Direktur Eksekutif The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII) Adinda Tenriangke Muchtar mengatakan, komponen kebutuhan hidup layak dalam standard upah yang termuat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 168/PUU/XXI/2023 menjadi hal positif bagi para pekerja termasuk buruh.

Adinda pun mengapresiasi putusan MK tersebut yang berpengaruh pada penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2025 itu.

“Putusan MK soal UMP yang akhirnya memasukkan komponen hidup layak itu, pertama patut diapresiasi, mengingat tantangan daya beli kita dari pandemi COVID-19 dan tantangan ekonomi global, dan ini adalah berita menyegarkan untuk teman-teman buruh dan pekerja,” ujar Adinda, di Banyuwangi, Jawa Timur, Sabtu.

Namun demikian, pihaknya menyebut bahwa kebijakan tersebut harus diletakkan pada konteks yang jelas, misalnya komponen hidup layak harus dilihat secara merinci soal lokasi perusahaan atau pemberi kerja, atau pekerja berada. Sebab, di tiap daerah di Indonesia terdapat biaya hidup yang berbeda-beda.

Baca juga: DKI pastikan UMP DKI Jakarta pada 2025 akan naik

Hal lain yang ia soroti, yakni perlu adanya langkah komprehensif yang meliputi monitoring dan evaluasi dari kementerian dan dinas terkait untuk memastikan bahwa aturan ini berjalan, sebab aturan MK bersifat mengikat.

Sementara dari sisi pemberi kerja, ia mengusulkan agar turut dipertimbangkan kemampuan pemberi kerja untuk memberi upah yang sesuai dengan mandat itu di tengah tantangan kondisi ekonomi.
“Permasalahan mahalnya bahan baku dan sebagainya, kritik soal produktivitas tenaga kerja hal seperti UMP juga perlu dipertimbangkan,” ujarnya pula.

Bagaimanapun, kata dia lagi, pemerintah juga harus melihat kemampuan pemberi kerja yang juga berkontribusi untuk perekonomian nasional, sehingga pemberi kerja mampu memberikan upah yang layak sebagaimana tertuang dalam putusan itu secara merata dan adil bagi semua pekerja.

Baca juga: Menaker Yassierli beri sinyal UMP 2025 pasti naik

“Tapi bayangkan kalau mereka diminta memenuhi UMP, tapi tidak sanggup atau misal dari sekian ribu pekerja mereka hanya sanggup berapa persen, apa yang akan terjadi dengan pekerja yang lainnya,” katanya pula.

Ia pun berharap agar putusan itu tidak hanya berhenti menjadi inisiatif kebijakan, namun juga dapat berjalan beriringan dengan pengawasan, pendataan yang juga berkaitan soal produktivitas pekerja, serta memastikan realisasi putusan tersebut.
 

Pewarta: Sinta Ambarwati

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2024