Jakarta, (Antara Megapolitan) - Ketua Umum DPP PPP Romahurmuziy menegaskan aktor intelektual kelompok penebar kebencian harus ditangkap dan diproses sesuai aturan hukum yang berlaku.

"Pemerintah perlu melakukan penertiban dan aparat penegak hukum harus memproses seluruh akun yang menebar kebencian," kata Romahurmuziy dalam keterangan tertulis, di Jakarta, Jumat.

Menurutnya, terkait keberhasilan aparat Kepolisian yang menangkap sindikat penyedia jasa pembuat konten bermuatan kebencian dan "hoax" yang menggunakan nama Saracen.

Dia menilai penanggungjawab intelektual justru jauh lebih berbahaya dibanding pelaku di lapangan. Karena menurut dia, apabila operator dipatahkan, maka dengan mudah pelaku intelektual dapat dengan mudah menyewa operator lainnya.

"Karenanya, Polri perlu lebih proaktif dalam menjaring ujaran kebencian," ujarnya pula.

Romahurmuziy mengatakan penertiban dan pemrosesan juga harus dilakukan bukan hanya terhadap akun yang terorganisir melainkan juga akun pribadi.

Menurutnya, hal yang dilakukan oleh para penebar kebencian merusak persatuan dan kesatuan bangsa dan tindakan mereka juga mengganggu soliditas anak bangsa.

"Sudah sepantasnya akun pribadi maupun yang terorganisir, bisa dijerat dengan UU ITE. Polri juga tidak perlu menunggu ada laporan mengenai ujaran kebencian, karena ini bukan delik aduan," katanya lagi.

Selain itu, menurut dia, tidak perlu menunggu apakah akun penebar kebencian milik pribadi ataupun badan usaha yang terorganisir, sehingga Divisi Cyber Crime Polri harus segera melakukan penertiban.

Dia menegaskan terapi kejut itu perlu dilakukan agar bisnis yang mengeksploitasi kebencian dan fitnah, tidak semakin membesar karena bisnis fitnah dan "hoax" muncul sebagai konsekuensi dari dunia maya.

"Pada sisi lain, bisnis fitnah laris manis karena ada yang mengorder. Karenanya, pemrosesan dan penertiban yang dilakukan, tidak boleh berhenti pada operator teknis," katanya lagi.

Dia juga mengimbau Polri untuk memonitor grup-grup "chat" karena sebaran ujaran kebencian banyak beredar di sana dan selama ini tidak terpantau dibanding sirkulasi di media sosial yang lebih terbuka.

Ia mengatakan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) sudah memberikan peluang kepada penegak hukum untuk memonitor tetapi memang harus ada peraturan pemerintah sebagai payung hukumnya.

Menurut dia, apabila terkait dengan sanksi, maka harus dituangkan dalam PP sebab tidak bisa hanya bergantung pada peraturan Kapolri atau pun derivasi dari UU.

Sebelumnya, Direktorat Tindak Pidana Siber Mabes Polri meringkus sindikat penyedia jasa pembuat konten bermuatan kebencian dan "hoax" yang menggunakan nama Saracen.

Polisi mengamankan tiga orang, yakni MFT (43 tahun), JAS (32), dan SRN (32) yang memiliki peran berbeda dan ditangkap pada tiga lokasi berbeda.

Masing-masing memiliki peran yang berbeda-beda, misalnya MFT merupakan Ketua Grup Saracen, berperan merekrut para anggota menggunakan daya tarik berbagai unggahan yang bersifat provokatif menggunakan isu SARA sesuai perkembangan tren media sosial.

JAS (32) yang ditangkap di Pekanbaru, Riau dipercaya oleh kelompok karena memiliki kemampuan untuk memulihkan akun anggotanya yang diblokir.

Selain itu, JAS juga membuat berbagai akun baik yang bersifat riil atau menggunakan identitas asli, semi-anonymous atau separuh nyata dan separuh anonim alias tidak menggunakan identitas maupun anonymous atau tidak menggunakan identitas asli.

Lalu, SRN (32) yang ditangkap di Cianjur, Jawa Barat berperan sebagai Koordinator Grup Wilayah dan melakukan ujaran kebencian dengan melakukan posting atas namanya sendiri maupun membagikan ulang posting dari anggota Saracen lain yang bermuatan penghinaan dan SARA.

Pewarta: Imam Budilaksono

Editor : Feru Lantara


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2017