Aksi Satgas Pangan menyita gudang beras PT Indo Beras Unggul (PT IBU) di Kedungwaringin, Bekasi, pekan lalu, benar-benar menyita perhatian publik di dunia nyata maupun dunia maya.
        
Beragam opini, twit, dan meme bermunculan merespon aksi satgas pangan. Publik terbelah menjadi pro dan kontra.
        
Lalu, pemerintah atau pelaku usaha yang salah? Tulisan ini tak akan terjebak menghakimi pemerintah atau pelaku usaha, biarkan penegak hukum membuktikan.
        
Artikel ini hendak melukiskan watak bisnis komoditas pertanian secara umum beserta pengecualiannya pada komoditas tertentu.
        
Pertama, benarkah kualitas hasil panen dapat ditingkatkan? Jawabannya kualitas hasil panen tidak dapat ditingkatkan, tetapi hanya dapat dipertahankan.
        
Walaupun demikian, dalam praktik pascapanen pertanian dikenal istilah sortasi dan grading, yaitu memilah dan mengelompokkan hasil panen pada kriteria tertentu, seperti bobot atau warna.
        
Sebut saja petani memanen 500 kg jeruk pada suatu masa. Petani cerdas akan memisahkan dan mengelompokkan menjadi 4 kelas kualitas buah jeruk.
        
Misal yang bobotnya sekilo 5 sampai dengan 6 buah (kualitas A), sekilo 7 s.d. 10 buah (B), sekilo 11 s.d. 15 buah (C), dan sekilo > 15 buah (D). Setiap kelas tersebut memiliki harga yang berbeda-beda dengan yang paling mahal kualitas A diikuti B, C, dan D.
        
Umumnya prosentasi terbesar hasil panen adalah kualitas B dan C yang mencapai 70 s.d. 80 persen hasil panen. Sisanya kualitas A dan kualitas D.
        
"Sortasi" terjadi hampir pada semua komoditas pertanian tak terkecuali beras. Sayangnya, kebanyakan petani malas melakukan sortasi dan grading.
        
Petani lantas menjualnya pukul rata¿tanpa memandang kelas A, B, C, dan D secara curah kepada pedagang alias tengkulak. Berikutnya, para pedagang inilah yang melakukan praktik sortir dan grading sehingga mendapat nilai tambah keuntungan.
        
Tengkulak bahkan mengelap dan mencuci kulit jeruk hingga kinclong sehingga harganya pun lebih tinggi. Sebagian lain setelah dilap dikemas per buah dengan plastik atau busa berjala.
        
Sampai di sini semua pedagang, termasuk pedagang beras, sah melakukan praktik tersebut. Pada beras biasanya sortir dan grading dilakukan di penggilingan yang kemudian dilanjutkan di gudang perusahaan-perusahaan besar.
    
                                                      "Blending"
Kedua, bolehkah mencampur alias mengoplos beragam varietas dan kualitas hasil panen produk pertanian? Di Tanah Air kesan mengoplos telanjur negatif karena terkesan mencampur produk berkualitas buruk dengan produk berkualitas baik untuk mendapat harga dengan kualitas baik. Padahal, mengoplos juga dapat bermakna positif.
        
Mengoplos atau mencampur produk pertanian merupakan sebuah seni dan teknik dalam teknologi pascapanen yang kemudian sering kali menjadi rahasia dagang atau rahasia turun-temurun.
        
Dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah blending. Seni blending yang terkenal pada komoditas kopi dan teh. Sebuah produsen kopi akan mencampur kopi dari beragam daerah dengan komposisi tertentu sampai memperoleh cita-rasa yang tetap.
        
Produsen tertentu juga bisa mencampur arabika, robusta, dan liberika untuk mendapat tingkat kekentalan, aroma, dan rasa khas yang stabil.
        
Tujuan lainnya adalah agar konsumen tidak dapat mendeteksi perbedaan rasa pada cicipan saat pembelian pertama, kedua, dan seterusnya meskipun terjadi perbedaan tempat dan waktu panen.
        
Pantas Starbuck memiliki 30 resep "blending" kopi dari seluruh dunia yang setiap resep punya rasa khas. Pun merk-merk kopi lain punya rasa yang sama. Bahkan, untuk teh, blending juga dilakukan oleh pedagang kecil.
        
Pedagang nasi uduk di sudut Bumi Serpong Damai, mencampur 2 s.d. 3 merek teh dengan komposisi tertentu setiap menggodok teh. Hasilnya, rasa teh di pedagang tersebut tidak dapat ditemui pada merek apa pun sehingga tidak dapat ditiru siapa pun.
        
Pada beras mencampur beragam varietas untuk mendapatkan cita rasa yang pas juga lazim. Tradisi rumah makan asal Padang di daerah asalnya adalah menyajikan nasi dengan rasa pera dari varietas lokal.
        
Namun, saat mereka membuka rumah makan padang di berbagai daerah mereka akan mencampur beras yang pera dengan beras lain.
        
Di Jawa Barat pemilik rumah makan padang akan mencampur dengan beras agak pulen untuk menyesuaikan dengan konsumennya. Di Jawa Tengah dan Yogyakarta mereka akan mencampur dengan beras yang lebih lembut.
        
Sementara itu, di Kalimantan Selatan, mereka akan mencampur beberapa varietas agar rasanya agar tetap disukai konsumen Suku Banjar yang suka rasa pera, tetapi masih disukai pembeli Suku Jawa yang banyak tinggal di sana yang suka nasi lembek dan pulen. Di Papua komposisi campuran mereka beda lagi.
        
Di kota urban yang tersebar di Pulau Jawa dengan sering kali masyarakatnya bercampur baur. Sebuah keluarga: ayah, ibu, anak, dan menantu yang tinggal bersama terdiri atas beragam suku sehingga beras blending menemukan pangsa pasarnya karena memiliki tingkat kepulenan dan aroma yang berbeda-beda.
        
Teknik yang paling lazim adalah blending dengan 85 s.d. 90 persen beras dengan kepulenan biasa dicampur 10 s.d. 15 persen beras pulen yang beraroma. Pangsa pasarnya berupa keluarga golongan menengah ke atas.
        
Mereka juga gandrung pada beras kemasan, terutama dimulai saat beras impor dari Thailand yang lebih putih hadir di pasaran dengan kemasan 5 s.d. 10 kg. Warna lebih putih karena telah melalui sortasi, grading, dan sosoh berkali-kali.
        
Kini, setelah beras impor dibatasi, pelaku usaha di Tanah Air yang mengisi ceruk pasar yang sebelumnya diisi beras Thailand.
        
Pasar beras "blending" dalam kemasan makin besar melalui pemasaran di jaringan hipermarket, supermarket, dan minimarket yang sudah masuk hingga ke pinggiran kota urban.
        
Sampai di sini bisnis beras secara umum sama dengan bisnis komoditas pertanian lainnya. Akan tetapi, setiap mahasiswa yang pernah belajar pertanian di universitas dan mengambil mata kuliah Pengantar Ilmu Pertanian atau Pengantar Ekonomi Pertanian pasti mengerti beras memiliki nilai strategis yang berbeda dengan komoditas pertanian lain.
        
Beras sebagai makanan pokok rakyat Indonesia tingkat harga dan jalur tata niaganya tidak boleh murni diserahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar.
        
Fluktuasi harga beras yang tidak terkendali dapat berdampak pada inflasi ekonomi. Kehancuran bangsa-bangsa banyak yang disebabkan oleh krisis bahan makanan pokok. Itulah sebabnya banyak negara mengatur secara khusus harga beras serta jalur tata niaganya.
        
Di Indonesia undang-undang yang paling terakhir mengatur beras adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan yang disahkan 11 Maret 2014 oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono.
        
Pada Pasal 25 Ayat (1), disebutkan bahwa Pemerintah dan pemerintah daerah mengendalikan ketersediaan barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam jumlah yang memadai, mutu yang baik, dan harga yang terjangkau.
        
Berikutnya, pada Penjelasan UU tersebut dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan 'barang kebutuhan pokok' adalah barang yang menyangkut hajat hidup orang banyak dengan skala pemenuhan kebutuhan yang tinggi serta menjadi faktor pendukung kesejahteraan masyarakat, seperti beras, gula, minyak goreng, mentega, daging sapi, daging ayam, telur ayam, susu, jagung, kedelai, dan garam beryodium.
        
Yang dimaksud dengan "barang penting" adalah barang strategis yang berperan penting dalam menentukan kelancaran pembangunan nasional, seperti pupuk, semen, serta bahan bakar minyak dan gas.
        
Menurut UU tersebut [Pasal 25 Ayat (3)] barang kebutuhan pokok dan barang penting seperti yang dimaksud ditetapkan dengan peraturan presiden. Dalam rangka menjelaskan lebih detail Presiden RI Joko Widodo mengeluarkan Peraturan Presiden No. 71/2015 tentang Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting.
        
Perpres tersebut menetapkan barang kebutuhan pokok terdiri atas: 1) barang kebutuhan pokok hasil pertanian, yaitu beras, kedelai bahan baku tahu dan tempe, cabai dan bawang merah; 2) barang kebutuhan pokok hasil industri, yaitu gula, minyak goreng, dan tepung terigu; 3) barang kebutuhan pokok hasil peternakan dan perikanan, yaitu daging sapi, daging ayam ras, telur ayam ras, dan ikan segar, yaitu bandeng, kembung, dan tongkol/tuna/cakalang.
        
Sementara itu, jenis barang penting terdiri atas: 1) benih, yaitu benih padi, jagung, dan kedelai; 2) pupuk; 3) gas elpiji 3 kilogram, tripleks, semen, besi baja konstruksi, dan baja ringan.
        
Itulah yang menjelaskan mengapa bisnis beras berbeda dengan bisnis kopi atau teh. Sama halnya bisnis minyak goreng dapat diintervensi oleh Pemerintah, sementara bisnis minyak wangi atau minyak urut dapat diserahkan bebas ke pasar.
        
Pada barang kebutuhan pokok tersebut, undang-undang memberikan wewenang pada pemerintah mengatur harga terendah pembelian ke tingkat produsen dan harga penjualan ke tingkat konsumen.
        
Pada beras tujuannya sangat "clear" agar menguntungkan petani dengan menetapkan harga pembelian terendah dan menetapkan batas harga penjualan tertinggi supaya konsumen dapat menjangkau.
        
Bila di pasaran terjadi lonjakan harga pada barang kebutuhan pokok tersebut, Pemerintah juga diberikan wewenang untuk mengendalikan harga yang salah satunya dengan operasi pasar.
        
Undang-undang tersebut kemudian dioperasionalkan oleh Permendag No. 27/2017 yang menetapkan harga acuan pembelian di petani untuk gabah kering panen Rp3.700.00/kg, gabah kering giling Rp4.600,00/kg, dan harga beras Rp7.300,00/kg. Sementara itu, harga penjualan beras di tingkat konsumen Rp9.500,00/kg.
        
Filosofi dari penetapan rentang harga pembelian di petani Rp7.300,00/kg adalah bila harga beras di pasaran lebih rendah daripada Rp7.300,00/kg, Pemerintah melalui Bulog harus membeli dengan harga tersebut.
        
Sebaliknya, bila harga di pasaran lebih tinggi, petani boleh menjual kepada pelaku usaha lain dengan syarat harga jual kepada konsumen tidak melampaui harga tertinggi penjualan kepada konsumen.
        
Peraturan Menteri tersebut juga selalu menyesuaikan dengan kondisi pasar sehingga dapat berubah dengan melihat situasi. Contohnya saat ini sedang disosialisasikan Permendag No. 47/2017.
        
Selain harga, pada Perpres 71/2015 Pasal 11, juga disebutkan bahwa untuk mencegah kelangkaan barang, gejolak harga, dan atau hambatan lalu lintas perdagangan barang, barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting dilarang disimpan di gudang dalam jumlah dan waktu tertentu.
        
Maksud jumlah tertentu, yaitu jumlah di luar batas kewajaran yang melebihi stok atau persediaan barang berjalan untuk memenuhi pasar dengan waktu paling lama 3 bulan berdasarkan catatan rata-rata penjualan per bulan dalam kondisi normal.
        
Selain peraturan tersebut di atas, masih ada lagi peraturan, seperti Permentan No. 3/2017 tentang Pengaturan Harga Pembelian Gabah dan Beras di Luar Kualitas oleh Pemerintah yang membagi beras premium plus I, premium plus II, premium plus III, premium I, premium II, dan kualitas rendah.
        
Walaupun demikian, sering kali terjadi perbedaan definisi premium di kalangan akademisi, praktisi, petani, penggilingan, maupun pelaku usaha di berbagai daerah meski kualitas beras telah ditetapkan berdasarkan SNI.
       
Terakhir, benarkah PT IBU bersalah? Kita tunggu penegakan hukum yang akan membuktikan PT IBU bersalah atau malah nanti dibebaskan.
       
Mari kita berprasangka baik pada PT IBU maupun pada penegak hukum. Yang terpenting adalah setiap pelaku usaha wajib terus menyesuaikan dengan peraturan yang berlaku. Sebaliknya, Pemerintah wajib menyosialisasikan setiap peraturan baru yang dikeluarkan. (Ant/BPJ).

*) Penulis adalah peneliti di Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian.

Pewarta: Destika Cahyana SP MSc *)

Editor : M. Tohamaksun


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2017