Bogor (Antara Megapolitan) - Kabupaten Indramayu menjadi salah satu daerah lumbung padi di Provinsi Jawa Barat dan juga tingkat nasional. Karena itu, bencana kekeringan yang melanda kabupaten ini perlu mendapat perhatian serius terkait mitigasinya (upaya untuk mengurangi risiko bencana). 

Indramayu merupakan daerah dataran rendah sehingga pasokan air untuk pertanian banyak disuplai dari daerah hulunya. Karena itu kajian untuk bencana kekeringan di wilayah ini harus bersifat menyeluruh, tidak hanya mengkaji wilayah administratifnya saja. Tetapi juga perlu melihat kondisi daerah hulunya.
 
Tahun pertama penelitian yang dilakukan kelompok peneliti dari Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian (Faperta) Institut Pertanian Bogor (IPB) yaitu Boedi Tjahjono, Baba Barus dan Yayat Hidayat ini fokus pada daerah aliran sungai (DAS) Cimanuk Hulu sebagai daerah hulu Kabupaten Indramayu. 

Penelitian tahun pertama bertujuan memetakan penutupan/penggunaan lahan (1995, 2005, 2015) dan faset lahan DAS Cimanuk Hulu; melakukan analisis perubahan penggunaan lahan, prediksi perubahan lahan tahun 2025, serta menganalisis hubungan penutupan/penggunaan lahan dengan faset lahan; serta melakukan analisis dan pemetaan lahan kritis.
 
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah interpretasi citra secara visual baik untuk pemetaan penutupan/penggunaan lahan maupun faset lahan. Teknik tumpang-tindih (overlay) akan dipakai untuk mengekstrak data atribut untuk analisis perubahan penutupan/penggunaan lahan dan keterkaitan penutupan/penggunaan lahan dengan faset lahan. 

Adapun untuk prediksi penutupan/penggunaan lahan tahun 2025 digunakan metode Markov Chain. Sementara itu, metode analisis untuk pemetaan lahan kritis adalah dari Perdirjen BPDAS PS Nomor P. 4/V-Set/2013 yang modifikasi melalui pembobotan dan skoring.

Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa penggunaan lahan yang mendominasi DAS Cimanuk Hulu pada tahun 1995, 2005, dan 2015 berturut-turut adalah sawah (42.275 hektar), tegalan (43.356 hektar), dan tegalan (50.702 hektar). 

Selama periode tahun 1995-2015 pengurangan luas terjadi pada penutupan/penggunaan lahan hutan, sawah, padang rumput, dan perkebunan. Sedangkan yang mengalami penambahan luas adalah kebun campuran, lahan terbuka, pemukiman, dan tegalan. Untuk badan air tidak mengalami perubahan.
 
Untuk proyeksi tahun 2025, tidak banyak perubahan hanya badan air bertambah luas sebesar 35 hektar dan kebun campuran menurun sebesar 311 hektar. 

Dalam kaitannya dengan faset lahan, lahan sawah dan pemukiman lebih dominan berada pada faset lahan dataran fluvio-vulkanik. Hutan pada faset lahan relief pegunungan vulknik, badan air dan kebun campuran terdapat pada lembah sungai, padang rumput dan lahan terbuka berada pada faset lahan kompleks kerucut vulkanik Guntur, perkebunan terdapat pada lereng bawah kerucut vulkanik denudasional, dan penggunaan lahan tegalan relatif menyebar pada berbagai faset lahan hingga lereng tengah kerucut vulkanik denudasional.

Padahal faset lahan yang terakhir ini secara ekologi seharusnya tertutup dengan baik oleh vegetasi dengan kerapatan tinggi (hutan, perkebunan). Kondisi ini dapat menyebabkan turunnya daya resap air hujan ke dalam tanah dan meningkatnya volume aliran permukaan. 

Terjadinya bencana banjir bandang di Kabupaten Garut pada tanggal 20 September 2016 patut dicurigai disebabkan oleh rendahnya kerapatan tutupan vegetasi yang diwakili oleh lahan tegalan dan didukung oleh morfologi basinal Kota Garut dan sekitarnya .(ir/nm)

Pewarta: Tim Humas IPB

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2017