Guru Besar Politik Hukum Pajak Unissula Edi Slamet Irianto berbicara mengenai Badan Penerimaan Negara (BPN) yang merupakan calon lembaga baru bentukan Presiden Republik Indonesia Terpilih Prabowo Subianto.
Lembaga tersebut bertugas menerima pendapatan negara dalam bentuk uang yang disetorkan orang pribadi atau badan yang masuk ke kas negara.
Selama ini lembaga yang bertugas mengurus penerimaan negara adalah Direktorat Jendreal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea Cukai. Keduanya berada dalam naungan Kementerian Keuangan.
Usulan pemisahan BPN dari Kementerian Keuangan sudah berlangsung setidaknya sejak 2004. Presiden terpilih, Prabowo Subianto berencana membentuk BPN sebelum nomenklaturnya berubah menjadi Kementerian Penerimaan Negara.
Edi Slamet Irianto menjadi satu dari tiga kandidat Kepala BPN. Dua lainnya yaitu, Kepala Badan Pengelola Keuangan Haji Anggito Abimanyu dan anggota Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun.
Edi dalam keterangannya, Kamis, menyoal urgensi pemisahan BPN dari Kementerian Keuangan, Prabowo Subianto sudah menyinggungnya sejak pemilu 2019 silam.
Selaras dengan hal itu, kandidat kepala BPN Edi Slamet Irianto menjelaskan bahwa peran BPN sangat penting karena kinerja penerimaan cenderung menurun padahal tuntutan belanja negara semakin besar. Sehingga, negara harus berutang dan semakin membesar.
Di sisi lain, birokrasi kementerian cenderung rumit dan terjebak oleh banyaknya aturan yang tidak memungkinkan bergerak lebih cepat dan terukur. Dampaknya, proses pengambilan putusan menjadi lamban padahal dituntut sangat cepat.
“Lembaga penerimaan yang ada, meski sudah direformasi sampai jilid IV, gagal mengatasi kebocoran, gagal memiliki data sains, gagal membangun kerja sama hukum, dan rentan terhadap intervensi kekuatan politik maupun pemodal besar dalam berbagai bentuknya,” ungkap Edi.
Menurut Edi Slamet Irianto, manfaat pembentukan BPN bagi masyarakat, khususnya pelaku ekonomi yaitu hadirnya berbagai kemudahan dalam memenuhi kewajiban kepada negara karena kebijakan dan pengaturan akan keluar dari satu pintu.
“Sementara manfaatnya bagi negara, bisa melakukan estimasi penerimaan secara lebih akurat dan pasti karena tax gap akan semakin diperkecil akibat pengembangan data sains,” kata dia.
PPN Tidak Naik, Bahkan Mungkin Turun
Terkait kondisi keuangan negara, persoalan yang kerap terjadi adalah penerimaan negara yang hingga saat ini selalu di bawah target, bahkan rasionya jadi yang terendah di ASEAN.
Menyikapi hal itu, Edi Slamet Irianto menegaskan, bentuk lembaga kementerian/badan memperlihatkan bahwa lembaga pemerintah punya kekuatan pada aspek eksekutorial akibat adanya beberapa kewenangan hukum sebagaimana tercantum dalam 13 undang-undang organiknya.
Dia menjelaskan, bentuk hybrid ini memungkinkan lembaga penerimaan negara lebih gesit dan mampu merespons dengan cepat setiap perubahan dan perkembangan ekonomi. Lembaga tersebut punya diskresi yang sangat memadai sehingga berjalan efektif sesuai tujuan pendiriannya.
“Menteri/Kepala/Komandan badan ini harus orang yang sangat matang dan tahu permasalahan sesungguhnya, artinya memiliki kapasitas/knowledge perpajakan yang mumpuni ditunjang pengalaman lapangan yang teruji dan terbukti, bukan hanya pandai berteori ilmu perang tapi tidak pernah angkat senjata untuk perang,” ujarnya.
Saat disinggung apakah BPN mampu mencapai target rasio penerimaan 23 persen tanpa menaikan tarif, dia menjawab,
“Justru BPN dihadirkan untuk bisa menaikan target penerimaan tanpa harus membebani masyarakat kecil. Untuk jangka pendek, BPN tidak akan menaikkan tarif PPN menjadi 12 persen bahkan jika memungkinkan, diturunkan ke 10 persen. Paling tidak, bertahan di 11 persen dengan catatan bahwa administrasi PPN akan diperbaiki secara fundamental,” tutur dia.
BPN, dalam kebijakannya, akan memberi ruang yang cukup bagi masyarakat untuk memiliki daya beli yang memadai sesuai kapasitasnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2024
Lembaga tersebut bertugas menerima pendapatan negara dalam bentuk uang yang disetorkan orang pribadi atau badan yang masuk ke kas negara.
Selama ini lembaga yang bertugas mengurus penerimaan negara adalah Direktorat Jendreal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea Cukai. Keduanya berada dalam naungan Kementerian Keuangan.
Usulan pemisahan BPN dari Kementerian Keuangan sudah berlangsung setidaknya sejak 2004. Presiden terpilih, Prabowo Subianto berencana membentuk BPN sebelum nomenklaturnya berubah menjadi Kementerian Penerimaan Negara.
Edi Slamet Irianto menjadi satu dari tiga kandidat Kepala BPN. Dua lainnya yaitu, Kepala Badan Pengelola Keuangan Haji Anggito Abimanyu dan anggota Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun.
Edi dalam keterangannya, Kamis, menyoal urgensi pemisahan BPN dari Kementerian Keuangan, Prabowo Subianto sudah menyinggungnya sejak pemilu 2019 silam.
Selaras dengan hal itu, kandidat kepala BPN Edi Slamet Irianto menjelaskan bahwa peran BPN sangat penting karena kinerja penerimaan cenderung menurun padahal tuntutan belanja negara semakin besar. Sehingga, negara harus berutang dan semakin membesar.
Di sisi lain, birokrasi kementerian cenderung rumit dan terjebak oleh banyaknya aturan yang tidak memungkinkan bergerak lebih cepat dan terukur. Dampaknya, proses pengambilan putusan menjadi lamban padahal dituntut sangat cepat.
“Lembaga penerimaan yang ada, meski sudah direformasi sampai jilid IV, gagal mengatasi kebocoran, gagal memiliki data sains, gagal membangun kerja sama hukum, dan rentan terhadap intervensi kekuatan politik maupun pemodal besar dalam berbagai bentuknya,” ungkap Edi.
Menurut Edi Slamet Irianto, manfaat pembentukan BPN bagi masyarakat, khususnya pelaku ekonomi yaitu hadirnya berbagai kemudahan dalam memenuhi kewajiban kepada negara karena kebijakan dan pengaturan akan keluar dari satu pintu.
“Sementara manfaatnya bagi negara, bisa melakukan estimasi penerimaan secara lebih akurat dan pasti karena tax gap akan semakin diperkecil akibat pengembangan data sains,” kata dia.
PPN Tidak Naik, Bahkan Mungkin Turun
Terkait kondisi keuangan negara, persoalan yang kerap terjadi adalah penerimaan negara yang hingga saat ini selalu di bawah target, bahkan rasionya jadi yang terendah di ASEAN.
Menyikapi hal itu, Edi Slamet Irianto menegaskan, bentuk lembaga kementerian/badan memperlihatkan bahwa lembaga pemerintah punya kekuatan pada aspek eksekutorial akibat adanya beberapa kewenangan hukum sebagaimana tercantum dalam 13 undang-undang organiknya.
Dia menjelaskan, bentuk hybrid ini memungkinkan lembaga penerimaan negara lebih gesit dan mampu merespons dengan cepat setiap perubahan dan perkembangan ekonomi. Lembaga tersebut punya diskresi yang sangat memadai sehingga berjalan efektif sesuai tujuan pendiriannya.
“Menteri/Kepala/Komandan badan ini harus orang yang sangat matang dan tahu permasalahan sesungguhnya, artinya memiliki kapasitas/knowledge perpajakan yang mumpuni ditunjang pengalaman lapangan yang teruji dan terbukti, bukan hanya pandai berteori ilmu perang tapi tidak pernah angkat senjata untuk perang,” ujarnya.
Saat disinggung apakah BPN mampu mencapai target rasio penerimaan 23 persen tanpa menaikan tarif, dia menjawab,
“Justru BPN dihadirkan untuk bisa menaikan target penerimaan tanpa harus membebani masyarakat kecil. Untuk jangka pendek, BPN tidak akan menaikkan tarif PPN menjadi 12 persen bahkan jika memungkinkan, diturunkan ke 10 persen. Paling tidak, bertahan di 11 persen dengan catatan bahwa administrasi PPN akan diperbaiki secara fundamental,” tutur dia.
BPN, dalam kebijakannya, akan memberi ruang yang cukup bagi masyarakat untuk memiliki daya beli yang memadai sesuai kapasitasnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2024