Ketua Asosiasi Pengelolaan Rajungan Indonesia (APRI), Ir Kuncoro Catur Nugroho, MM menyatakan bahwa pengembangan  potensi perikanan rajungan (portunus pelagicus) sangat diperlukan melalui 
budi daya atau inovasi pembenihan secara berkelanjutan.

"Potensi perikanan rajungan di Indonesia sebagai komoditas unggulan ekspor harus terus dikelola secara berkelanjutan untuk  menjaga  potensi perikanan tersebut," kata Kuncoro di Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Selasa.

Ia menyatakan sejauh ini komoditas golongan krustasea sudah  banyak  dikembangkan dalam sektor budi daya seperti udang, kepiting, rajungan, dan lobster.

"Namun untuk rajungan masih sedikit pengembangannya," katanya. 

Padahal, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mencatat, produksi rajungan di Indonesia sebesar 101.535 ton dengan nilai Rp5,04 triliun pada 2022, sehingga sangat potensial untuk terus dikembangkan, mengingat satu ekor rajungan yang bertelur bisa menetaskan jutaan benih (crablet) rajungan. 

Untuk itu, katanya, budi daya merupakan langkah jangka panjang  guna menuju keberlanjutan karena dalam proses  menuju  ke sana pembenihan bibit ini sangatlah penting untuk proses tersebut.  

"Tinggal bagaimana menjadikan benih itu bisa tumbuh  menjadi rajungan yang siap ekspor, yang tentunya perlu kolaborasi bersama dalam upaya menjawab tantangan tersebut," katanya.

APRI berkolaborasi dengan Universitas Hasanuddin (Unhas), Makassar, Institute of Marine and Environmental Technology  (IMET), dan Smithsonian Environmental Research Center (SERC) dalam inovasi pembenihan dan optimalisasi pengembangan rajungan.

Sejak Juli hingga September 2024, APRI memproduksi ribuan benih rajungan bersama ahli di bidang alga atau pakan  alami dari IMET, Baltimore, Maryland, Amerika Serikat Dr Oded Zmora.  

Zmora menyatakan salah satu kendala terbesar pada komoditas rajungan ini adalah sifat kanibalisme rajungan yang cukup tinggi, menjadikan tingkat kelulushidupan (survival rate/SR) menjadi rendah serta ketersediaan pakan yang penting untuk pertumbuhan hidup rajungan yang juga cukup tinggi.

Ia menyampaikan bahwa diet pakan rajungan dapat menjadi alternatif  solusi permasalahan dimaksud dengan pengayaan (enrichment) pada   pakan alami sehingga kebutuhan pakan rajungan tercukupi dan tidak cepat lapar. 

Penambahan penampungan juga menjadi hal yang penting bagi rajungan untuk tempat berlindung.

Ketersediaan pakan alami menjadi kunci penting keberhasilan pembenihan. Rajungan dalam fase  zoea hingga megalopa membutuhkan pakan alami yang melimpah agar dapat mencapai fase benih selama 14 hari dan setelah itu pemberian pakan bisa menggunakan ikan rucah.  

Selain itu, katanya, juga perlu optimalisasi artemia sebagai pakan rajungan yang tentunya dapat  menjadi nutrisi  pertumbuhan rajungan. 

Artemia yang dikultur secara massal dan dilakukan pengayaan nutrisi, tentu juga dapat menekan biaya produksi pakan.

Proses pembenihan ini, katanya, membutuhkan waktu sekitar kurang lebih 1 bulan dalam memproduksi rajungan crablet dengan ukuran 2-4 cm lebar karapas

Sementara tahapan fase zoea menjadi  megalopa menjadi titik kritis untuk penanganan yang lebih maksimal baik dari kualitas air serta kebutuhan pakan dan nutrisi. 

Setelah menjadi crablet rajungan juga harus dilakukan sizing dan grading untuk mengetahui tingkat keberhasilan benih rajungan yang tentunya harapannya dengan berhasilnya indukan rajungan menetaskan telur hingga menjadi crablet ini dapat meningkatkan stok rajungan nanti, yakni ketika  musim  rajungan  sedang  menurun  dengan  adanya  inovasi  pembenihan ini stok rajungan dapat terus terjaga.

 

Pewarta: M Fikri Setiawan

Editor : Budi Setiawanto


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2024