Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) memasuki tahap penyelesaian pembangunan teleskop berukuran raksasa dengan diameter cermin 3,8 meter di Observatorium Nasional Timau, Kupang, Nusa Tenggara Timur, yang berpotensi dapat dimanfaatkan untuk mengamati satelit.
 
Koordinator Observatorium Nasional Timau BRIN Abdul Rachman mengatakan, satelit sebagai benda buatan manusia penting untuk diamati karena berkaitan dengan isu sampah antariksa yang menjadi isu internasional dan dibahas PBB setiap tahunnya.
 
“Isu sampah antariksa sangat penting karena sampah-sampah ini tidak bisa dikendalikan. Sehingga, bisa saja menabrak satelit yang masih aktif bekerja, dan berakibat pada kerusakan yang bisa saja fatal,” kata Abdul dalam keterangannya di Jakarta, Minggu.
 
 Baca juga: BRIN uji coba Observatorium Nasional Timau di NTT pada pertengahan 2024
 
Lebih lanjut, ia menjelaskan BRIN selama ini mengamati satelit dengan teleskop-teleskop berukuran relatif kecil, yang terbesar berdiameter cermin 50 centimeter.
 
Menurut dia, pengamatan satelit perlu dilakukan untuk membantu jika terjadi masalah pada satelit aktif beroperasi, yang menyebabkan tidak bisa berkomunikasi dengan stasiun pengendali di bumi, termasuk ketika terjadi peristiwa tidak terduga.
 
Abdul mengemukakan, teknik pengamatan maupun analisis yang sudah lama dikenal dalam pengamatan astronomi adalah astrometri, fotometri, dan spektroskopi. Ketiga teknik ini juga telah digunakan dalam pengamatan satelit dan sampah antariksa.

Baca juga: BRIN terus pacu perkembangan riset sumber daya hayati untuk dukung Indonesia Emas 2045
 
"Teleskop astronomi untuk pengamatan satelit perlu memiliki slewing rate atau kecepatan bergerak yang cukup tinggi. Hal ini karena satelit dan sampahnya tergolong objek bergerak cepat yang kecepatan geraknya di langit bisa berkali-kali lipat dari gerak bintang," katanya.
 
Para periset di Pusat Riset Antariksa BRIN telah melakukan pengamatan satelit dengan teleskop sejak tahun 2022. Hal itu dilakukan baik melalui pengamatan astrometri untuk menentukan atau memperbaiki orbit satelit maupun fotometri untuk menentukan kecerlangan dan karakteristik sikap satelit.
 
“Satelit yang berputar (tumbling) umumnya terjadi pada satelit-satelit yang sudah berakhir masa operasinya sehingga menjadi sampah. Karakteristik sikap ini mencakup arah sumbu rotasi dan lajunya. Informasi ini dibutuhkan dalam upaya mitigasi dampak sampah antariksa,” kata Abdul.

Pewarta: Farhan Arda Nugraha

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2024