cepak ini agaknya juga dirasakan oleh para penonton teatrikal yang digelar dalam rangkaian forum Second UNESCO-IOC Global Tsunami Symposium. Forum yang diinisiasi UNESCO Intergovernmental Oceanographic Commission (IOC) dan Pemerintah Indonesia melalui Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) iyu untuk memperkuat strategi mitigasi bencana tsunami berbasis teknologi dan komunitas di negara sekitar Samudera Hindia.
Simposium ini sekaligus menjadi momentum untuk memperingati 20 tahun peristiwa tsunami Samudera Hindia 2004 yang berdampak besar di Aceh. Sekitar 1.000 peserta, termasuk ilmuwan, ahli kebencanaan dari 54 negara seperti Jepang, Amerika Selatan, Spanyol, Italia, India, Bangladesh, China, Srilangka, India, Maldives, Malaysia, Myanmar, Seychelles, Afrika Selatan ikut berpartisipasi.
Dari balkon lantai dua yang paling atas balai musyawarah warga Aceh ini terdengar sayup-sayup suara isak tangis, sebagian bahkan menundukkan kepala membayangkan rasa kehilangan orang terkasih yang mungkin juga pernah mereka rasakan, termasuk Dr Harkunti P. Rahayu, Chair of The Programming Committee Second UNESCO-IOC Global Tsunami Symposium.
Syukur memberi kesaksian. Pagi itu baru saja ia meminum beberapa teguk teh buatan sang istri, seraya membersihkan debu disela-sela perabotan dan menata bingkai foto pada buffet rotan yang ada di ruang tamu. Seketika bumi berguncang dan kaca jendela berderik keras.
“Saya sadar ini gempa!,” katanya kepada sang istri. Setelah itu dengan lekas mereka menggendong kedua orang buah hatinya keluar dari rumah.
Burung-burung berterbangan menjauh dari laut, seolah menjadi tanda kondisi tidak baik-baik saja. Syukur membawa keluarganya dengan kereta –sepeda motor– untuk menjauh dari rumah yang berjarak sekitar 500 meter dari bibir pantai pesisir barat Aceh ini.
Namun nahas, belum sempat melaju kencang dengan keretanya, gelombang laut yang melengkung bergemuruh, dan menurut Syukur berukuran lebih tinggi dari pohon kelapa itu, seketika menghantam mereka tanpa ampun, Minggu pagi sekitar pukul 08.00 WIB.
Hantaman gelombang tsunami ini memisahkan Syukur dengan tiga orang bidadari kehidupannya. Bingung bukan kepalang karena tidak ada yang bisa lagi ia dikenali, kecuali hanya sisa-sisa kehancuran sepanjang mata memandang. Syukur yang kala itu berusia 33 tahun merasakan yang namanya putus asa.
“Saya baru melihat kehidupan ketika bertemu kembali dengan istri saya beberapa saat selepas magrib,” katanya sembari melepas senyum.
“Anak kandung saya dua-duanya perempuan yang tua baru berusia enam dan dan adek, empat tahun, mereka pergi untuk selamanya,” imbuhnya sembari berusaha tegar supaya tidak memancing kesedihan sejumlah warga yang mendampinginya saat diwawancara.
Semangat untuk bangkit
Di Syukrullah adalah warga asli Lamkruet, Kecamatan Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh. Saat ini sedang dipercaya masyarakat setempat untuk menjadi Keuchik Gampong Lamkruet – Kepala Desa Lamkruet— dan bertekad menciptakan kesiapsiagaan menghadapi bencana bagi warga desanya.
Bagi Syukur -- panggilan akrab Di Syukrullah-- tragedi tsunami harus selalu diingat selamanya, diekspresikan untuk menjadi pembangkit semangat dan meningkatkan ketaqwaan sehingga dipermudah dalam upaya menata kehidupan baru yang lebih baik, bukan justru menjerat diri dalam kesedihan.
Kesadaran ini pula yang terus ditanamkan sang Keuchik kepada 360 kepala keluarga atau 1.700-an orang warga desanya dalam lima tahun terakhir.
Ia selalu menggugah masyarakat untuk lebih siap menghadapi segala potensi bencana, karena lokasi desa yang indah ini berada berbatasan dengan perairan Samudra Hindia, pemicu tsunami 2004.
Melalui berbagai seminar, penyuluhan, hingga pelatihan terkait upaya mitigasi bencana yang digelar oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, Syukur dan warganya yang kebanyakan berpenghasilan dari sektor jasa pariwisata dan berkebun, sudah bisa mengaplikasikan sistem mitigasi bencana.
Mereka bergotong-royong menyiapkan jalur evakuasi lengkap dengan papan informasi zona bahaya, dan membentuk tim sukarelawan secara mandiri. Di bawah pendampingan langsung tim BMKG dan Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA), sistem mitigasi bencana di Lamkreut kian disempurnakan.
Sejak Agustus 2024 sejumlah kawasan di Desa Lamkreut sudah dipasangkan sejumlah sirene peringatan tsunami, memiliki jalur evakuasi lengkap dengan peta, hingga sukarelawan pemantau gelombang juga mendapatkan pelatihan teknis yang intens.
Kini, Desa Lamkreut tidak hanya menjadi simbol ketangguhan masyarakat Aceh, tetapi juga contoh kesiapsiagaan bagi desa-desa di Indonesia.
Dari Aceh untuk dunia
Desa Lamkruet, Mo Ikeun, Deah Glumpang, dan Gampong Jawa kini menjadi desa Indonesia yang mendapat pengakuan sebagai bagian dari komunitas masyarakat di dunia yang berkompeten dalam menghadapi bencana tsunami dari Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO).
Pengakuan ini menjadi bukti bahwa masyarakat Aceh mampu mengubah kesedihan menjadi kekuatan menghadapi potensi tsunami dengan membuat manajemen mitigasi bencana yang lebih tangguh dan terstruktur.
Ketangguhan empat desa di Aceh ini juga berlaku bagi desa-desa pesisir lain di Indonesia yang membangun kesiapsiagaan menghadapi ancaman tsunami seperti; Panggarangan, Purus, Lolong Belanti, Tapakis, Pangandaran, Kemadang, Glagah, Sidaurip, Tambakrejo, Tanjung Benoa, Pengastulan, Kuta Mandalika, Hative Kecil, Galala, Gadingsari, Poncosari, Tirtohargo, Parangtritis.
Di bawah pendampingan ketat dari tim verifikatur BMKG selama satu tahun terakhir ini, akhirnya semua desa/keluranan tersebut juga mendapatkan pengakuan oleh UNESCO sebagai komunitas siaga tsunami. Menjadi sebuah penghomatan karena sertifikat diberikan langsung oleh Sekretaris Eksekutif UNESCO-IOC Vidar Helgesen kepada para perwakilan masyarakat dari 22 desa di Balai Meuseuraya Aceh.
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menyatakan bahwa selain menegaskan kesiapan masyarakat menghadapi potensi bencana, pengakuan sebagai komunitas siaga tsunami UNESCO adalah prestasi yang membanggakan karena sangat sulit untuk meraihnya.
Desa tersebut harus memenuhi 12 indikator Tsunami Ready Community dari UNESCO mulai dari peta zona rawan (IoT), jalur evakuasi lengkap dengan rambu-rambu bahaya, hingga sistem peringatan dini terintegrasi dan data jumlah penduduk di zona rawan.
Penguatan komunitas masyarakat untuk merespons potensi bencana menjadi kebutuhan mendesak selain peningkatan kapasitas teknologi peringatan dini bencana. Pasalnya tanpa kemampuan merespons potensi bencana yang terdeteksi maka semua kecanggihan teknologi akan sia-sia.
Pembentukan Tsunami Ready Community ini semakin penting karena termuat dalam Deklarasi Aceh yang dilahirkan oleh 54 negara dalam simposium UNESCO-IOC di bumi Serambi Mekkah ini. PBB mendorong seluruh negara yang berhadapan dengan potensi tsunami harus mempersiapkan kesiapsiagaan masyarakatnya sebelum tahun 2030.
Tsunami Aceh 2004, menjadi tonggak penting untuk terbentuknya sistem peringatan dini tsunami bagi seluruh negara di empat samudra; Samudra Hindia, Pasifik, Karibia, Mediterania dan Laut Utara, karena ketiadaan alat pendeteksi tsunami kala itu.
Komitmen ini di antaranya membuat lebih dari 600 sensor seismik terpasang di wilayah Indonesia termasuk seluruh wilayah Aceh.
Hal itu memungkinkan Indonesia mampu mendeteksi peringatan dini tsunami dalam waktu kurang dari lima menit setelah gempa terjadi. Tidak hanya menjaga keamanan masyarakat domestik, tetapi juga memberikan informasi peringatan dini tsunami ke sejumlah negara di dunia, khususnya negara kawasan Samudra Hindia.
Selama 20 tahun, semangat kebersamaan global untuk kemanusiaan terus bergelora. Dari Aceh, Indonesia, dunia belajar bahwa kesiapsiagaan bencana bukan hanya soal teknologi tetapi juga tentang komitmen kolektif masyarakat dalam membangun ketangguhan seperti yang dicontohkan Keuchik Di Syukrullah.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2024
Demikian sepenggal pengalaman pilu yang keluar dari mulut Syukur, salah seorang korban tsunami Aceh yang menggambarkan ketidakstabilan kondisinya kala dirundung nestapa puluhan tahun lalu.
Suaranya terbata-bata seolah masih tidak menyangka maha dahsyat tsunami telah meluluhlantahkan seisi kampungnya, pada Minggu pagi, 26 Desember 2004. Dia mengaku sangat frustasi dengan kenyataan yang dihadapinya saat itu.
Tak mudah bagi pria berusia 55 tahun ini menahan kenangan yang meluruhkan hati. Ingatannya melayang kembali ke masa lampau tatkala menyaksikan gelaran detik-detik tragedi tsunami dimainkan oleh anak-anak pelakon Teater Kosong di Balai Meuseuraya Aceh, Banda Aceh.
Adegan seorang anak perempuan berteriak mencari ibunya di atas panggung berlatarkan layar plasma yang menayangkan video suasana Aceh yang rata dengan tanah dan diiringi syair Seudati Atjeh tampak memengaruhi emosi Syukur, hingga berlinanglah air matanya.
Kesedihan pria berambut cepak ini agaknya juga dirasakan oleh para penonton teatrikal yang digelar dalam rangkaian forum Second UNESCO-IOC Global Tsunami Symposium. Forum yang diinisiasi UNESCO Intergovernmental Oceanographic Commission (IOC) dan Pemerintah Indonesia melalui Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) iyu untuk memperkuat strategi mitigasi bencana tsunami berbasis teknologi dan komunitas di negara sekitar Samudera Hindia.
Simposium ini sekaligus menjadi momentum untuk memperingati 20 tahun peristiwa tsunami Samudera Hindia 2004 yang berdampak besar di Aceh. Sekitar 1.000 peserta, termasuk ilmuwan, ahli kebencanaan dari 54 negara seperti Jepang, Amerika Selatan, Spanyol, Italia, India, Bangladesh, China, Srilangka, India, Maldives, Malaysia, Myanmar, Seychelles, Afrika Selatan ikut berpartisipasi.
Dari balkon lantai dua yang paling atas balai musyawarah warga Aceh ini terdengar sayup-sayup suara isak tangis, sebagian bahkan menundukkan kepala membayangkan rasa kehilangan orang terkasih yang mungkin juga pernah mereka rasakan, termasuk Dr Harkunti P. Rahayu, Chair of The Programming Committee Second UNESCO-IOC Global Tsunami Symposium.
Syukur memberi kesaksian. Pagi itu baru saja ia meminum beberapa teguk teh buatan sang istri, seraya membersihkan debu disela-sela perabotan dan menata bingkai foto pada buffet rotan yang ada di ruang tamu. Seketika bumi berguncang dan kaca jendela berderik keras.
“Saya sadar ini gempa!,” katanya kepada sang istri. Setelah itu dengan lekas mereka menggendong kedua orang buah hatinya keluar dari rumah.
Burung-burung berterbangan menjauh dari laut, seolah menjadi tanda kondisi tidak baik-baik saja. Syukur membawa keluarganya dengan kereta –sepeda motor– untuk menjauh dari rumah yang berjarak sekitar 500 meter dari bibir pantai pesisir barat Aceh ini.
Namun nahas, belum sempat melaju kencang dengan keretanya, gelombang laut yang melengkung bergemuruh, dan menurut Syukur berukuran lebih tinggi dari pohon kelapa itu, seketika menghantam mereka tanpa ampun, Minggu pagi sekitar pukul 08.00 WIB.
Hantaman gelombang tsunami ini memisahkan Syukur dengan tiga orang bidadari kehidupannya. Bingung bukan kepalang karena tidak ada yang bisa lagi ia dikenali, kecuali hanya sisa-sisa kehancuran sepanjang mata memandang. Syukur yang kala itu berusia 33 tahun merasakan yang namanya putus asa.
“Saya baru melihat kehidupan ketika bertemu kembali dengan istri saya beberapa saat selepas magrib,” katanya sembari melepas senyum.
“Anak kandung saya dua-duanya perempuan yang tua baru berusia enam dan dan adek, empat tahun, mereka pergi untuk selamanya,” imbuhnya sembari berusaha tegar supaya tidak memancing kesedihan sejumlah warga yang mendampinginya saat diwawancara.
Semangat untuk bangkit
Di Syukrullah adalah warga asli Lamkruet, Kecamatan Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh. Saat ini sedang dipercaya masyarakat setempat untuk menjadi Keuchik Gampong Lamkruet – Kepala Desa Lamkruet— dan bertekad menciptakan kesiapsiagaan menghadapi bencana bagi warga desanya.
Bagi Syukur -- panggilan akrab Di Syukrullah-- tragedi tsunami harus selalu diingat selamanya, diekspresikan untuk menjadi pembangkit semangat dan meningkatkan ketaqwaan sehingga dipermudah dalam upaya menata kehidupan baru yang lebih baik, bukan justru menjerat diri dalam kesedihan.
Kesadaran ini pula yang terus ditanamkan sang Keuchik kepada 360 kepala keluarga atau 1.700-an orang warga desanya dalam lima tahun terakhir.
Ia selalu menggugah masyarakat untuk lebih siap menghadapi segala potensi bencana, karena lokasi desa yang indah ini berada berbatasan dengan perairan Samudra Hindia, pemicu tsunami 2004.
Melalui berbagai seminar, penyuluhan, hingga pelatihan terkait upaya mitigasi bencana yang digelar oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, Syukur dan warganya yang kebanyakan berpenghasilan dari sektor jasa pariwisata dan berkebun, sudah bisa mengaplikasikan sistem mitigasi bencana.
Mereka bergotong-royong menyiapkan jalur evakuasi lengkap dengan papan informasi zona bahaya, dan membentuk tim sukarelawan secara mandiri. Di bawah pendampingan langsung tim BMKG dan Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA), sistem mitigasi bencana di Lamkreut kian disempurnakan.
Sejak Agustus 2024 sejumlah kawasan di Desa Lamkreut sudah dipasangkan sejumlah sirene peringatan tsunami, memiliki jalur evakuasi lengkap dengan peta, hingga sukarelawan pemantau gelombang juga mendapatkan pelatihan teknis yang intens.
Kini, Desa Lamkreut tidak hanya menjadi simbol ketangguhan masyarakat Aceh, tetapi juga contoh kesiapsiagaan bagi desa-desa di Indonesia.
Dari Aceh untuk dunia
Desa Lamkruet, Mo Ikeun, Deah Glumpang, dan Gampong Jawa kini menjadi desa Indonesia yang mendapat pengakuan sebagai bagian dari komunitas masyarakat di dunia yang berkompeten dalam menghadapi bencana tsunami dari Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO).
Pengakuan ini menjadi bukti bahwa masyarakat Aceh mampu mengubah kesedihan menjadi kekuatan menghadapi potensi tsunami dengan membuat manajemen mitigasi bencana yang lebih tangguh dan terstruktur.
Ketangguhan empat desa di Aceh ini juga berlaku bagi desa-desa pesisir lain di Indonesia yang membangun kesiapsiagaan menghadapi ancaman tsunami seperti; Panggarangan, Purus, Lolong Belanti, Tapakis, Pangandaran, Kemadang, Glagah, Sidaurip, Tambakrejo, Tanjung Benoa, Pengastulan, Kuta Mandalika, Hative Kecil, Galala, Gadingsari, Poncosari, Tirtohargo, Parangtritis.
Di bawah pendampingan ketat dari tim verifikatur BMKG selama satu tahun terakhir ini, akhirnya semua desa/keluranan tersebut juga mendapatkan pengakuan oleh UNESCO sebagai komunitas siaga tsunami. Menjadi sebuah penghomatan karena sertifikat diberikan langsung oleh Sekretaris Eksekutif UNESCO-IOC Vidar Helgesen kepada para perwakilan masyarakat dari 22 desa di Balai Meuseuraya Aceh.
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menyatakan bahwa selain menegaskan kesiapan masyarakat menghadapi potensi bencana, pengakuan sebagai komunitas siaga tsunami UNESCO adalah prestasi yang membanggakan karena sangat sulit untuk meraihnya.
Desa tersebut harus memenuhi 12 indikator Tsunami Ready Community dari UNESCO mulai dari peta zona rawan (IoT), jalur evakuasi lengkap dengan rambu-rambu bahaya, hingga sistem peringatan dini terintegrasi dan data jumlah penduduk di zona rawan.
Penguatan komunitas masyarakat untuk merespons potensi bencana menjadi kebutuhan mendesak selain peningkatan kapasitas teknologi peringatan dini bencana. Pasalnya tanpa kemampuan merespons potensi bencana yang terdeteksi maka semua kecanggihan teknologi akan sia-sia.
Pembentukan Tsunami Ready Community ini semakin penting karena termuat dalam Deklarasi Aceh yang dilahirkan oleh 54 negara dalam simposium UNESCO-IOC di bumi Serambi Mekkah ini. PBB mendorong seluruh negara yang berhadapan dengan potensi tsunami harus mempersiapkan kesiapsiagaan masyarakatnya sebelum tahun 2030.
Tsunami Aceh 2004, menjadi tonggak penting untuk terbentuknya sistem peringatan dini tsunami bagi seluruh negara di empat samudra; Samudra Hindia, Pasifik, Karibia, Mediterania dan Laut Utara, karena ketiadaan alat pendeteksi tsunami kala itu.
Komitmen ini di antaranya membuat lebih dari 600 sensor seismik terpasang di wilayah Indonesia termasuk seluruh wilayah Aceh.
Hal itu memungkinkan Indonesia mampu mendeteksi peringatan dini tsunami dalam waktu kurang dari lima menit setelah gempa terjadi. Tidak hanya menjaga keamanan masyarakat domestik, tetapi juga memberikan informasi peringatan dini tsunami ke sejumlah negara di dunia, khususnya negara kawasan Samudra Hindia.
Selama 20 tahun, semangat kebersamaan global untuk kemanusiaan terus bergelora. Dari Aceh, Indonesia, dunia belajar bahwa kesiapsiagaan bencana bukan hanya soal teknologi tetapi juga tentang komitmen kolektif masyarakat dalam membangun ketangguhan seperti yang dicontohkan Keuchik Di Syukrullah.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2024